Dilakukan secara sederhana dan serba dadakan, Darren benar-benar membuat keinginannya terlaksana malam itu juga, tepatnya setelah mantan ibu mertuanya dipindahkan ke rumah sakit lain, yang merupakan rumah sakit milik keluarganya.
Ditunjuk sebagai saksi dari pihak Darren, adalah Zain yang adalah asisten pribadi sekaligus orang kepercayaan Darren. Lalu, salah seorang keluarga dari pihak Marissa —mama Audi, dipaksa Darren datang supaya mau menjadi saksi dari pihak calon pengantin perempuan. Meski bingung, seorang paman yang sebelumnya sudah menjenguk kakak kandungnya, Marissa, memilih diam dan melakukan semua sesuai arahan Zain, perwakilan Darren.
Semua siap di posisi, termasuk seorang pemuka agama yang diboyong oleh Zain di malam yang semakin larut tersebut. Kevin —papa Audi, tampak tegang ketika harus kembali menjadi wali atas pernikahan sang putri.
"Jadi, yang mana calon kedua mempelai?" tanya sang pemuka agama setelah duduk di tempat ijab kabul, yakni di sebuah ruangan perawatan VVIP di mana mama Audi dirawat dan akan mendapatkan penanganan medis setelahnya.
"Ini, Pak Ustadz. Pak Darren dan Ibu Audi." Zian memperkenalkan majikannya.
Dua orang itu duduk berjauhan. Darren di depan sang Ustadz, sedangkan Audi duduk di sisi ranjang sang ibu, yang saat itu terlihat mulai berkaca-kaca menahan emosi. Juga ada Bagas, yang memilih duduk di dekat sang kakak.
"Ehm, baik. Karena waktu semakin malam, juga semua syarat sah pernikahan ini pun sudah sesuai hanya administrasinya saja yang belum lengkap dan bisa menyusul, sebaiknya kita segera laksanakan acara ijab kabul tanpa harus membuang banyak waktu lagi."
Semua orang mengangguk, kecuali Audi yang terdiam -mematung di posisinya. Perempuan itu sesekali menengok ke arah Darren. Mantan suami yang akan kembali menjadi suaminya sebab hutang uang yang ia lakukan demi menyelamatkan keluarga.
Pak Ustadz sudah meminta Darren menggenggam tangan Kevin, papanya Audi. Lelaki paruh baya yang malam ini memakai peci hitam, ciri khasnya sebagai seorang pemuka agama, tampak tersenyum ketika melihat gemetar yang tampak di tubuh wali perempuan.
"Kebanyakan yang gugup dan grogi itu calon pengantin pria. Ini kenapa walinya, yah?" ucap sang Ustadz mencoba mencairkan suasana.
"Tenang, Pak. Tarik napas dan buang perlahan."
Apa yang dikatakan sang ustadz, nyatanya diikuti oleh Kevin. Papa Audi pelan-pelan menarik napas, lalu mengembuskannya sama pelan.
"Baik, sepertinya Anda sudah lebih baik. Jadi, bisa segera kita mulai?" tanya sang Ustadz, benar-benar membuat suasana canggung sedikit mencair -setidaknya bagi sebagian orang yang tidak tahu menahu latar belakang atau alasan bagaimana pernikahan itu bisa dilangsungkan di malam yang kini semakin larut.
"Bisa, Pak Ustadz. Silakan!" ucap Kevin tampak sedikit lebih baik dari sebelumnya.
Bisa dipastikan, tertangkapnya ia karena tuduhan penggelapan dana perusahaan, lalu bisa bebas di hari yang sama, dan sekarang malah harus menikahkan sang putri dengan mantan menantunya, perasaan siapa pun pasti akan sama dengannya sekarang.
Tampak ketegangan yang Audi rasakan semakin menjadi tatkala tangan sang papa mulai menggenggam telapak tangan Darren. Lelaki yang malam itu masih saja tampan —yang sialnya harus Audi akui meski enggan.
Sebuah kalimat yang Ustadz ucapkan pelan di dekat Kevin, kini diucapkan secara jelas oleh lelaki itu. Kemudian dibalas lantang oleh Darren.
Rentetan kata demi kata yang Darren ucapkan membuat dua orang saksi di kanan kirinya mengangguk sekali ketika sang Ustadz melihat ke arah mereka.
"Sah!"
***
Kamar hotel yang saat ini Audi ada di dalamnya, adalah kamar yang sama di mana sebelumnya ia dibawa oleh Darren pertama kali tadi.
