Bab 9

2016 Kata
"Satu lagi, dilihat dari arah peluru dan sudut tembakan diketahui kalau pembunuh bukanlah seorang yang kidal." Pamela menatap Dean. "Pembunuhmu adalah seorang yang terbiasa menggunakan tangan kanan, Dean," ucapnya tersenyum. Dean menggeleng pelan. Begitu banyak orang yang menggunakan tangan kanan di dunia, bahkan di negara ini. Pengguna tangan kanan lebih dominan dari orang-orang bertangan kidal. Hampir seluruh penduduk Amerika menggunakan tangan kanan untuk melakukan apa pun, hanya sedikit yang kidal. Itu tidak bisa digunakan sebagai bukti. "Apakah ada yang lain lagi selain yang kau sebutkan?" tanya Dean kacau. Kali ini ia menatap Pamela. "Terlalu banyak orang-orang yang tidak kidal, Pam. Mungkin ada ciri yang lebih spesifik lagi?" Pamela menggeleng. "Untuk saat ini hanya itu yang kudapatkan dari hasil autopsi pasangan James," jawabnya. Dean mengusap wajah kasar. Menghempaskan punggung dengan kasar ke belakang, sekasar embusan napasnya yang dikeluarkan melalui mulut. "Mungkin orang yang menggunakan tangan kanan banyak, tapi orang yang memiliki dua jenis senjata api paling mematikan pasti hanya sedikit." Dean menatap Dennis yang berbicara. "Apa maksudmu?" tanyanya tak mengerti. Dennis tersenyum. "Aku akan berusaha mencari siapa saja yang memiliki senjata api mematikan itu. Aku yakin tidak banyak orang yang memyimpan kedua senjata itu di rumahnya." "Apa kau yakin kau bisa melakukannya?" tanya Pamela tak yakin. "Bisa saja pembunuh itu memiliki keduanya tanpa izin, Dennis." "Kurasa juga seperti itu," sahut Dennis. "Tapi aku yakin, siap saja yang membeli dan memiliki senjata itu pasti terdaftar. Walaupun daftar rahasia." Pamela mengerjap menatap Dennis. "Sepertinya kau lupa siapa aku, Pam." Dennis tersenyum lebar. "Aku sangat menyukai tantangan seperti ini!" serunya bersemangat. "Percayalah, Dean. Aku akan berusaha mendapatkan daftar nama-nama orang itu, secepatnya!" "Benarkah kau bisa?" tanya Dean. Sama seperti Pamela, ia juga meragukan Dennis bisa mendapatkan daftar itu. Menyusup ke komputer pabrik senjata untuk mengetahui siapa saja yang membelinya bukanlah hal yang mudah. Sistem keamanan mereka pastilah sangat canggih. Bagaimanapun mereka harus melindungi cetak biru senjata buatannya. "Jangan remehkan kemampuanku!" sentak Dennis tersinggung. "Kalau membobol sistem keamanan FBI saja aku bisa, kenapa sekarang harus tidak?" "Kau butuh kerja keras untuk itu," ucap Dean sambil berdiri. "Baiklah, semoga kau berhasil, Dennis. Terima kasih atas informasi dan bantuanmu. Sampai nanti." Dean segera meninggalkan ruangan itu, tak menghiraukan Pamela yang berseru memanggil namanya. Tidak ada yang penting menurutnya, juga tidak untuk berterima kasih. Ia akan melakukannya lain kali. Saat ini ia memiliki urusan yang lebih penting. Putra mendiang Casper dan Sophie James yang selamat. Bocah itu bisa dijadikan saksi kalau ia bisa menyebutkan ciri-ciri fisik si pembunuh dengan jelas. "Dean, tunggu dulu!" Dean tetap tak berhenti, ia terus melangkah. Tak menghiraukan Pamela yang berlari membuntutinya di belakang. "Dean, bisakah kau menungguku?" tanya Pamela putus-putus. Napasnya berkejaran, sama seperti langkahnya yang mengejar Dean. Namun, pria itu tetap melangkah, sekarang malah semakin lebar. Dean baru berhenti setelah berada di depan mobilnya. Itu pun hanya saat ia membuka pintu mobil. Setelahnya ia segera masuk dan menyalakan mesin. Dean terpaksa mengurungkan niat untuk melajukan mobilnya, Pamela sudah berdiri di samping pintu mobil dan mengetuk-ngetuk kaca jendelanya. Dengan