Andai saja ponselnya tidak berbunyi pasti Dean masih berada di atas tempat tidur, masih belum bangun pagi ini. Hanya saja dering ponsel yang nyaring melebihi suara jam alarm yang dipasang beberapa menit berbunyi sebelum dering ponsel, memaksanya untuk menjawab panggilan. Dengan mata yang masih terpejam Dean mendekatkan ponsel ke telinga setelah menggulir ikon berwarna hijau ke atas. Semua dilakukan dengan mata yang masih terpejam, ia sudah sangat hafal dengan semua itu. Apalagi dengan suara dalam yang sekarang menyapa gendang telinganya.
"Selamat pagi, Oliver!"
Dean menjauhkan ponsel dari telinganya, mengerang tertahan tanpa suara, dan membuka mata perlahan. Ia tak menyangka kalau kepal polisi Storme akan menghubunginya pagi-pagi seperti ini. Apakah ada kasus pembunuhan lagi yang terjadi tadi malam? Astaga, jangan sampai! Dua kasus yang ada belum terpecahkan, kalau ditambah satu kasus lagi walaupun dengan ciri dan terduga pembunuhan yang sama, tetap saja akan semakin lama ia mencapai Dubai. Dean memaki dalam hati.
"Selamat pagi, Pak!" Dean berdehem sekali sebelum menyahut. Ia tak ingin atasannya tahu kalau ia masih di atas tempat tidur.
"Kau baru bangun tidur?"
Dean kembali mengerang tanpa suara. Ternyata Jonathan tidak bisa dibohongi. Pria tua itu sudah sangat mengenalnya. Sialan!
"Apakah aku yang terlalu pagi menghubungi atau kau yang terlambat bangun lagi?"
"Entahlah." Dean mengangkat bahu. "Kurasa keduanya,' jawabnya sambil mengucek mata.
Sebenarnya ia sangat malas, tapi Dean memaksakan diri untuk bangun dan duduk. Ia masih mengantuk. Tadi malam setelah pulang dari rumah keluarga James, ia tidak langsung tidur. Ia mencoba mengaitkan semua bukti dari dua kasus pembunuhan ini. Untuk tersangka, ia sudah yakin kalau yang menghabisi Clarence dan keluarga James adalah orang yang sama. Ciri-ciri pada ketiga mayat sama persis, ditembak tepat di tengah-tengah kepala. Satu yang Dean tak habis pikir, bagaimana bisa si pembunuh menembak sasaran setepat itu. Berarti pembunuh adalah orang yang sangat pandai dan merupakan penembak jitu. Ah, tidak. Si pembunuh lebih hebat dari seorang penembak jitu. Kalau penembak jitu terkadang bisa saja meleset, memerlukan target yang tidak bergerak agar tepat sasaran, juga perlu beberapa menit untuk membidik. Pembunuh itu sepertinya tidak memerlukan waktu cukup lama untuk menembak korbannya. Haruskah ia mengagumi orang yang menjadi targetnya?
"Kurasa kau terlalu pagi menghubungi." Dean memencet pangkal hidung. "Aku tidur dini hari kemarin malam. Begitu banyak yang kupikirkan."
"Benarkah? Apakah mengenai kasus yang sedang kau selidiki? Kalau begitu sebaiknya kau cepat ke sini, kau harus melihat ini secepatnya."
Astaga, kata-kata yang sangat membuat penasaran sekali! Dean bergegas turun dari tempat tidur, menuju kamar mandi dengan ponsel yang masih menempel di telinga. Ia bahkan tidak berbicara, belum menjauhkan ponsel saja. Saking penasarannya Dean lupa untuk memutuskan sambungan. Seandainya kepala polisi Storme tidak menegur mungkin Dean akan membawa serta ponselnya saat mandi.
"Apa kau sekarang berada di kamar mandi? Ataukah telingaku yang bermasalah karena mendengar suara air?"
Dean segera menengok ke arah samping, terkejut merasakan benda menempel di telinganya. Pria berambut hitam itu menggeleng, mulutnya berdecak. Rasa penasaran yang benar-benar buruk membuatnya sampai melupakan segalanya. Dean meletakkan ponsel di atas meja wastafel setelah memutuskan sambungan sepihak, melangkah ke bawah keran shower yang sudah ia nyalakan sejak beberapa menit yang lalu.
