Kemacetan selalu menjadi wajah kota-kota metropolitan di seluruh dunia. Begitu juga dengan Kota New York, selalu dipadati kendaraan di titik-titik tertentu yang membuat lalu lintas menjadi macet. Dean menjadi salah satu orang yang terjebak dalam kemacetan itu. Sudah beberapa kali ia membunyikan klakson meminta mobil di depannya bergerak. Setiap kali kepala polisi Storme menghubunginya setiap itu pula Dean membunyikan klaksonnya. Sayangnya ia tidak mendapatkan apa-apa. Bukannya mobil di depannya bergerak, Dean justru mendapatkan teriakan dari para pengemudi di sekelilingnya. Sangat menyebalkan memang. Mungkin orang-orang itu tudak akan berani meneriakinya kalau tahu siapa Dean sebenarnya.
"Bisakah kau berhenti membuat keributan, Bung?" tanya seorang pengemudi. "Bukan kau saja yang terburu-buru, semua yang terjebak dalam kemacetan ini juga sama sepertimu!"
Dean tidak memedulikan seruan itu. Ia kembali membunyikan klakson ketika ponselnya berbunyi, dan nama kepala polisi Storme tertera di layar ponsel. Seandainya para pengemudi itu ingin menghajarnya ia akan dengan senang hati melayani, sebagai pelampiasan kekesalan terjebak macet. Beruntungnya, sebelum para pengendara yang merasa terganggu dengan suara klakson yang dibunyikan Dean mengeroyoknya, kendaraan sudah mulai bergerak. Dean yang sudah bersiap untuk berolahraga barang sejenak langsung melajukan mobilnya dalam kecepatan tinggi. Ia sudah sangat terlambat.
Jonathan Storme sudah menunggu kedatangannya di depan pagar rumah besar itu. Tak memedulikan dengan atasannya, Dean terus melajukan mobil, membawanya masuk ke dalam halaman rumah yang luas dan memarkirkannya di sana. Dean juga masuk lebih dulu ke dalam rumah yang besar yang dipasangi garis polisi. Beberapa petugas tampak mondar-mandir ke sana kemari.
"Kau datang sangat terlambat."
Dean hanya menoleh sekilas mendengar suara itu. Ia lebih memilih untuk melangkah lebih dalam lagi memasuki rumah ini. Di ruang tengah, petugas lebih banyak berseliweran. Ada juga yang bergerombol. Dean baru tahu kalau para opsir ini juga suka menggosip, atau itu hanya dugaannya saja. Melihat dirinya dan kepala polisi Storme memasuki ruang tengah ini, mereka membubarkan diri, ada yang menghampiri teman-temannya ada juga yang kembali bekerja.
"Mayat sudah diantar ke rumah sakit untuk diautopsi."
Sekali lagi Dean menoleh, kali ini lebih lama. Ia bahkan menanggapi perkataan atasannya dengan sebuah pertanyaan.
"Apakah kau yakin ini perbuatan pembunuh yang sama?" tanya Dean.
Jonathan Storme mengangguk. "Tanpa memeriksa pun aku sudah yakin," jawabnya. "Ciri-ciri pada kedua mayat sama persis dengan yang ditemukan pada mayat Clarence beberapa waktu yang lalu. Keduanya tewas dengan luka tembak di kepala. Tepat di tengah dahinya." Jonathan menyentuh dahinya sendiri sebagai contoh.
"Dua mayat?" ulang Dean bertanya. Sepasang alis tebalnya bertaut. "Maksudmu ...?"
Dean tidak melanjutkan pertanyaannya. Anggukan kepala Jonathan sudah menjadi jawaban. Bahkan atasannya itu masih menambahkan untuk memperkuat.
"Dua korban, dua mayat," ucap Jonathan menatap lurus ke depan, di mana foto keluarga James terpasang di salah satu sisi tembok ruang tengah itu. "Suami istri James."
Dean kembali menoleh. Ia juga memutar tubuhnya ke arah Jonathan yang berada tiga kaki di belakangnya. Ia tidak bersuara, hanya menunggu atasannya melanjutkan penjelasan.
"Seperti kita ketahui keluarga James memiliki seorang putra."
Dean mengangkat alis. "Benarkah?" tanyanya.
