"Aku ingin kau memeriksa semua gedung yang memiliki kemungkinan digunakan si pelaku...."
"Bukankah terlalu membuang waktu kalau aku harus memeriksa semua gedung?"
Dean menggeram kesal. Lagi-lagi bocah pirang yang bernama Dennis Wyatt memotong perkataannya. Sepertinya pria itu memang perlu dihajar sekali lagi.
"Setahuku, senjata api yang digunakan oleh si pembunuh adalah berjenis Barret M95. Itu yang dilihat dari peluru yang ditemukan di dahi korban. Kurasa kau juga sudah tahu kalau senjata itu bisa ditembakkan dari jarak hampir satu kilometer jauhnya. Jadi, kau simpulkan saja di mana si pembunuh berada."
Dean terdiam. Kata-kata yang diucapkan Dennis benar juga. Si pembunuh tak mungkin melepaskan peluru dari jarak hanya sekitar dua puluh atau lima puluh meter, pasti jaraknya dari korban ratusan meter. Namun, bagaimana kalau perkiraan mereka salah? Bagaimana kalau si pembunuh sengaja ingin membuat mereka terkecoh? Semua orang tahu kelebihan Barret M95, para penembak jitu sudah banyak yang beralih menggunakan senjata api jenis terbaru itu. Hanya saja, ia curiga kalau-kalau si pembunuh sengaja ingin mereka berpersepsi, seolah-olah pembunuh itu berada di tempat yang jauh, padahal sebenarnya di tempat yang begitu dekat.
"Tidak apa, Dennis. Kau periksa saja semuanya," ucap Dean ragu. "Kita perlu mencurigai setiap kemungkinan yang ada."
"Baiklah, kalau itu maumu. Besok kau akan mendapatkan semua yang kau inginkan."
Perkataan bernada sombong itu tidak dihiraukan Dean, ia langsung memutuskan sambungan begitu saja. Kebiasaan buruk memang, beruntung semua yang mengenalnya sudah memahami meski tak jarang mereka kesal. Dean meletakkan ponsel di sampingnya, tangannya mengusap wajah sebelum kembali meneruskan bacaannya. Hanya beberapa detik Dean sudah melemparkan kertas itu. Menurutnya tidak ada yang penting lagi untuk diketahui. Ia sudah membaca bagian penting itu, tersisa hanya definisi peluru dan jenis senjata api yang kemungkinan besar digunakan tersangka untuk menghabisi korban. Dennis tadi sudah mengatakan tentang senjata itu. Namun, bagaimana Dennis tahu tentang jenis senjata api yang digunakan si pembunuh? Astaga, ternyata anak itu lebih hebat dari perkiraannya. Jangan sampai bukti-bukti lain mengarah pada Dennis, ia tak ingin kehilangan ahli IT di tim-nya.
Dean bersandar pada sandaran sofa, mendongak, dan memejamkan mata. Entah sudah berapa bungkus keping keripik kentang mengisi lambungnya. Yang pasti mangkuk besar itu tinggal sepertiga isinya, tapi ia tetap lapar. Astaga! Dean berdecak. Sungguh, ia tak ingin makan berat malam ini, tak ingin keluar rumah lagi lebih tepatnya. Sangat malas untuk menjalankan mobil. Mungkin tidak apa menahan lapar sebentar.
Dengan malas Dean bangkit. Mengabaikan kekacauan di ruang tengah, ia melangkah menuju tangga. Dean lebih memilih pergi ke kamarnya daripada mengisi perutnya yang mulai protes karena tidak diisi. Sungguh, ia sangat malas untuk berkendara malam ini. Makanan yang dijual di restoran dan kafe yang terdapat di kanan kiri gedung tidak sesuai dengan seleranya. Menurutnya makanan yang dijual di restoran dan kafe itu kurang enak. Lebih enak masakannya sendiri.
