“Ya ... aku sudah menerima tawaran pekerjaan itu, tentu saja cepat atau lambat aku akan bekerja untuk dia.” Jawab Jennie dengan enteng, kali ini tanpa melibatkan emosi seperti sebelumnya. Mungkin ini pertanda bahwa ia sudah mulai bisa terbuka kepada Levin tentang pekerjaan antimainstreamnya itu.
Levin menghela nafas kasar, tak habis pikir dengan cara pandang Jennie namun tak berani terlalu keras menyuarakan keberatannya. “Hmm ... maaf, mungkin aku yang terlalu banyak kepo. Tapi Jennie, bisakah kamu katakan siapa nama pria itu? Ya ... setidaknya kamu bisa membantu sahabatmu ini untuk sedikit tenang. Aku janji tidak akan mencari masalah lagi denganmu, aku hargai apapun keputusanmu, tetapi please, kasih tahu aku sedikit saja tentang klienmu. Siapa tahu aku bisa berjaga-jaga jika sesuatu yang tak diinginkan terjadi padamu.” Pinta Levin penuh harap, sulit baginya untuk menahan diri untuk acuh pada pekerjaan Jennie.
Jennie menatapnya dengan lekat, belum juga bersuara hingga senyuman tipisnya menyungging. “Apa sangat penting bagimu untuk tahu? Hmm ... baiklah, kalau hanya sebuah nama, aku tidak akan keberatan mengatakannya. Tapi kamu harus memegang janjimu barusan.” Gumam Jennie dengan entengnya.
Levin langsung mengacungkan dua jari tangannya, “I swear ....”
“Namanya Nelson.” Ujar Jennie singkat, ia rasa dengan menyebutkan sedikit saja penggalan nama itu sudah bisa membuat Levin puas. Tetapi nyatanya tidak! Levin malah semakin terpancing untuk mencari tahu lebih banyak.
“Nelson? Terdengar seperti nama yang cukup familiar, apa nama panjangnya?”
Jennie nyengir, kepalanya mulai menggeleng lemah. “Apa sangat penting bagimu untuk tahu nama panjangnya? Aku yakin kamu juga tidak akan mengenal siapa dia jika aku katakan.” Ujar Jennie tetap mengelak.
“Setidaknya aku jadi tenang. Ada banyak yang memiliki kesamaan nama, itulah gunanya kamu mengatakan nama panjangnya.” Ujar Levin mulai tawar menawar yag barangkali bisa melunakkan hati Jennie.
“Baiklah, hanya sebuah nama, tidak lebih dari itu. Dan setelah ini biarkan aku bekerja dengan tenang. Namanya Nelson Tanuwidjaja. Kamu puas kan sekarang?” Tanya Jennie seraya menyeringai, meledek Levin.
Levin mengerutkan dahinya, ia mengusap dagunya kasar, tampak tengah berpikir keras. “Nelson Tanuwidjaja? Hmm ... terdengar tidak asing.” Gumam Levin kemudian tangannya merogoh saku celananya, mengeluarkan ponsel pintar untuk menelusuri sesuatu. Ia tak peduli dengan Jennie yang terus mengamatinya, yang pasti ia ingin mencari tahu sendiri melalui nama yang baru didengarnya itu.
“Kamu kenal dia?” Tanya Jennie yang malah penasaran dengan reaksi Levin yang tampak sangat serius mengamati ponselnya, sampai-sampai ia pun ingin berusaha mengintipnya.
Levin menggelengkan kepalanya tanpa mengalihkan perhatian dari ponselnya. Ia sudah melakukan penelusuran dengan nama yang disebutkan Jennie. “Hmm ... tidak, tapi rasanya nama itu tidak asing.” Dan rasa penasaran Levin terjawab ketika hasil penelusuran di ponselnya menunjukkan beberapa berita sekaligus foto dari pria yang namanya disebutkan oleh Jennie. “Apa ini orang yang kamu maksud? Aku tidak yakin sih tapi rasanya orang yang punya nama keluarga sehebat itu bukanlah orang sembarangan. Benarkah dia orang yang menyewamu?” Tanya Levin sembari menunjukkan layar ponsel berupa hasil pencariannya.