Ia bersungguh-sungguh dalam bertanya karena memang tidak tahu menahu tentang keluarga ini. Sesungguhnya Dean tidak pernah tertarik untuk tahu masalah atau apa pun dari orang lain. Ia juga tidak suka dengan semua itu. Yang penting baginya adalah dirinya sendiri. Tidak ada yang akan peduli padanya seandainya ia terluka. Mungkin memang pemikiran yang picik, tapi sekali lagi Dean tidak peduli. Ia tidak ikut campur dalam kehidupan orang lain, orang lain juga tidak ikut campur dalam hidupnya. Sesederhana itu.
Jonathan mengangguk sebagai tanggapan.
"Lalu, bagaimana?" tanya Dean lagi. "Maksudku, dengan putra mereka. Apakah ia juga terbunuh?"
Kali ini Jonathan menggeleng. "Tidak," sahutnya sambil mengembuskan napas melalui mulut. "Bocah berusia empat tahun itu baik-baik saja. Dia hanya sedikit tertekan dan syok karena melihat mayat kedua orang tuanya. Satu lagi Dean, Alexander James adalah satu-satunya orang yang melihat pembunuh itu."
"Maksudnya?" tanya Dean dengan alis bertaut. "Bocah itu adalah saksi?"
Sekali lagi Jonathan mengangguk. "Saksi kunci," jawabnya. "Hanya saja keterangan anak kecil yang syok tidak dapat dijadikan pedoman. Kita hanya bisa menunggu."
Dean menggeleng pelan beberapa kali. Kedua tangannya mengibas kacau. "Aku tahu bagaimana perasaan anak itu. Aku pernah berada di posisinya, hanya usia kami saja yang berbeda."
Dean mengusap wajah kasar. Bayangan api yang melalap habis saudara dan ibu panti serta panti asuhan tempatnya dibesarkan kembali berlarian di kepalanya. Dean memejamkan mata sesaat. Sinar mata yang lain terpancar dari sepasang mata hijau hazel-nya begitu mata itu terbuka. Hanya sedetik, di detik berikutnya sinar mata Dean kembali seperti semula. Dingin dan tajam mengintimidasi. Hanya orang-orang tertentu saja yang berani bertatapan dengannya.
"Anak itu sepertinya mengalami trauma, Dean." Jonathan memberitahu. "Ia menolak berbicara, juga menangis bila didekati. Alexander hanya memeluk boneka beruangnya."
"Anak itu beruntung karena tidak ikut dihabisi," ucap Dean lirih. Kepalanya menggeleng sekali, mengusir bayangan kelam yang kembali mencoba memasuki pikirannya.
"Menurutmu begitu?" tanya Jonathan. Ia mendengar perkataan lirih Dean.
Dean mengangkat bahu. "Entahlah," sahutnya. "Tapi kurasa memang seperti itu. Kuharap bocah itu baik-baik saja."
"Alexander tidak memiliki wali."
Dean menatap lurus ke wajah atasannya mendengar kata-kata yang keluar dari mulutnya.
"Keluarga James tudak memiliki saudara ataupun keluarga lagi. Mereka hanya hidup bertiga."
"Berarti sekarang bocah itu sendirian."
Lagi-lagi Jonathan mengangguk. "Saat ini ia masih bersama pengasuhnya, tapi si pengasuh sudah menyatakan ketidakbersediaannya mengasuh Alexander."
"Eh? Kenapa seperti itu?" tanya Dean bingung. Alisnya kembali bertaut.
"Pengasuh Alexander bukan orang yang kaya, juga sudah memiliki beberapa orang anak. Ditambah lagi perempuan itu seorang orang tua tunggal, dia angkat tangan kalau harus mencukupi kebutuhan satu orang anak lagi."
Dean berdecak. Ia memahami pengasuh itu, tapi tetap merasa kesal mendengar kata-kata Jonathan. Perempuan pengasuh itu seolah tidak memiliki hati. Tidakkah dia kasihan pada bocah kecil yang sudah kehilangan keluarganya? Lagi-lagi Dean menyamakan bocah itu dengan dirinya. Nasib mereka sama. Hanya saja dulu banyak para tetangga yang ingin mengadopsinya, tapi ia menolak. Ia tak ingin meninggalkan panti asuhan yang hanya tersisa dapur dan kamar mandi.
"Lalu, bagaimana sekarang? Siapa yang akan mengasuh bocah itu?" tanya Dean.