Setelah ia sah diperistri kembali oleh Darren, lelaki itu membawanya ke hotel tersebut untuk menagih kewajiban yang harus Audi lakukan.
"Urusan Mama Marissa sudah aku serahkan pada Zain dan Bagas. Kamu tidak perlu khawatir, sebab operasi mama kamu baru akan berjalan besok. Tapi, yang pasti malam ini kamu harus menunaikan kewajibanmu dulu sebagai seorang istri." Kalimat itu Darren katakan sesaat pernikahan mereka dinyatakan sah oleh Ustadz dan dua orang saksi, yang tak lain Zian dan Heru —paman Audi.
Meski keinginan hatinya ingin menemani sang mama, tetapi setelah Kevin memintanya mengikuti apa kata Darren sebagai seorang suami, Audi pun tak bisa berkutik.
"Kamu harus memenuhi kewajibanmu, Audi."
"Seperti dulu, Pah. Karena perjodohan yang Papa juga Mama lakukan, pada akhirnya bagaimana dengan pernikahanku?" tanya Audi sinis.
Namun, Kevin terlihat tak mau kalah. Ia juga tak mau disalahkan atas perjodohan yang sudah ia lakukan terhadap sang putri dengan pengusaha muda kaya itu.
"Dulu mungkin iya Papa salah, tapi kamu yang tak mau sabar dan enggan bertahan. Pada kenyataannya, kali ini kalian bersatu kembali bukan? Apakah Papa juga yang memaksa?"
Audi tak mungkin membalas perkataan ayahnya, yang kali ini juga tetap karena kesalahan lelaki paruh baya itu sehingga ia harus kembali pada pelukan dan jerat Darren, yang sudah bisa dipastikan kenangan masa lalu kembali terulang.
Adegan percakapannya dengan sang ayah masih terngiang jelas sampai ia mendengar suara pintu kamar mandi ditutup. Di sana sosok sang suami sudah berdiri di depan pintu. Menatapnya dengan handuk melilit di pinggang, ya hanya selembar handuk saja Darren menutupi tubuhnya yang menawan. Jangan lupakan juga wajahnya yang segar dengan rambut basah yang semakin membuat lelaki itu tampan dalam level sembilan puluh lima ke atas, nyaris sempurna. Bahkan, tetesan air yang masih tampak jelas di bawah rambutnya yang basah, membuat Audi tanpa sadar menelan saliva —terpesona.
'Sial!' rutuk Audi dalam hati sambil memalingkan wajahnya.
Ia selalu kesal pada hatinya yang selalu berkhianat karena tak segan memuji ketampanan Darren.
"Apakah kamu tidak mau mandi?" tanya Darren tiba-tiba sembari melangkahkan kakinya, mendekati ranjang.
Audi tampak bersiaga saat dilihatnya Darren sudah berdiri seraya mengulurkan tangan dan menyentuh pipinya.
"Kenapa diam? Kamu tidak mendengar ucapanku?"
"A-aku baru mau mandi. Ya, baru mau. Tadi aku nunggu kamu."
Audi mencoba menghindar. Menampik tangan Darren dan bergegas untuk beranjak bangun.
Namun, gerakannya kurang cepat dibandingkan Darren. Lelaki itu malah menarik lengan Audi, sehingga membuat perempuan itu kembali duduk.
"Arh!" pekik Audi kaget.
"Tidak mandi juga tidak apa-apa. Aku yakin, kamu masih merawat tubuhmu dengan baik. Meski seharian ini kamu berjalan ke sana kemari, aku juga yakin tubuhmu masih wangi seperti habis mandi."
"Eh, ma-mana ada. Tubuhku lengket, Darren. Aku yakin, aromanya juga enggak enak. Jadi, aku ...."
"Kalau gitu biar aku coba pastikan!" ucap Darren memotong ucapan Audi dengan mendekatkan hidungnya yang mancung ke leher jenjang sang istri.
Secara spontan Audi memejamkan mata ketika bukan hanya hidung, tetapi bibir Darren juga menyentuh permukaan kulitnya.
'Ish,' desis suara Audi yang merasakan respon tak terduga dari tubuhnya.
Nyatanya suara itu sangat jelas Darren dengar, membuat lelaki itu menyeringai dengan kedua mata memandang wajah istrinya yang terlihat memerah.
Ketika sekian detik waktu berlalu dengan Darren yang masih menempelkan hidungnya, Audi berpikir untuk menyudahi. Tapi, suara serak Darren membuat rencananya buyar.