Sejak kecil Dean sudah terbiasa hidup mandiri. Ia bahkan harus hidup seorang diri sejak berusia sepuluh tahun. Bukannya tak ada yang ingin mengadopsi, ia hanya merasa nyaman tinggal di sisa puing panti asuhan tempatnya dibesarkan. Dengan pengawasan ketat dari Dinas Sosial, Dean kecil menggunakan dua buah ruangan yang tersisa untuknya tinggal. Beruntung kamar mandi juga tidak ikut terbakar sehingga ia bisa dengan mudah melakukan aktivitas sehari-hari dengan mudah. Ia belajar memasak juga dengan pengawasan tetangga. Beberapa kali Dean kecil dibawa ke Dinas Sosial karena ia menolak untuk diadopsi, juga tinggal di panti asuhan lain. Sampai akhirnya mereka bosan dan menyerah, orang-orang dewasa itu membiarkannya tinggal seorang diri, tapi tetap di dalam pengawasan. Bagi Dean tidak apa-apa, asalkan ia tidak ke mana-mana, tetap di panti asuhan tempat ia dibesarkan.
Bukan hal.mudah bagi Dean untuk sampai di titik sekarang ini. Ia berjuang sangat keras. Semua rintangan dan halangan yang dihadapinya membuatnya menjadi pribadi yang semakin kuat dan membentuk dirinya sekarang. Kalau dulu ia.dicemooh oleh anak-anak seusianya, sekarang ia yang menangkap mereka. Tak jarang teman-teman masa sekolahnya melakukan sebuah kejahatan, yang paling sering adalah kasus obat-obatan terlarang. Beberapa hari yang lalu seorang temannya semasa sekolah, yang dulu mengejek dan membullynya, lagi yang terciduk mengedarkan daun ganja. Memang bukan dirinya yang melalukan penangkapan, tapi mereka bertemu di kantor polisi dengan ia sebagai petugas dan temannya sebagai tersangka. Roda selalu berputar.
Dean membaringkan tubuh kasar. Ia sudah dari kamar mandi, mencuci tubuh dan sekarang bertelanjang d*da. Selain sering memutuskan sambungan telepon begitu saja, kebiasaan buruk Dean yang lain adalah tidur yang selalu dalam keadaan shirtless, seolah sengaja memamerkan kotak-kotak di perutnya. Padahal ia hanya tidak bisa tidur saja kalau harus mengenakan pakaian lengkap. Di mana pun berada, Dean pasti akan tidur dengan tidak menggunakan pakaian. Ia akan gelisah dan tidak bisa memejamkan mata kalau berpakaian lengkap.
Suara-suara di perutnya membuat Dean meringis. Namun, ia tetap mencoba memejamkan mata, melawan demo yang dilakukan para cacing penghuni perutnya.
***
Sebuah rumah di kawasan distrik X masih terang benderang oleh cahaya lampu. Sebuah keluarga kecil yang terdiri dari sepasang suami istri dan putra kecil mereka yang masih berusia empat tahun tinggal di rumah itu. Sudah pukul sepuluh malam, tapi sepasang suami istri yang mendiami rumah itu, Casper dan Sophie James, masih belum tidur. Mereka masih bercengkerama di ruang tengah rumah mereka. Casper menceritakan tentang pekerjaan dan kesehariannya di kantor siang tadi pada istrinya. Sophie mendengarkan dengan serius, sesekali terbit senyum di bibirnya, juga suaranya kadang terdengar menanggapi.
"Terdengar sangat menyenangkan."
Suara dalam dan dingin itu membuat Casper dan Sophie menoleh bersamaan. Keduanya terkejut melihat seorang pria asing berpakaian serba putih berdiri dengan menyandarkan bahu pada dinding pembatas. Cepat Casper berdiri, Sophie menyusul sedetik setelahnya. Insting Casper sebagai kepala keluarga yang melindungi keluarga langsung bekerja. Alarm di kepalanya mendengungkan bahaya, apalagi melihat sebuah senjata api tersandung di bahu pria tak dikenal itu. Casper menarik Sophie untuk berlindung di belakangnya.
"Siapa kau? Bagaimana kau bisa masuk ke rumahku?" tanya Casper penuh kecurigaan. Ia juga bersiaga. Seingatnya tadi ia sudah mengunci seluruh pintu dan jendela di rumahnya. Lalu, bagaimana mungkin pria ini bisa masuk? Lewat mana?
"Siapa aku?"
Pria asing itu justru balik bertanya. Gaya dan suaranya yang dingin membuat Casper meningkatkan kewaspadaannya. Ia yakin kalau pria bermata hazel itu berniat jahat padanya dan keluarganya.