sangat amat terpaksa Dean membuka kaca itu. "Kau mau ke mana?" tanya Pamela begitu kaca jendela mobil Dean terbuka. "Bisakah aku ikut?" Dean menyumpah dalam hati. Inilah yang tidak ia sukai, Pamela selalu ingin membuntuti ke mana ia pergi. "Kau ada urusan, Pam," sahut Dean datar. "Lagipula sudah terlalu malam kau ikut." "Kita bisa makan malam bersama kalau maksudmu sekarang sudah tiba makan malam." Seperti yang diduga Dean, Pamela bersikeras. Namun, bukan Dean namanya kali tidak mempunyai seribu juris ampuh untuk menolak. "Maaf, aku tidak bisa." Dean menggeleng. "Lagipula sebaiknya kau kerjakan laporanmu karena aku yakin besok pagi kepala polisi Storme pasti akan memintanya. Kasus ini sangat penting untuk kesatuan kita, Pam. Aku harus menyelesaikannya secepat mungkin." Pamela mendesah. Kalau sudah seperti itu, dia tidak bisa memaksa untuk ikut lagi. Apalagi dilihat dari wajah serius Dean. Memang dari awal hanya dirinya yang mengejar pria itu, sementara Dean tetap dingin seperti patung es. "Sampai nanti, Pam. Aku akan menghubungimu kalau ada yang penting." Dean melajukan mobilnya dalam kecepatan sedang. Ia akan menemui Alexander James di kediamannya. Bukan untuk menanyai, hanya ingin melihat keadaan anak itu. Ia ingin tahu bagaimana kondisi Alexander saat ini. Mungkin ia bisa berbicara padanya, dan berbagi karena mereka memiliki latar belakang yang sama. Yang membedakan hanyalah usia Dean yang lebih tua, juga kondisi ekonomi keluarga. Namun, percayalah, seberapa banyak pun harta yang kau miliki kalau kau sendirian semuanya tidak akan berarti. Dean tahu Alexander tidak akan memahami, tapi ia akan tetap berusaha. Jalanan yang tidak seberapa padat membuat lalu lintas lancar. Dua jam kemudian ia sudah tiba di rumah keluarga James. Rumah besar yang tadi pagi ramai itu sekarang terlihat lebih sepi. Hanya ada beberapa petugas yang terlihat masih berjaga. Dean memarkirkan mobil tepat di tempat tadi pagi, kemudian bergegas menuju ke dalam rumah. "Selamat malam, Detektif!" Seorang opsir menyapa Dean, mengangguk hormat begitu ia menoleh. Dean membalas anggukan pria itu tanpa mengucapkan apa pun. Ia langsung memasuki rumah, menuju ruang tengah, memeriksa tempat yang dipasangi garis polisi. Dean berdiri kira-kira sepuluh meter dari ditemukannya tubuh kedua korban. Ia mengira-ngira, tidak tahu di mana tepatnya. Menurut Pamela, si pembunuh berada dalam jarak sepuluh meter dari kedua korban, atau mungkin kurang karena Thunder 50 BMG adalah tipe senjata yang ditembakkan dari jarak dekat. Dean berdiri di sisi tembok yang membatasi ruang tengah dan ruang keluarga, matanya menatap lurus ke depan, kembali mengira-ngira. Dean mengangguk tak kentara, sepertinya ia berada di jarak yang dimaksud oleh Pamela. Sepuluh meter. Dean memicing, menatap ke lantai di mana terdapat batas untuk kedua mayat korban. Beberapa detik sampai terdengar seruan dengan suara khas bocah. "Siapa kau? Kenapa kau bisa berada di sini?" Dean mengalihkan tatapan, menatap seorang bocah laki-laki berambut pirang yang memeluk boneka beruangnya dengan sebelah alis terangkat. Sepertinya bocah itu adalah Alexander. Dari ciri-ciri fisik yang dapat dilihatnya bocah itu menunjukkan kalau dia memang putra keluarga ini. Bocah itu menuruni tangga,.berhenti tepat di depan tempat yang dipasangi garis polisi. Tangan Dean terangkat memencet pangkal hidung. Entah kenapa ia merasa dejavu dengan semua ini. "Apa kau yang sudah membunuh kedua orang tuaku?" Pertanyaan itu membuat Dean mengernyit. Apa maksud bocah ini? Bagaimana mungkin ia bisa bertanya