"Wangi. Kamu masih wangi. Wangi yang sangat khas, yang masih aku ingat, dan pastinya aku rindukan."
Sontak Audi terkejut. Kedua matanya membola ketika mendengar penuturan sang suami.
'Apa yang ia katakan? Apakah barusan ia mengatakan kalau ia merindukanku?' batin Audi berkata.
Ketika perempuan itu hendak menanyakan kejanggalan tersebut, tiba-tiba Darren berbuat hal lebih. Dipikir Audi, suaminya itu akan menjauhkan wajah dan membiarkannya mandi. Namun kenyataan yang terjadi, Darren malah menyusuri lekuk lehernya sampai ke ceruk, lalu turun ke dress putih yang ia kenakan sejak prosesi ijab kabul tadi.
Tak ayal, pertahanan yang sebelumnya masih Audi pertahankan, perlahan menurun tatkala Darren menggodanya dengan kecupan di atas belahan dadanya yang tampak sebab lelaki itu yang menyibak dress bagian atas, sedikit.
"Ah!" Desah itu terlontar tanpa Audi mau. Membuat perempuan itu langsung menutup mulut saat sigap menyadari.
Namun, aksi yang Darren lakukan di detik berikutnya tak mampu membuat Audi tetap bertahan. Ia yang masih berusaha menutup mulut agar tidak mengeluarkan desah suara yang sama, hanya mampu menggeleng ketika Darren malah menjulurkan tangannya memasuki area bawah dress.
Hingga di detik kesekian, Darren tiba-tiba mendorong tubuh Audi dan membuat istrinya itu terbaring dengan ekspresi kaget.
"Dar ... ren?"
Baru selesai memanggil nama sang suami, Audi harus merasakan sesak di dadanya ketika lelaki itu mengangkat kedua tangannya ke atas kepala. Posisi yang sangat tidak menguntungkan baginya sebab pengalaman yang ia pernah alami, posisi itu hanya akan membuatnya tersiksa tanpa mampu melawan.
Darren tampak diam sekarang. Ia yang masih bertahan dengan handuk di pinggangnya, kini hanya menatap wajah Audi yang terlihat waspada.
"Sesuai dengan kesepakatan, setelah apa yang kamu minta yaitu di mana aku harus menikahi kamu, mulai malam ini dan malam-malam seterusnya, kamu harus menemaniku tidur di atas ranjang yang sama."
Terasa saliva meluncur kesat di tenggorokan Audi ketika kalimat itu kembali Darren ucapkan. Seperti mengingatkan dirinya bahwa perjanjian tetaplah perjanjian. Sebuah kesepakatan yang harus ia tunaikan.
"A-aku tidak akan melanggar janji," balas Audi mencoba tenang, meski sejatinya debaran di hatinya begitu kencang berdetak. Terlebih harus menatap wajah Darren yang seolah tak berjarak dengannya.
"Bagus. Memang seharusnya begitu bukan?" ucap Darren sambil menyeringai.
Setelahnya mereka hanya saling menatap satu sama lain. Seperti mencoba menyelami pikiran masing-masing, dan mencari tahu meski tak jua menemukan.
Hingga di detik berikutnya, Darren perlahan mendekatkan wajahnya, lalu menempelkan bibir di atas bibir Audi yang malam itu seperti memintanya untuk kembali disentuh untuk yang kedua kali, setelah aksi pertamanya siang tadi.
Audi pun masih menahan napas ketika bibir Darren menyentuh dalam diam. Ia yang sudah tahu akan aksi selanjutnya, tetap diam menunggu. Namun,
"Arh!"
Tiba-tiba Darren menekan bibirnya pada sang istri. Membuat perempuan itu membelalak kaget saat merasakan sentuhan tak biasa yang sebelumnya belum pernah dirinya rasakan.
'Apa ini?'
Aksi ciuman yang sebelumnya Audi tebak ke mana arah dan temponya, sama sekali meleset dari yang ia bayangkan. Darren tidak melakukan ciuman seperti yang sudah pernah mereka lakukan ketika hubungan mereka dulu. Saat ini yang bisa ia rasakan adalah sebuah ciuman mendamba, bukan aksi tuntutan yang Darren pinta padanya.
Alhasil, Audi pun tertipu. Ia yang sebelumnya berpikir untuk membiarkan semuanya mengalir seperti yang sudah ditebak, kini seolah terdiam terpaku, merasakan aksi Darren yang sudah membuatnya terjebak dalam ketidakberdayaan.
***