"Saat ini Dinas Sosial yang bertanggung jawab mengasuhnya," jawab Jonathan. "Orang-orang mereka akan bergantian menjaga Alexander di sini. Ia tidak mau dibawa ke mana pun, ingin tetap di sini saja."
Dean mengangguk. Sekali lagi ia memahami apa yang dirasakan bocah itu. Sudah terbiasa di satu tempat, walaupun tempat itu bukanlah tempat terbaik bagi sebagian besar orang, tapi tetap menjadi segalanya untuk kita. Home sweet home berlaku.
"Untuk yang satu itu aku mengerti," ucap Dean. "Tidak mudah meninggalkan tempat yang sudah lama kita tinggali. Tak mudah untuk beradaptasi di tempat yang baru apalagi dipenuhi oleh orang-orang yang tidak kau kenal."
Jonathan mengangguk pelan. Ia juga memahami. Bagi sebagian besar anak kecil, tempat baru pastilah menyenangkan. Namun, ada beberapa anak yang sulit beradaptasi dengan lingkungan yang belum pernah didatangi sebelumnya. Mereka tidak terbiasa. Meski hanya sedikit saja anak kecil yang seperti itu. Dean dan Alexander adalah sebagian dari anak-anak yang sedikit itu. Keduanya lebih memilih untuk tinggal di tempat mereka sendiri.
"Bagaimana dengan mayat kedua orang tua bocah itu? Apakah ditemukan bukti lain?" tanya Dean mengalihkan topik.Ia tidak terlalu suka dengan perbincangan mengenai anak kecil ini, membuat sisi lain dari dirinya bangkit saja.
"Tidak ada," jawab Jonathan menggelengkan kepala. "Kedua mayat itu bersih, tak ada kekerasan apalagi sidik jari yang tertinggal. Kita harus menunggu tim forensik selesai mengautopsi kedua jenazah korban untuk mengetahui lebih lanjut."
Dean mengangguk. Tangannya terangkat mengusap wajah sebelum kembali tersimpan di saku celana jean's yang dikenakannya.
"Apakah masih ada lagi?" tanya Dean menatap Jonathan. "Kalau sudah tudak ada, aku akan pergi. Aku harus menemui Dennis, ada sesuatu yang akan kami bicarakan, mengenai pembunuh Clarence."
"Kau sudah mendapatkan bukti baru?" tanya Jonathan bersemangat. Ia yakin kedua kasus pembunuhan ini berhubungan. Pembunuhnya adalah orang yang sama. Semua bukti hampir mengarah ke satu orang itu. Pembunuh yang masih belum mereka ketahui siapa orangnya.
"Belum." Dean menggeleng. "Aku hanya meminta Dennis memeriksa seluruh gedung yang berada di sekitar apartemen. Mungkin saja ada pergerakan mencurigakan yang bisa kita jadikan barang bukti."
Jonathan mengerutkan alisnya. Ia sedikit kurang paham dengan apa yang dipikirkan anak buahnya yang satu ini. Cara kerja Dean sedikit sulit ditebak. Saat detektif dan petugas penegak hukum lainnya lebih memilih menganalisis terlebih dahulu, Dean justru bergerak dengan hanya mengandalkan instingnya yang memang terbukti tajam. Itu yang membuat Dean dan Jason, detektif seangkatannya berselisih. Bukan hanya karena kasus lebih banyak diungkap oleh Dean sehingga Jason menganggapnya sebagai saingan, tetapi juga karena cara kerja Dean yang di luar dugaan. Jason lebih mengandalkan rencana matang sebelum melakukan penyergapan, sementara Dean sebaliknya. Langsung bergerak tanpa ada rencana apa-apa.
"Sampai nanti!" Dean membawa langkah menjauhi Jonathan. "Kirimkan saja hasil autopsi ke alamatku, Pak Tua! Aku tak ingin ke kantor kecuali harus menyerahkan laporan padamu."
Sangat tidak sopan memang, tetapi ia sudah terbiasa dengan panggilan yang disematkan Dean padanya. Jonathan hanya melambaikan tangan saja menanggapi kata-kata itu. Ia kembali fokus pada apa yang terjadi di ruangan ini sebum kembali ke kantornya jam makan siang nanti.