Lupakan sarapan! Dean tidak berminat untuk menyantap apa pun di apartemennya pagi ini. Ia akan membeli di jalan saja nanti. Sepotong croissant atau waffle sepertinya tidak buruk. Ditambah sekotak s*su segar pasti akan bisa mengganjal perutnya sampai saat makan siang nanti tiba. Rasa penasarannya mengalahkan segalanya, bahkan gerombolan cacing-cacing yang berdemo di dalam perutnya. Dean melajukan mobil menuju kantor kepolisian Kota New York.
Hanya dalam waktu satu jam Dean sudah berada di depan ruangan kepala polisi Storme, dengan mulut disumpal sepotong roti croissant dan sekotak s*su di tangan. Ia membelinya di jalan tadi. Abaikan malu, perutnya perlu diberi makan. Dean mengetuk pintu ruangan atasannya menggunakan tangan kiri yang bebas, membuka pintu sebelum terdengar sahutan dari dalam.
"Selamat pagi, Pak!" sapa Dean setelah menelan potongan roti terakhir yang memenuhi mulutnya. Ia duduk di depan Pak Kepala Storme tanpa meminta izin seperi biasa, menghabiskan s*su dan melempar kotaknya ke dalam tempat sampah yang berada di sudut ruangan.
Jonathan hanya mengembuskan napas melihat kelakuan anak buahnya yang satu ini. Sikap yang semaunya ditambah dengan gaya berpakaian yang bisa dibilang tidak mencerminkan seorang petugas kepolisian, membuat siapa pun tak menduga kalau Dean adalah seorang detektif. Pria itu lebih terlihat seperti seorang model majalah daripada petugas. Untungnya Dean selalu serius dalam setiap kasus yang ditanganinya. Seperti pagi ini, walaupun harus sarapan di jalan Dean langsung menemuinya di kantor.
"Maafkan aku harus membuang kotak susuku di tempat sampahmu," ucap Dean tanpa merasa.memuesal sedikit pun dalam nada suaranya, terap date seperti biasa.
Jonathan mengangguk. "Maaf juga karena aku harus menghubungimu pagi-pagi, dan memintamu ke sini."
Dean mengangkat bahu. "Tak masalah," sahutnya santai. Ia menyandarkan punggung ke belakang, kedua tangan terlipat di depan d*da. "Bisa kau katakan ada apa? Apa yang harus kulihat?" tanya Dean.
Jonathan tak menjawab. Ia hanya memberikan sebuah amplop besar berwarna cokelat ke hadapan Dean.
Dean mengerutkan alis. "Apa ini?" tanyanya bingung.
"Hasil autopsi pasangan James," jawab Jonathan tersenyum. "Tadi pagi-pagi sekali mereka memberikannya padaku. Kurasa kau ingin memeriksanya segera."
Dean mengerang tanpa sadar. Kepalanya mendongak, kedua tangan terangkat mengusap wajah kasar. Ia mengira Jonathan akan memberikan sesuatu yang berharga dan penting dalam penyelidikan ini. Ternyata hanya hasil autopsi saja. Kalau ini ia sudah mengetahuinya langsung dari si pemeriksa.
"Ada apa?" tanya Jonathan heran melihat Dean yang seperti seseorang yang tak tertarik. "Kau terlihat tidak bersemangat. Apa kau tidak ingin tahu apa yang terjadi dengan pasangan James?"
"Aku sudah tahu," jawab Dean malas. "Pam sudah memberitahu kemarin."
"Benarkah?"
Dean mengangguk. "Kemarin sore aku menemui Dennis di ruangannya. Aku hanya ingin tahu kenapa tidak terdapat apa-apa di laporan yang diberikannya padaku. Pam datang, aku memaksanya untuk memberitahuku. Kami membahas masalah ini beberapa saat." Ia mengangkat bahu. "Masalah senjata yang digunakan pembunuh, juga bagaimana ia memilikinya. Dennis berjanji akan menyelidiki."
"Apakah ada hal lain lagi yang dikatakan Pamela?" tanya Jonathan. Ia menyandarkan punggung ke belakang setelah mengambil kembali amplop dan menyimpannya di laci meja. Jonathan yakin Dean tidak memerlukannya. Lagipula ia tahu kalau Dean tidak menyukai membaca. Ia memberikan amplop berisi berkas ini hanya sebagai formalitas saja karena.dean pasti akan bertanya langsung pada sumbernya seperti yang dikatakannya tadi.
