“Lihat wanita itu... Dasar tidak tahu malu, beraninya menunjukkan wajah menjijikkannya!”
“Eh lihat wanita itu... cih, pasti habis dikeroyok makanya muka sampai babak belur.”
“Sayang banget ya, cantik-cantik hobinya gaet suami orang. Dasar wanita pemalas, tahunya hanya bisa morotin pria kaya.”
Sederet komentar negatif yang menjurus pada cacian pun menjadi buah bibir para wanita yang berpapasan dengan Jennie. Selain menatap dengan sorot mata seperti hendak menelan hidup-hidup wanita muda yang cantik itu, ada pula yang tidak segan menghindar secara nyata seakan jijik saat berpapasan dengan Jennie.
Jennie mengernyit heran, dalam satu malam hidupnya berubah semengerikan ini tanpa ia tahu sebabnya. Ia tengah mengitari pusat perbelanjaan untuk membeli bahan makanan yang stoknya mulai menipis di kulkas. Sejak tadi berada dalam keramaian, tak terhitung banyak pasang mata yang menatapnya dengan beragam ekspresi. Reflek Jennie meraba pipinya kemudian tanpa sadar meringis, masih terasa nyata perih di sudut bibir yang kini terasa menjalar ke area pipi.
‘Apa karena luka ini yang membuat mereka menatap aneh kepadaku?’ Jennie bertanya dalam hatinya. Sedetik kemudian ia merutuki dirinya yang keras kepala membangkang dari saran Levin. Seharusnya ia menjadi gadis yang sedikit penurut, jangan memamerkan luka di bibir yang tidak tampak keren sama sekali. Jennie mulai kehilangan rasa percaya dirinya, ia menundukkan wajah lalu mengenakan penutup kepala yang ada di jaketnya, setidaknya bisa sedikit menyamarkan dirinya daripada polos sama sekali.
Bruk! Jennie terkesiap hingga langkah kakinya terhenti saat merasakan jelas ada serangan dari belakang yang mengenai punggungnya. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengatur suasana hatinya sebelum membalikkan tubuhnya dan melihat siapa pelaku yang sudah lancang mengusiknya. Sepasang kaki jenjangnya yang mengenakan stiletto pun hendak berputar ke arah belakang namun belum sempat bergerak, serangan susulan yang tak kalah keras pun menghantam dirinya, mengenai lengan Jennie.
“Dasar wanita tidak tahu diri! Enyah dari muka bumi ini!” Pekik salah seorang wanita yang tampangnya terlihat berusia kepala empat sembari melemparkan buah jeruk yang ada dalam kantong belanjanya.
Jennie terhentak kaget, serangan bertubi-tubi itu menghantamnya dari berbagai sisi. Percuma jika ia berusaha kabur karena massa yang mengepungnya dari segala penjuru sudah mengganas dengan senjata di tangan masing-masing. Ia hendak menerobos dari kerumunan itu namun jika ia salah mengambil arah, maka tamat sudah riwayatnya.
“Percuma aja cantik tapi sukanya godain suami orang! Ibu-ibu, ayo kita beri pelajaran sama wanita ini biar kapok! Jangan sampai suami kita yang jadi target dia berikutnya!” Pekik seorang wanita yang memprovokatori wanita lainnya.
“Setuju!” Teriak para wanita yang sudah bersatu atas dasar kepedulian terhadap sesama wanita yang bersiap memberantas wanita perebut suami orang.
Jennie melindungi dirinya dengan jaket dan kedua tangan yang menyilang di depan wajahnya. Hantaman bertubi-tubi itu terus ia rasakan dengan kekuatan yang tidak berimbang. Ada yang tak segan menghadiahinya telur mentah, melemparinya dengan buah-buahan yang lumayan menyakitkan karena dilempar sekuat tenaga. Sepanjang sepak terjangnya selama ini, belum pernah Jennie mendapatkan hinaan secara nyata, tidak banyak yang tahu tentang siapa dirinya apa yang dikerjakannya. Namun mengapa sekarang dirinya seakan menjadi populer, layaknya artis papan atas yang rentan dikerumuni penggemar. Sayangnya yang sekarang berhadapan dengannya bukanlah fans, melainkan sekelompok wanita pembenci yang merasa dirinya perlu diberantas seperti hama.