seperti itu. Maksudnya, bagaimana bisa ia mengucapkan sebuah kata tak pantas? Kata membunuh bukanlah kata yang seharusnya keluar dari mulut bocah seusia Alexander. Dean membuka mulut untuk bertanya, ia ingin tahu dari mana bocah itu tahu kata itu. Sebelum seorang perempuan berpakaian seragam yang memanggil nama bocah itu, menghentikannya. Menutup mulutnya yang sudah setengah terbuka. "Alex, apa yang kau lakukan di sini?" Bocah itu menoleh. Wajahnya berkerut, antara tidak suka dan ketakutan melihat perempuan yang kini sudah berdiri di sampingnya. Perempuan dewasa itu memegang tangannya, menatapnya sambil menggelengkan kepala. "Jadi, dia Alexander James?" tanya Dean pada perempuan yang ia yakin petugas dati Dinas Sosial. Perempuan itu menatap Dean, mengangguk ragu setelah mengamati beberapa detik. "Aku Dean Oliver, detektif yang menangani kasus ini." Dean memperkenalkan diri tanpa diminta. Ia merasa perlu melakukannya, untuk menepis ragu di mata cokelat terang perempuan itu. Juga untuk menjawab pertanyaan Alexander kalau ia bukanlah pembunuh kedua orang tuanya, melainkan seorang detektif kepolisian yang ditugaskan untuk menangani kasus pembunuhan ini. "Maafkan aku, Pak Detektif. Aku tidak bermaksud mencurigai Anda." Perempuan itu mengangguk hormat. "Aku hanya ingin Alex kembali ke kamarnya." Dean berdehem. Ia tidak peduli dengan itu semua, meski dilihatnya pemberontakan di mata biru Alexander. Ia yakin bocah itu pasti tidak suka disuruh-suruh. "Ada yang ingin aku tanyakan padamu." "Steffani!" Perempuan itu berseru cepat. "Namaku Steffani," ucapnya tersenyum sambil tangannya terus memegangi bahu Alex yang cemberut. Dean memutar bola mata. Apakah tadi ia menanyakan nama perempuan itu? Seingatnya tidak. Ia hanya ingin bertanya, itu saja. "Tadi Alexander mengucapakan sebuah kata yang tak pantas diucapkan olehnya, apakah kau tahu dari mana dia mendengarnya?" tanya Dean dengan ekor mata melirik bocah berambut pirang yang memegangi boneka beruangnya dengan sebelah tangan. "Kata apa kalau aku boleh tahu?" Steffani balas bertanya. Ia tidak tahu kata apa yang dimaksud oleh detektif tampan di depannya. Ia tidak mendengarnya. "Tutup telinganya!" perintah Dean yang segera dituruti oleh Steffani. "Dia bertanya padaku apakah aku yang sudah membunuh kedua orang tuanya." Dean berdehem sekali. "Dari mana dia bisa tahu kata membunuh? Apakah ada salah satu di antara kalian yang mengucapkan kata itu di depannya?" Steffani menatap Alex dan Dean bergantian beberapa kali, kemudian menggeleng menjawab pertanyaan Dean. Tangannya sudah tidak menutupi telinga Alexander lagi, bocah itu terus memberontak dengan menggelengkan kepalanya "Tidak ada yang berkata seperti itu di depannya. Kurasa dia mendengar dari salah satu petugas yang berbicara." Dean mengusap wajah kasar. "Besok atau lusa adalah pemakaman kedua orang tuanya." Ia menggeleng. "Siapa yang akan mendampinginya?" "Kurasa aku akan tetap mendampinginya sebelum ada orang yang mau mengadopsi," jawab Steffani. Sekali lagi Dean menggeleng. Adopsi. Kata itu terdengar menyakitkan di telinganya. Dulu ia bersikeras menolak siapa pun yang ingin mengadopsinya. Ia tetap ingin tinggal di panti asuhan, bukan di sebuah tempat yang biasa disebut orang-orang sebagai rumah. Baginya tempat itu bukanlah tempatnya. Ia sudah memiliki tempat sendiri yaitu panti asuhan yang hanya tersisa bagian dapur dan kamar mandi saja. "Kau akan merawatnya?" tanya Dean dengan mata memicing. Ia tak yakin kalau perempuan muda seperti Steffani mau melakukan itu. Merawat seorang bocah yang