Jennie tentu tidak bisa menahan diri untuk tidak penasaran, ia pun melirik pada layar ponsel dalam genggaman Levin. Sepasang bola matanya membulat saat melihat potret pria yang baru beberapa jam lalu ia temui itu terpampang di pencarian berita online dengan tagline ‘Pengusaha Sukses Nelson Tanuwidjaja menikahi putri pengusaha ....’ Jennie tak sanggup meneruskan lagi membaca semua yang tertera di layar, meskipun hanya sebuah judul yang dituliskan dengan huruf yang besar. Ia tidak tahu untuk apa hatinya harus merasa seperti tercabik ketika mengetahui berita yang menyangkut kliennya. Seharusnya ia bersikap profesional, sama seperti menghadapi klien lainnya, hanya ada hubungan kerjasama yang saling menguntungkan. Kali ini rasanya berbeda, ada perasaan lain yang Jennie pun belum yakin pasti namun terasa sangat menyesakkan begitu melihat sesuatu tentang pria itu bersama wanita lain. Jennie menyodorkan balik ponsel kepada pemiliknya seraya membuang pandangannya, enggan menunjukkan wajah acuh kepada Levin. “Ng ... aku tidak tertarik mengetahui apapun tentang orang.”
Levin bisa melihat keanehan di wajah Jennie, ia pun menjadi semakin curiga. “Berarti benar ya, dia orangnya. Kamu tidak perlu mengiyakan dengan kata-kata, aku sudah bisa menebak dari ekspresi wajahmu. Aneh saja, kenapa orang sekelas Nelson Tanuwidjaja dan terlihat sangat bahagia dengan pernikahan yang baru berlangsung tiga bulanan ini perlu menggunakan jasamu?” Raut wajah Levin terlihat rumit, serumit pikirannya yang menerawang jauh memikirkan berbagai spekulasi.
Jennie yang mendengar kerumitan opini Levin pun ikut kepikiran, baru kali ini ia mendapatkan klien yang begitu berpengaruh sehingga rentan tersorot publik. Wanita cantik itu ikut berpikir buruk, bagaimana jika hubungan kontraknya dengan pengusaha ternama itu akan membuat ia kembali tenar dalam konotasi buruk? Jennie sungguh belum siap untuk terkenal karena hal buruk yang tak bisa dibanggakan.
Levin melirik lekat pada Jennie yang termangu diam dengan bibir yang sedikit terbuka. Ia yakin wanita cantik itu pun tengah berpikir keras sekarang. “Jen, apa kamu yakin tidak apa apa berurusan dengan orang seperti dia? Bukan apa, dia itu bisa dibilang adalah publik figur. Kamera mungkin akan rentan menyoroti tindak tanduknya, dan semua tahu bahwa dia sudah berkeluarga. Orang akan lebih respek kepada keluarganya dan mencemooh kamu, tak peduli apapun yang melatar belakangi kamu menerima tawarannya. Ini terlalu berbahaya Jen. Batalkan saja kontrak dengannya.” Bujuk Levin, sebisa mungkin ingin mempengaruhi Jennie agar berubah pikiran.
Jennie yang sedari tadi terdiam pun mulai menggelengkan kepalanya dengan lemah. Perlahan ia menggerakkan kepalanya demi melirik ke arah lawan bicaranya. “Tidak mungkin! Aku tidak mungkin bisa membatalkan apa yang sudah aku sepakati. Semua sudah terlanjur terjadi, aku hanya bisa mengikuti arah permainan ini. Tak peduli siapapun dia, aku merasa dia bisa dipercaya. Dia pasti akan melindungi aku yang memang mau membantunya.” Gumam Jennie, mencoba untuk meyakinkan hatinya untuk tetap teguh pada pendiriannya. Walaupun itu cukup sulit menyangkal pikiran buruk yang terus bergejolak, mengusik pertahanan hati kecilnya yang menaruh percaya bahwa Nelson adalah klien yang berbeda dan bisa diandalkan.
Levin menghela nafas kasar, sudah sampai pada tahap ini pun Jennie masih tak bisa tergoyahkan. Ia pun tak punya pilihan lain, jika tidak mau kehilangan kepercayaan Jennie sepenuhnya untuk tetap bersahabat baik dengannya. “Baiklah, aku tidak akan komentar apapun lagi. Lakukanlah jika memang ini harus kamu lakukan. Tetapi jika nantinya kamu mendapat kesulitan, berjanjilah padaku kamu akan menceritakannya kepadaku. Aku akan menjadi orang pertama yang akan melindungimu.” Ujar Levin dengan serius memohon.
Jennie belum bisa memberikan respon, terlebih diminta untuk mengucapkan janji seperti itu. ‘Aku rasa kamu akan menjadi orang kedua yang melindungiku. Dia tetap akan menjadi nomor satu, seperti yang dia janjikan padaku.’ Gumam Jennie dalam hati kecilnya.
***
Kamu bisa saja melewati pergantian hari dengan nafas yang sama namun dengan semangat yang berbeda, namun yang pasti kamu tak akan bisa menebak apa yang akan terjadi pada harimu ini. Mungkin sesuai dengan harapan, atau tidak menutup kemungkinan untuk meleset dari yang diperkirakan.
_Suara hati Jennie_
Keesokan harinya ....
Jennie menyibak tirai putih yang menghalangi pandangannya dari dalam kamar ke luar jendela. Dari sudut kecil itulah ia seringkali mengintip aktivitas di luar, tanpa bisa sedikitpun bersosialisasi dengan lingkungan tempatnya berada. Ia bukanlah orang baru di sini, bahkan masa kecilnya dihabiskan di rumah besar ini. Rumah yang sungguh terlalu besar dan diisi dengan kesunyian karena hanya ada dirinya yang layaknya terpenjara di sini. Terjebak bersama kenangan buruk yang senantiasa melekat dalam ingatannya sejak kecil hingga sudah sedewasa ini. Jennie menelan salivanya, merasakan pelik yang ia pendam sekian lama tanpa siapapun yang tahu apa yang menjadi beban hidupnya.
Penampakan seorang ibu muda yang membawa anak laki-lakinya yang kurang lebih berusia enam tahun melintas tepat di depan gerbang rumah Jennie. Dari depan jendelanya itu, Jennie bisa melihat jelas apa yang mereka lakukan. Seakan ada panggilan batin, tiba-tiba wanita itu mendongak ke atas, bersitatap dengan Jennie yang belum melepaskan pandangan dari mereka. Bibirnya secara otomatis bergerak perlahan, hendak menyunggingkan senyuman tipis. Namun belum juga ia berhasil memberikan sebuah senyuman, suasana hati Jennie rusak seketika melihat kelakuan tidak menyenangkan dari wanita itu. Air muka Jennie berubah dingin, merasa menyesal mengapa tadinya ia sempat berpikir untuk bersikap ramah. Yang didapatkannya ketika hendak membuka sedikit dirinya pada orang lain justru mendapat reaksi yang tidak manusiawi. Ketika wanita itu beradu tatap dengan Jennie, tanpa segan wanita itu meludah di depan gerbang rumah Jennie dan menggandeng anak laki-lakinya untuk berjalan cepat meninggalkan kawasan rumah Jennie, bersikap seakan begitu najisnya menginjak kawasan tempat tinggal Jennie, padahal kenal saja tidak.
“Cih ... dia kira dia suci?” Gerutu Jennie yang tak bisa menahan diri untuk tidak berkomentar terhadap apa yang dilihatnya tadi. Bukan sebuah pemandangan yang mengenakkan hati, Jennie justru merasa siall lantaran pagi-pagi sudah mendapatkan respon tak menyenangkan seperti itu. Dari kejadian itu semakin membuat Jennie meneguhkan hatinya, bahwa ia memang tidak boleh melonggarkan prinsip yang sudah ia tentukan. “Lebih baik tidak membuka diri, kalau hanya untuk tersakiti. Tidak akan ada yang bisa menyakitiku, jika bukan aku yang mengijinkannya!” Gumam Jennie mempertegas prinsip keras dirinya dengan suara lantang. Meskipun hanya ia sendiri di dalam ruang kamarnya, tetap saja ia ingin mengatakannya secara langsung sebagai peringatan kepada dirinya.