Dean menggeleng. "Tidak ada selain ciri-ciri pembunuhan yang sama, luka tembak tepat di tengah-tengah dahi. Kata Pam senjata yang digunakan berbeda, jarak tembak juga lebih dekat sekitar sepuluh meter atau lebih dekat lagi."
"Maksudmu, berarti benar kalau putra korban melihat wajah si pembunuh?" tanya Jonathan lagi. Kali ini ia kembali menegakkan punggung. Jujur saja, ia belum membaca laporan forensik itu. Oleh sebab itu ia tidak tahu apa yang dilaporkan para petugas forensik. Jadi, wajar saja kalau ia bertanya, ia memang tidak tahu.
"Untuk masalah itu aku tidak tahu." Dean menggeleng. "Pam tidak mengatakan apa pun soal itu. Lagipula, kurasa tidak ditemukan hal-hal seperti itu pada jasad kedua korban."
Dean sengaja tidak mengatakan apa yang terjadi pada pertemuan pertamanya dengan Alexander James. Menurutnya itu bukan sesuatu yang penting. Ia juga tidak tahu kenapa bocah itu bertanya seperti itu padanya. Mungkin benar Alexander melihat pelaku pembunuhan kedua orang tuanya, tapi bisa juga tidak. Tidak ada yang tahu kecuali bocah itu sudah bisa berbicara normal. Tadi malam tingkah dan cara bicara Alex tidak seperti bocah berusia empat tahun pada umunya. Meskipun masih terdengar suara khas bocahnya yang cadel, tapi Alexander terkesan memberontak dan tertekan.
Jonathan berdehem. Ia terlalu bersemangat sampai-sampai salah bicara. Sejak kapan koroner mengetahui apa yang terjadi di lokasi kejadian pembunuhan? Ia mengada-ada.
"Maksudku bukan seperti itu, kau tahu itu." Jonathan mengibaskan kedua tangan kacau. "Aku hanya merasa ... karena teman spesial kita menghabisi nyawa orang tua anak itu dalam jarak dekat, jadi kurasa anak itu pasti melihat pelaku penembakan." Menyebut teman spesial, Jonathan membuat tanda petik imajinasi di kedua sisi pelipisnya.
Dean mengangkat bahu. "Aku tidak tahu dengan hal itu. Kita bisa menanyakan padanya kalau ia sudah bisa diajak bicara seperti pad anak normal lainnya. Tadi malam aku ke kediaman keluarga James dan bertemu dengan anak itu. Ia terlihat seperti seorang pemberontak kecil yang sangat suak meneriaki perempuan dari Dinas yang saat ini menjaganya. Kata perempuan itu Alex akan dibawa ke Dinas Sosial kalau tidak ada yang mau mengadopsinya."
Kepala Dean menggeleng pelan. Rasanya masih tak terima kalau Alexander dibawa ke Dinas Sosial. Meskipun segala kebutuhannya terpenuhi di tempat itu, percayalah, semuanya tetap tidak akan sama dengan tinggal di rumah sendiri.
"Tentu seperti itu karena bocah itu tidak memiliki wali yang akan menjaga dan merawatnya," ucap Jonathan. Ia kembali menempelkan punggung pada sandaran kursinya. "Alexander James masih terlalu kecil untuk dibiarkan tinggal seorang diri di rumahnya. Di Dinas Sosial akan ada orang yang menjaga dan menemaninya. Di sana juga banyak anak yang seusia Alexander, dia bisa berteman dengan mereka."
Dean berdecak. Begitu banyak alasan yang dikemukakan Jonathan tapi tak satu pun yang masuk akal baginya. Anak-anak memang membutuhkan orang dewasa untuk mengawasi dan merawat mereka. Selain itu mereka juga memerlukan tempat tinggal yang layak, yang nyaman, dan mudah beradaptasi. Bagi Dean tempat yang dimaksudnya adalah rumah tempat tinggal anak itu sendiri. Home sweet home, bukan? Seorang anak tidka akan bisa beradaptasi dengan mudah kalau di dalam rumah terlalu banyak orang,.dan Dinas Sosial bukanlah tempat yang pas untuk Alexander yang baru saja kehilangan kedua orang tuanya. Yang diperlukan anak itu adalah sebuah rumah yang tenang, bukan tempat ramai seperti Dinas Sosial.
"Benarkah bisa?" tanya Dean mengejek. "Entah kenapa tapi aku meragukannya."
Jonathan menatap Dean lekat. Tak hanya keraguan, tapi ia juga melihat rasa tidak suka di mata hijau hazel milik Dean. Ia yakin kalau Dean merasa dirinya dan Alexander sama. Namun, ia tahu kalau mereka berbeda. Kematian keluarga di panti asuhan Dean sasa.ia kecil dulu adalah disengaja. Keluarga Dean di panti juga tewas karena terpanggang dalam api yang juga melahap habis nyaris.ssljekh panti. Hanya dapur dan kamar mandinya saja yang masih bagus sehingga dapat digunakan untuk berlindung. Lalu, mengenai Alexander, rumah keluarga James terlalu besar untuk ditinggalinya seorang diri. Usia Dean waktu itu juga berbeda dengan usia Alexander sekarang. Dean lebih tua enam tahun dari Alexander saat peristiwa itu terjadi.
"Lalu, apa yang akan kau lakukan?" tanya Jonathan memancing. Tak mungkin, 'kan, Dean akan mengajukan diri sebagai wali Alexander James yang berarti Dean mengadopsi anak itu.
"Aku tidak tahu, "jawab Dean jujur. "Saat ini aku fokus pada kasus yang kuselidiki, dan sedang menunggu laporan penyelidikan dari Dennis. Ia memeriksa siapa saja yang membeli atau memiliki kedua senjata yang digunakan tersangka."
"Apakah kau sudah tahu apa jenis kedua senjata yang digunakan pelaku?"
Kalau harus jujur, Jonathan terkejut dengan pergerakan cepat pria ini. Hanya dalam waktu empat hari Dean sudah menemukan benda yang digunakan pelaku untuk menghabisi korban-korbannya.
Dean mengangguk. "Kau tidak akan percaya,' jawabnya meragukan. "Kedua senjata api itu lebih canggih dan lebih hebat dari senjata kita sebagai penegak hukum."
Jonathan diam, menunggu Dean melanjutkan perkataannya.
"Barret M95 dan Thunder 50 BMG."
"Apa?" Jonathan terbelalak. Ia tidak percaya dengan apa yang diberitahukan Dean. Bagaimana mungkin buruan mereka memiliki dua buah senjata api canggih itu? Di mana dia mendapatkannya? Sepertinya pembunuh itu membelinya dari penjual senjata ilegal. "Kau tidak bercanda, 'kan, Dean?" tanya Jonathan dengan tatapan sanksi.
Lagi-lagi Dean mengangguk.
Jonathan menggelengkan kepala. Sepertinya pekerjaan mereka bertambah. Dennis harus mendapatkan daftar orang siapa saja yang memiliki kedua senjata dengan hulu ledak besar itu. Pantas kalau si pembunuh menggunakan gedung yang jauh untuk menembak Clarence. Dean hanya meminta Dennis untuk memeriksa gedung-gedung terdekat saja. Seharusnya pencarian diperluas dalam jarak satu kilometer atau mungkin lebih karena Barret M95 mampu menjangkau jarak sejauh itu.
"Bagaimana bisa pembunuhmu memiliki senjata secanggih itu, Dean?"
Dean tertawa kecil, jenis tawa yang mengejek. "Sudah kukatakan, bukan, kalau kau akan terkejut?" kekehnya.
Jonathan menggeleng pelan beberapa kali. "Dennis harus menemukannya!" geramnya tertahan. "Anak itu harus menemukan daftar orang yang memiliki kedua senjata itu. Dennis harus bisa karena itu akan semakin mempersempit pencarian kita akan siapa tersangka."
"Itu juga yang kupikirkan," ucap Dean. "Terlalu banyak gedung yang harus diselidiki dari kasus Clarence. Sementara itu nyaris tak ada bukti di kediaman keluarga James yang menjadi lokasi penembakan." Dean menggelengkan kepala, mengembuskan napas dari mulutnya. "Hanya ini satu-satunya harapan kita untuk menemukan pembunuh secepatnya."
Jonathan mengangguk menyetujui apa yang dikatakan Dean. Meski sulit karena ia yakin setiap pembelian kedua senjata itu pasti dirahasiakan, Dean pasti bisa memecahkannya.