ditinggalkan kedua orang tuanya. Steffani terlihat masih terlalu muda untuk menjadi seorang Ibu. Ia perkirakan usia Steffani belum ada dua puluh lima tahun. "Bukan hanya aku." Steffani menggeleng. "Tapi juga seluruh petugas Dinas Sosial. Kami akan membawanya ke tempat penampungan anak.' "Apa?" "Memang sudah seperti itu prosedurnya," jelas Steffani takut-takut. Pria detektif itu terlihat terkejut, wajahnya yang datar berubah sedikit menakutkan. Seperti i*lis dengan wajah malaikat. "Setiap anak yang sudah tudak memiliki keluarga dan tidak ada seorang pun yang mau merawatnya, maka anak itu akan dibawa ke penampungan di Dinas Sosial." Dean menggeleng. Tangannya terangkat meremas rambut. Begitukah nasib seorang bocah dari kalangan berada setelah ditinggal kedua orang tuanya? Apakah Alex bisa beradaptasi di sana? Sekali lagi ia meragukannya. "Kau tak perlu khawatir, Pak Detektif. Alex akan dijaga dan dirawat dengan baik di sana. Dia juga akan disekolahkan." "Aku tidak mau!" Dean menato Alex mendengar seruan penolakan itu. Bocah itu menatap takut-takut Steffani yang masih memegang bahunya. "Kau sudah mendengarnya." Dean tersenyum miring. "Tempat yang paling tepat untuk seorang bocah adalah rumah, bukan tempat penampungan." "Tapi, ...." "Sebaiknya kau bawa dia ke kamarnya!" Dean menunjuk Alexander. "Ada sesuatu yang harus kuselidiki di sini malam ini." Suara dingin itu membuat Steffani mau tak mau harus patuh. Dia mengangguk, membawa Alexander ke atas tanpa suara apa-apa lagi. Alexander pun demikian. Ia mengikuti Steffani menaiki tangga rumahnya, hanya matanya saja yang menatap Dean tak berkedip, membalas Dean yang juga menatapnya. Dean menaikkan sebelah alis. Entah kenapa ia merasa kalau bocah itu masih menuduhnya sebagai penyebab kematian kedua orang tuanya. Tatapan Alexander mengatakan itu. Dean menggeleng pelan, kembali berdiri di tempatnya semula dengan jarak berkisar sepuluh meter dari tempat yang ditandai petugas dengan menggunakan kapur tulis. Dean mengerutkan kening. Dalam jarak sedekat ini, tentu saja korban tidak akan bisa berkutik. Apalagi tidak ditemukan senjata apa pun di dekat korban yang bisa digunakan sebagai alat untuk membela diri. Benar-benar seorang pembunuh yang hebat. Tidak takut menunjukkan wajah pada korbannya. Ataukah cara kerjanya mungkin memang seperti itu, menunjukkan diri pada para korban yang akan dihabisi? Mungkinkah mendiang Timothy Clarence juga seperi itu? Benarkah Clarence dihabisi dari jarak jauh? Bagaimana kalau seandainya Clarence ditembak dari jarak yang sama dengan pasangan suami istri ini? Entahlah, segala kemungkinan bisa terjadi. Namun, dari peluru yang diambil dari tengkorak kepala Clarence, Pria itu dihabisi menggunakan senapan penembak jitu. Sementara peluru yang menghabisi nyawa pasangan James adalah peluru yang berasal dari sebuah pistol. Berarti Clarence memang ditembak dari jarak jauh. Hilanglah sudah kemungkinan si pembunuh adalah salah seorang dari tamu di pesta yang dihadiri Clarence. Sekarang tersangka kembali menjadi semakin banyak. Harapannya untuk menetapkan tersangka sekarang tergantung pada Dennis dan si kecil Alexander. Semoga saja Dennis berhasil mendapatkan daftar pemilik dua senjata yang dipakai pembunuh untuk menghabisi Clarence dan pasangan James. Semoga bocah Alexander James bisa diajak bicara. Bocah itu tidak terlihat seperti seorang bocah yang trauma dan syok. Alexander lebih terlihat pada bocah yang memberontak. Sepertinya ia harus mendekati bocah itu perlahan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN