Ketika dua tangan yang tak saling menggenggam namun saling bersentuhan, ada getaran aneh yang menjalar dari kontak fisik itu, terus merambat hingga menyentuh permukaan hati. Menciptakan debaran yang intens menghentak dari dalam sana, hingga si pemilik hati menyadari bahwa ia menikmati sentuhan ini. Bolehkah ia bahagia sejenak karena merasa dilindungi oleh si pemilik tangan yang telah menariknya keluar dari kubangan?
***
“Siapkan mobil!”
Suara pria itu terdengar tegas berbicara melalui telpon genggamnya. Masih dengan tangan yang menarik Jennie keluar dari pusat perbelanjaan dengan wajah menunduk. Wanita itu begitu pasrah dituntun pergi dari kerumunan oleh pria yang belum ia lihat wajahnya. Hingga kata-kata yang dilontarkan pria itu pada seseorang membuatnya sadar bahwa ia tidak boleh terbuai lagi dengan keadaan ini. Langkah Jennie pun tertahan, tak mau menuruti tuntunan pria itu.
“Maaf tuan, aku bisa pulang sendiri. Terima kasih atas bantuannya.” Ucap Jennie seraya membungkukkan badannya sebagai ungkapan terima kasih, namun ia tetap menyembunyikan wajahnya saking malu karena dikenal dengan cara yang tidak lazim.
Pria itu tidak melepaskan tangan Jennie namun mengganti tangan yang satu untuk menggenggamnya agar bisa membalikkan badan. Mereka saling berhadapan namun tidak saling berpandangan. Sorot mata pria itu tidak menemukan lawan karena wanita itu masih menyembunyikan wajahnya. Pria itu menyorotinya lekat dan tajam, bukan sorot penuh iba seperti saat ia menolongnya, namun tatapan yang bermakna kesal.
“Ikut denganku! Kamu pikir aku membantumu dengan cuma-cuma? Aku punya tawaran untuk kamu, nona Jennie.”
Jennie terkejut begitu mendengar namanya disebut pria itu, reflek ia mendongakkan kepalanya dan tatapan dua pasang mata itu tidak terelakkan lagi. Waktu seolah berhenti ketika mereka bersitatap, Jennie tak sadar dengan ekpresi terkejutnya yang terlihat begitu lucu di mata pria itu. Bibir tipis Jennie yang sedikit ternganga, sepasang mata lentik yang membulat, serta hidung kecil bangir yang menggemaskan dan mengundang tangan nakal untuk menyentilnya. Begitulah penilaian pertama pria itu kepada Jennie, dan sebaliknya Jennie sama kagumnya dengan paras pria muda di depannya yang nyaris sempurna. Bentuk rahang yang tegas, hidung mancung, sepasang alis tebal dan sepasang mata tajam namun menenangkan, sejenak membiusnya dalam keheningan. Jennie terbuai sejenak, bukan karena ia tidak pernah melihat pria tampan, namun pria yang telah menolongnya ia benar-benar di atas ekspektasinya, begitu memesona.
“Tawaran apa?” Tanya Jennie yang lebih dulu tersadar dari situasi diam dan saling menilai itu.
Pria itu memalingkan wajahnya ke arah lain sebelum kembali menatap dan memberikan Jennie jawaban. “Ini bukan tempat yang pantas untuk membahasnya, apa kamu tidak risih dengan pakaian kotor itu?” Ujar pria itu menyoroti penampilan Jennie yang sudah seperti adonan kue, siap dipanggang.
Jennie mengendus aroma tak sedap yang mula keluar dari pakaian dan tubuhnya yang dipenuhi perpaduan tepung, telur, dan entah apa lagi yang belum terpantau olehnya. Bau amis dari telur mentah itu mulai mengusik kenyamanannya, benar apa yang pria itu katakan, bagaimana bisa bicara dengan nyaman jika kondisi tubuhnya saja sekotor ini.
Belum sempat Jennie mengemukakan pendapatnya, pria itu kembali menarik tangan Jennie dan menuntunnya berjalan meninggalkan tempat mereka berdiri. Jennie mau tak mau menarik langkahnya pula walau sedikit terpaksa.
“Aku bawa mobil kok, biar aku buntutin dari belakang aja.” Ujar Jennie menolak secara halus, namun pria itu seperti sengaja menulikan indera pendengarannya. Dia terus saja melangkah dengan tangan menarik Jennie dan tatapan lurus ke depan menuju lokasi parkir.
Seorang pria muda yang mengenakan setelan jas formal tampak berdiri tegak dan membungkukkan badannya ketika melihat tuannya muncul. “Tuan, silahkan masuk.” Pinta pengawal muda itu seraya membukakan pintu mobil di kursi belakang kemudi.