Suara tawa menggema di ruang tengah yang cukup luas. Casper memegang sebuah posisi yang cukup penting di salah satu perusahaan raksasa di negara mereka, tak heran kalau tempat tinggalnya lebih besar dari orang kebanyakan. Rumah besarnya hanya dihuni oleh mereka bertiga pada malam hari, para asisten rumah tangga bertugas siang hari saja. Malam seperti ini asisten rumah tangga yang berjumlah tiga orang kembali ke paviliun mereka yang terletak dua ratus meter di samping rumah utama ini.
"Kurasa aku tidak perlu mengatakan siapa diriku pada orang yang sebentar lagi akan tiada."
Kata-kata itu meyakinkan Casper kalau keluarganya dalam bahaya. Pria asing di depannya bertugas menghabisi nyawanya. Namun, kenapa? Siapa yang menyewa seorang pembunuh untuk menghabisi dirinya dan keluarganya?
"Kau tidak membutuhkan namaku di alam sana."
Sophie gemetar mendengar kata-kata pria asing itu. Pria bermata hazel dengan tatapan dingin yang menusuk. Pria yang ingin membunuh suami dan kemungkinan besar juga dirinya. Astaga, bagaimana ini? Bagaimana putranya kalau mereka tiada? Siapa yang akan merawat Alexander? Jangan sampai pria ini membunuhnya. Jangan sampai mereka tewas. Sophie terus berdoa dalam hati, semoga mereka dilindungi dan terhindar dari malapetaka yang diciptakan pria mengerikan di depannya. Kalaupun dia dan suaminya tewas, jangan sampai pria itu menemukan putra mereka. Alexander masih sangat kecil.
"Setidaknya kau mengatakannya agar aku tidak penasaran." Casper masih mencoba mengajak pria itu bicara. Ia memutar otak mencari cara untuk membebaskan diri dari jerat pembunuh di depannya. "Atau mungkin memberitahuku siapa yang menyuruhmu untuk menghabisiku."
"Sayangnya aku tidak tertarik. Aku lebih suka korbanku mati dengan membawa rasa penasaran mereka."
Tangan itu bergerak secepat kilat. Casper yang berdiri tepat di depan Sophie langsung roboh sebelum menemukan cara menyelamatkan diri. Sebuah lubang peluru terdapat di tengah-tengah dahinya. Ada setitik darah di sana, dan itu cukup membuat Sophie menjerit keras menyadari suaminya sudah tidak bernyawa. Betapa canggih senjata yang digunakan pria bermata hazel sampai-sampai suaminya langsung roboh tanpa menimbulkan suara.
"Inilah sebabnya kenapa aku tidak menyukai makhluk yang bernama perempuan. Kalian selalu berisik!"
Satu tembakan lagi dilepaskan. Sama seperti tadi, tanpa suara. Senjata api keluaran terbaru itu sudah dipasangi peredam. Bahkan jeritan Sophie sudah tak terdengar lagi. Dia roboh tepat di atas tubuh suaminya, dengan luka yang sama. Sebuah peluru menembus tepat di tengah-tengah dahinya.
Beberapa saat pria bermata hazel tak bergerak dari posisinya. Tatapannya lurus ke depan, pada sepasang suami istri yang sudah tidak bernyawa.
"Pemandangan yang manis," komentar pria bermata hazel. "Bahkan dalam kematian pun kalian bersama."
Pria itu berbalik, kakinya melangkah untuk meninggalkan tempat itu, sebelum sebuah suara kecil menginterupsinya.
"Siapa kau? Di mana orang tuaku?"
Pria itu memutar tubuh perlahan. Seorang bocah kecil berambut pirang dan bermata biru berdiri di anak tangga paling bawah. Ada boneka beruang di pelukannya. Pria bermata hazel mengangkat sebelah alisnya. Dalam kontrak kerjanya tidak disebutkan kalau ia juga harus menghabisi nyawa putra keluarga James. Oleh sebab itu, pria bermata hazel kembali membalik badan dan langsung meninggalkan tempat itu tanpa bersuara lagi. Ia merasa tidak perlu menjawab pertanyaan si bocah. Ada jasad kedua orang tuanya di sana sebagai jawaban.