Jennie merasa muak melihat ke luar lagi, tangannya kembali menyibak tirai, menutup rapat helaian kain putih itu hingga tak lagi tampak apapun yang bisa menghubungkannya dengan dunia luar. Kini ia lebih tergoda oleh pikiran buruknya yang sejak kemarin malam mengusiknya. Pemberitaan tentang Nelson yang bisa dilacaknya dari portal online, sama seperti yang dilakukan oleh Levin. Ia tentu bisa saja melakukannya, hanya saja hatinya terlalu rapuh. Ia terlalu takut untuk menerima kenyataan jika melihat pria itu bersama dengan istrinya. “Bodoh! Kenapa aku harus merasa takut? Dia hanya klien, hubungan kami hanya sebatas itu. Akan lebih baik jika aku melihat seperti apa lawanku. Siapa tahu ada sesuatu yang bisa aku ketahui tentang istrinya.” Gumam Jennie mencoba mencari alasan untuk membenarkan apa yang hendak dilakukannya. Ia pun menguatkan diri, meraih ponselnya kemudian menelusuri internet dengan kata kunci nama pria yang telah menyewa jasanya itu. Dalam waktu singkat, hasil pencarian itu bermunculan, Jennie merasakan degup aneh jantungnya. Entah mengapa ia harus merasa segugup itu hanya demi mencari kebenaran, debaran jantungnya kian kencang saat membaca berita pernikahan megah yang dilangsungkan oleh pasangan serasi itu. Perhatian Jennie tertuju pada foto wanita yang tersenyum manis seraya menggandeng mesra Nelson. Ia menyeringai, merasa perlu mengasihani dirinya yang mendadak rendah diri begitu melihat kecantikan dari istri kliennya. Sepasang netranya pun sibuk membaca dengan cepat demi menemukan sedikit petunjuk tentang wanita itu. “Ivone ... Hmm ... harus aku akui kalau dia memang cantik.” Gumam Jennie bicara sendiri. Ia terpaksa harus membaca tentang berita bahagia Nelson dan Ivone, pernikahan antar pengusaha yang berlangsung ekslusif.
“Kelihatannya tidak ada yang aneh dengan pernikahan mereka, kenapa secepat itu dia ingin membuat istrinya meninggalkan dirinya? Mereka masih sangat muda dan tampak cocok, apa aku sungguh tidak salah langkah dengan menerima pekerjaan ini?” Mendadak Jennie merasa ragu, tak pernah ia berpikir urusan ini akan serumit ini. Andai ia terpikir cara untuk mencari tahu profil calon klien di internet sebelum memutuskan menerima kontrak kerja, mungkin ia tak akan terjebak dalam perasaan dilema. Tak lama kemudian ia menggelengkan kepalanya, seakan menepis rasa yang sia-sia ia pikirkan itu.
“Percuma saja, aku pun tidak punya daya untuk menolak. Dia menang banyak dariku.” Ujar Jennie menimpali lagi, ia harus mencari alasan agar dirinya kuat menghadapi apa yang harus ia lakoni. Di saat ia sudah mulai menemukan kekuatan untuk bertahan, tiba-tiba suara asing dari ponselnya berbunyi, membuyarkan pikirannya yang menerawang pada Nelson. Ia segera meraih ponsel pemberian kliennya itu dan membaca pesan singkat yang tertera di layar.
‘Setengah jam lagi orangku ke rumahmu, sambut dia!’
Jennie ternganga, pesan yang sangat mengejutkan baginya bahkan sulit untuk ia percaya. “Bagaimana dia bisa tahu rumahku? Yang benar saja ....” Ia lekas beranjak dari kamarnya, enggan menyibak tirai untuk mengintip ke arah luar lagi. Bagi Jennie, cukup satu kali ia melihat perlakuan tidak menyenangkan yang hanya akan menciutkan nyalinya. Kini ia bergegas menuju lantai bawah, menuruti pesan dari Nelson yang memintanya bersiap.
***