“Berikan kunci mobilmu, orangku yang akan membawanya.” Perintah pria itu menatap tajam pada Jennie. Tatapan yang seolah memberi perintah agar wanita itu patuh dan tidak mau mendengar bantahan.
Benar saja, Jennie menurutinya tanpa perlawanan, ia merogoh kunci mobil dari dalam tasnya lalu menyerahkan kepada pria yang belum ia ketahui namanya. Siapa dia? Asal usulnya? Dari mana dia tahu nama Jennie? Dan kepentingan apa yang ingin pria itu bahas dengannya? Ia percaya begitu saja hanya berdasarkan kata hatinya yang yakin bahwa pria itu bisa dipercaya.
“Biar aku yang nyetir sendiri, kamu bawalah mobil nona ini. Ikuti kami dari belakang!” Perintah pria itu seraya menyodorkan kunci mobil itu ke tangan pengawalnya.
“Baik tuan.” Jawab pengawal itu patuh.
Jennie mendapat sorotan lagi dari pria itu, membuat sepasang alisnya mengernyit, entah apalagi yang diinginkan pria itu.
“Di mana lokasi parkir mobilmu?”
Jennie nyengir, ia pikir hal serius yang akan pria itu tanyakan. “Oh, di parkiran depan seberang foodcourt. Mobil plat....” Belum selesai Jennie menjelaskan kepada pengawal muda itu, perkataannya sudah disanggah oleh pria yang satunya yang sudah tidak sabaran.
“Sudahlah serahkan saja pada dia, hanya mencari mobil saja tidak sulit baginya. Cepat masuk, atau kamu memang senang jadi pusat perhatian?” Ujar pria itu nyinyir dan sekaligus mengingatkan Jennie dengan tatapan sinis orang-orang yang kebetulan berjalan di dekat mereka. Jennie masih menjadi pusat perhatian, apalagi dengan penampilan mencolok seperti ini, semakin mengundang penasaran orang yang tidak tahu apa yang terjadi sebelumnya.
Jennie segera masuk ke dalam mobil, lebih baik melindungi dirinya dari sorotan nanar orang-orang yang seakan hendak menelannya. Ia benci jadi pusat perhatian, terlebih karena sebab yang sangat memalukan, penuh sensasi yang sama sekali tidak ia cari.
Pria itu segera masuk ke dalam mobil, duduk di belakang kemudi kemudian dengan lincah menyalakan mesin mobil dan membawa mobil itu meninggalkan area parkir. Jennie terus menatap pria itu dari belakang, jarak yang terhalang oleh kursi tidak menyurutkan rasa ingin tahunya tentang pria yang tengah membawanya entah ke mana.
‘Gimana ini? Apa aku harus diam saja sampai dia membawaku ke suatu tempat? Bagaimana kalau dia bukan orang baik? Ah, kenapa juga aku terlalu cepat percaya pada orang yang belum aku kenal?’ Gerutu Jennie dalam hatinya, entah siapa yang duluan menciptakan keheningan ini, yang jelas Jennie tidak betah dengan kondisi ini. Pria itu sama sekali belum mengajaknya bicara, membuat Jennie semakin kehilangan rasa nyaman di dekatnya, tidak seperti di saat dia memberikan pertolongan pada Jennie.
Jennie berdehem canggung, “Tuan, ng... Aku... Ng... Maaf tapi aku kurang nyaman jika hanya anda yang tahu namaku sedangkan aku tidak tahu apapun tentang anda.” Ucap Jennie terbata-bata, ia merutuki dirinya yang kecerdasannya mendadak turun sampai kesulitan menyusun kata-kata.
Pria di depan itu tersenyum menyeringai lalu berdecak kesal, “Apa begitu pentingnya sebuah nama bagi kamu?”
Jennie nyengir seraya menaikkan satu alisnya saat mendengar jawaban yang sarat keangkuhan itu. Rasanya percuma saja ia susah payah mengendalikan diri yang grogi berhadapan dengan pria itu, ketika tahu bahwa dia adalah sosok yang menyebalkan.
“Yaa... Kalau kamu nggak keberatan dipanggil ‘Hei’, ‘Hui’, ‘Woi’, silahkan dipilih mau nama cantik yang mana?” Celetuk Jennie seraya memonyongkan bibirnya.
Pria itu mengintip sejenak ekspresi Jennie dari spion tengah, pengendalian dirinya cukup terlatih untuk tidak mudah terbawa suasana meskipun orang di belakangnya begitu menggemaskan. Ia berhasil menahan tawanya.
“Nelson Tanuwidjaja.”
“Eh?” Jennie terkejut saat mendengar pria itu menjawab dengan menyebutkan sebuah nama. Apa mungkin itu namanya? Tuan muda dari klan Tan? Benarkah itu dia?
***