***
Sinar matahari pagi yang jatuh tepat di wajahnya, melalui jendela kamar yang terbuka, memaksa mata hijau hazel Dean untuk terbuka. Dengan cepat Dean mengulurkan tangan untuk menutupi matanya yang terkena langsung sinar matahari. Dean mengerang melihat jendela kamarnya yang terbuka. Pantas saja rasanya seperti bersentuhan langsung dengan sinar matahari, ternyata ia lupa untuk menutup jendela itu tadi malam.
Sungguh, seandainya tidak ada yang menghubungi, juga perutnya yang semakin berbunyi mendendangkan lagu kelaparan, Dean tidak akan bangun. Rasanya sangat nyaman berada di atas tempat tidur. Ternyata tempat tidurnya sangat empuk, membuatnya betah. Sayangnya suara dering ponsel kembali mengganggu, memaksa mata Dean yang hampir terpejam untuk terbuka kembali. Dengan sangat amat terpaksa Dean menjawab panggilan itu, tanpa melihat siapa yang menghubungi.
"Ada apa?" tanya Dean sambil melangkah ke kamar mandi.
"Kau di mana?"
Suara kepala polisi Jonathan Storme. Dean mengernyit. Tumben sekali atasannya menghubungi di jam seperti ini, jam yang masih terhitung sangat pagi.
"Aku baru bangun tidur karena suara dering ponselku," jawab Dean jujur. Ia mencuci muka, kemudian berkumur-kumur.
"Sudah kuduga."
Dean mengangkat bahu mendengarnya. Ia melanjutkan menggosok giginya.
"Setelah selesai mandi pergilah ke distrik X, mereka memerlukanmu di sana. Pasangan suami istri James tewas terbunuh tadi malam"
Dean menyemburkan air yang berada di dalam mulutnya. Ia.juga tersedak, ada sedikit air itu yang memasuki kerongkongannya. Dean menggeleng, berusaha mengeluarkan air sebelum memasuki lambung. Percayalah, air mentah kurang baik untuk kesehatanmu.
"Apa katamu?" tanya Dean setelah berhasil mengeluarkan air dari kerongkongannya. "Bisakah kau ulangi?" pintanya. "Ada pembunuhan lagi?"
"Iya."
Embusan napas kepala polisi Storme menyapa gendang telinga Dean, membuat perasaannya tiba-tiba saja tidak enak.
"Aku perkirakan ini pembunuh yang sama dengan yang membunuh Clarence."
Dean mengusap wajah kasar. Belum selesai satu kasus, sudah ada kasus lainnya. Kalau terus seperi ini, semakin jauhlah ia menuju Dubai.
"Cepatlah ke sini, kita memiliki bukti."
Dean mengerang. "Bisakah aku ke sana setelah mandi dan sarapan? Aku sangat kelaparan."
"Bisa saja asal kau cepat-cepat melakukannya."
Dean menyumpah tanpa suara. Kepala polisi Storme sangat menyebalkan baginya, selalu memaksa. Seandainya saja pria itu bukan atasannya, juga bukan pria yang berjasa dalam karirnya, ia pasti akan menghajar pria itu sampai babak belur. Dean tidak menyahut lagi. Seperti biasa, ia memutuskan sambungan telepon mereka secara sepihak. Dean meletakkan ponsel di atas meja wastafel, meloloskan kain yang tersisa di tubuhnya sebelum melangkah ke bawah shower.
Lima menit Dean sudah siap berada di depan meja makan dengan semangkuk besar sereal bermandikan s*su. Lima menit berikutnya semua serela di dalam mangkuk itu sudah berpindah ke dalam perutnya. Bukan karena kepala polisi Storme yang memintanya untuk cepat, melainkan karena ia yang sangat kelaparan. Dean bersumpah tak akan pernah meninggalkan makan malam lagi barang sekalipun. Ia seperti orang yang tidak makan selama setahun saja. Dean bergidik ngeri melihat meja makannya yang berantakan. Remah sereal dan cipratan s*su di mana-mana.
Dean menepuk pelan dahinya. Mengabaikan pemandangan indah meja makannya dan berdiri. Bersiap untuk pergi, atau Pak kepala Storme akan kembali menghubunginya. Untuk saat ini, ia tudak ingin mendengar suara menyebalkan pria itu. Ia tak ingin paginya yang jauh dari kata indah menjadi semakin buruk.