“Hentikan atau aku tuntut kalian!” Pekik Jennie yang mulai gerah menahan sakit dan luapan emosi massa sebanyak itu. Bukan pertarungan yang adil jika dilakukan secara keroyokan. Sayangnya tidak ada yang bersedia mendengarkan apalagi trenyuh akan penderitaannya. Banyak di antara para penonton yang menyaksikan hanya bisa bersorak girang dan mengabadikannya secara langsung pada akun sosial media mereka. Ini menjadi ajang mempermalukan seseorang di muka publik tanpa empati sedikitpun.
‘Apa aku harus berakhir seperti ini? Ya Tuhan, apa aku sungguh berlumur dosa? Mereka sama sekali tidak mengenaliku dan aku tidak sehina yang mereka pikirkan. Aku sungguh tidak terima dipermalukan seperti ini. Ku mohon siapapun itu tolonglah aku....’ Lirih Jennie berdoa dalam hati kecilnya. Ia enggan menitikkan air mata di saat ini, biarlah perih dan rintihan penderitaannya cukup ia teriakkan dalam batin. Hanya ia saja yang betapa tersiksanya hidup yang ia jalani selama ini.
Sepasang tangan entah dari arah mana tiba-tiba datang memeluk tubuh Jennie yang sedikit meringkung menahan serangan yang masih gencar. Jennie terperanjat kaget saat menyadari doanya terkabulkan, ada yang datang menolongnya meskipun ia belum bisa melihat siapa pahlawannya itu. Kepala Jennie masih tertunduk dan bersembunyi dengan penutup kepala, namun sepasang matanya bisa melihat sepasang kaki si penolongnya saat ini yang mengenakan sepatu pantofel hitam mengkilat. Memperkuat keyakinan Jennie bahwa dia adalah seorang pria, entah masih muda atau paruh baya, seperti apa wajahnya, semua itu menjadi tanda tanya besar yang ingin segera Jennie pecahkan.
“Hentikan semua ini atau aku pastikan semua yang terlibat di sini akan berurusan dengan hukum! Aku tidak main-main kecuali kalian yang menginginkan itu, akan ku panggil tim pengacaraku untuk meladeni kalian!” Bentak pria yang berani pasang badan demi Jennie.
Hati kecil Jennie tersentuh mendengar suara tegas pria penolongnya. Entah mengapa sensasi yang ia rasakan kini juga sangat aneh, ada debaran kencang yang membuat pacu jantungnya menjadi lebih cepat. ‘Siapa pria ini?’ Tanya Jennie dalam batin.
“Oh, jadi kalian ingin menantang saya? Silahkan lempar! Aku pastikan kalian akan berakhir di penjara, ucapkan selamat tinggal pada keluarga kalian, setidaknya kalian akan tinggal di bui selama lima tahun!” Kecam pria itu bersungguh-sungguh dengan tatapan tajam mematikannya.
Satu persatu massa yang tadinya masih memegang berbagai benda yang dijadikan senjata dadakan pun mulai turun. Nyari mereka menciut lantaran penampilan fisik serta ketegasan pria itu sangat meyakinkan. Kerumunan yang semula padat itu mulai melonggar, semakin buyar ketika bagian keamanan pusat perbelanjaan itu menampakkan wajah mereka yang sangat terlambat hadir dan tidak efektif berperan nyata.
Jennie mulai menghela nafas lega, meskipun belum berani menampakkan wajahnya yang terlanjur tersorot itu, namun ia bisa merasakan kondisi sudah mulai membaik dan pelukan pria itu pun sudah terlepaskan dari tubuhnya.
“Te... Terima kasih.” Lirih Jennie seraya membungkukkan tubuh kepada pria itu. Ia terlalu malu untuk menunjukkan wajahnya sekarang, terlebih dengan kondisi babak belur, yang Jennie inginkan segera kabur dari tempat ini dan masuk ke dalam mobilnya.
Pria itu tidak bersuara hingga Jennie merasa diabaikan. Wanita muda itu hanya bisa menahan rasa penasaran dan kecewanya karena diabaikan pahlawannya. Hanya sekejap saja kecewa itu mampir, ketika sebuah tangan dengan mantap menarik tangannya agar menyesuaikan derap langkahnya, barulah Jennie terkejut dan berani mendongakkan wajah menatap punggung kekar pria di hadapannya.
“Ikut aku! Aku perlu bicara denganmu empat mata!” Perintah pria itu tanpa menoleh ke arah Jennie dan terus berjalan cepat seraya menarik tangan Jennie menuju pintu keluar.
***