***
Tak ada lagi macet ataupun sejenisnya yang memperlambat seseorang. Dean tiba di laboratorium forensik setelah menempuh hampir dua jam perjalanan. Jarak yang cukup jauh untuk ditempuh. Seandainya ada macet tentu sekarang ia masih berada di jalanan. Dean langsung menuju ruangan Dennis dengan setengah berlari. Ia terburu, selain itu juga menghindari sesuatu. Seperti Pamela Shawn misalnya. Perempuan itu selalu mengikutinya kalau tahu ia berada di sini. Pamela juga bekerja di laboratorium ini.
Seperti biasa, Dean tak pernah mengetuk pintu. Ia akan langsung masuk begitu saja kalau inti tidak terkunci. Entah karena terbiasa melakukan penyergapan atau apa, terapi kebiasaan buruk Dean ini banyak yang tidak menyukai, termasuk Dennis Wyatt. Pria berambut pirang itu mendelik kesal melihat Dean yang sudah berada di depan mejanya.
"Tidak bisakah kau mengetuk pintu terlebih dahulu sebelum masuk?"
Teguran keras yang berupa pertanyaan itu bukan yang pertama didengar Dean. Ia sudah sering mendapatkannya, tapi tetap saja ia tidak jera. Hanya ditegur saja, ia tidak dipecat dari pekerjaannya. Jadi, tak perlu mengubah sesuatu yang memang sangat sulit untuk diubah.
"Kau mengagetkanku!"
Dean memutar bola mata jengah.
"Seperti hantu saja!" Dennis masih bersungut. Ia kesal pada tingkah rekan kerjanya ini yang sangat tidak sopan menurutnya. Meski sudah terbiasa, tetap saja ia terganggu.
"Kurasa kita sudah membuat janji untuk bertemu hari ini, pada jam ini!" tekan Dean sambil duduk di depan Dennis sebelum dipersilakan "Keterkejutanmu itu berlebihan, Dennis."
Dennis mendengkus kesal. Begitu banyaknya sifat buruk Dean membuatnya heran bagaimana pria ini bisa menjadi yang terbaik di kesatuan mereka. Bahkan pria itu sudah duduk tanpa meminta izin terlebih dahulu padanya. Benar-benar menyebalkan.
"Apa yang kau dapatkan?" tanya Dean langsung pada topik permasalahan. Ia sedang terburu, masih ada kasus pembunuhan lain lagi yang harus diselidikinya. Pembunuhan yang diduga dilakukan oleh pembunuh yang sama. Oleh sebab itu Jonathan memberikan kasus itu padanya juga.
Dennis memberikan sebuah amplop besar berwarna cokelat pada Dean. Meletakkannya di meja tepat di depan pria itu.
"Semuanya ada di dalam amplop itu," ucap Dennis memberitahu. Telunjuknya mengarah pada amplop di atas meja. "Kau harusnya mengucapkan terima kasih dengan mentraktirku, aku harus memecahkan kode yang melindungi perangkat lunak kamera pengintai itu."
"Kau berhasil memecahkannya?" tanya Dean dengan sebelah alis terangkat.
Dennis tersenyum pongah. "Jangan panggil aku Dennis Wyatt kalau tidak bisa memecahkan kode yang gampang seperti itu."
Dean mendengkus kesal. Seandainya ia tidak memiliki kepentingan dengan Dennis, pasti sudah dihajarnya pria ini sejak tadi. Satu hal yang tidak disukainya dari Dennis, sifat sombongnya. Dennis memang yang paling pintar yang dimiliki kesatuan mereka, dan ia bangga dengan itu. Namun, sifat sombongnya membuat siapa saja muak. Dean berdiri, meraih amplop, dan memutar tubuh.
"Aku akan menghubungimu lagi kalau ada yang tidak aku mengerti!" ucap Dean sebelum membuka pintu dan meninggalkan ruangan itu. Kembali setengah berlari menuju keluar. Ia bahkan mengabaikan sapaan beberapa orang yang berpapasan dengannya.
Dean mengembuskan napas lega kala mobilnya sudah melaju di jalan raya. Terjebak kemacetan baginya masih lebih baik daripada harus terjebak di laboratorium bersama Pamela. Perempuan itu adalah salah satu yang harus ia hindari. Tipe manusia berisik yang sangat mengganggu.
Mobil Dean berbelok di sebuah kafe di kawasan Time Square. Ia memilih untuk makan siang dulu sebelum memeriksa isi amplop yang diberikan Dennis. Penghuni perutnya sudah minta diisi sejak beberapa menit yang lalu. Kafe-kafe di sekitaran tempat ini adalah yang terbaik untuk mengisi perut .