Ajakan Menikah

1126 Kata
Arunika berdecak kesal saat melihat lilitan tali rami berbentuk hati yang ada di tangan Bisma--kekasihnya. Bukan masalah kreasi unik tersebut. Namun, sebuah cincin dari emas putih yang terikat pada bagian tengah. Ia sudah dua kali melihat benda berbentuk lingkaran tersebut. “Nikah, ya, Run?” pinta Bisma dengan wajah penuh harap. Arunika menghela napas panjang. Bisma masih saja mengajaknya untuk menikah. “Jawabanku masih sama, Mas.” “Nggak mau terima lamaran sampai kakakmu nikah dulu?” Arunika menganggukkan kepala. Ia sudah memberitahu Bisma bahkan sejak mereka baru mulai menjalin hubungan. Ia tidak akan menikah hingga Alamanda—kakak kandungnya—menikah terlebih dahulu. “Aku udah didesak orang tua agar segera nikah, Run. Kamu kan, paham kalau bapak dan ibuku itu udah sepuh. Mereka ingin segera melihat anak bungsunya melepas masa lajang. Apalagi saat ini kondisi Bapak sedang tidak sehat juga.” Arunika mengembuskan napas berat. Jarak usia dirinya dengan Bisma memang cukup jauh, tujuh tahun. Namun, yang menjadi permasalahan adalah posisi kekasihnya sebagai bungsu dari enam bersaudara. Lima kakaknya sudah berkeluarga semua. Juga, tentang kondisi bapak Bisma yang sedang menjalani perawatan karena gagal ginjal. “Aku nggak pingin punya penyesalan karena menikah tanpa dihadiri Bapak, Run.” Arunika membeliak. Bisma terlihat putus asa. Wajah laki-laki bertubuh tinggi itu terlihat sedih. Arunika menjadi merasa bersalah. “Tapi, aku juga nggak bisa nikah tanpa restu orang tua, Mas.” “Kamu usaha dong, luluhin orang tua kamu. Kamu mau pasrah gini?” Arunika mengerjap tidak percaya dengan tuduhan Bisma. Ia tentu sudah membujuk kedua orang tuanya untuk mengizinkannya menikah terlebih dahulu. Ia juga sudah memberitahu Alamanda tentang niatannya menikah setelah lulus kuliah. Namun, hingga dirinya sudah bekerja pun, kedua orang tua beserta kakaknya tetap pada pendirian. Tidak mengizinkan Arunika melangkahi kakaknya. “Aku nggak kurang-kurang minta izin sama Mama dan Papa. Masalahnya ada di Mbak Manda. Gimana dia mau nikah kalau belum ada calon, Mas?” “Bukannya dia punya pacar?” “Baru putus lebaran kemarin.” Arunika meraih es jeruh di depannya. Ia butuh minuman dingin untuk menyegarkan tenggorokannya. “Padahal aku udah berharap mereka segera nikah.” “Oh, jadi Manda lagi jomblo?” tanya Bisma meyakinkan mantan kekasih pendengarannya. “Hu um. Padahal Mas Wisnu itu udah mapanlah.” Arunika mengingat sosok mantan kekasih kakaknya itu. Bisma manggut-manggut. “Kalau boleh tahu, kenapa putus?” Arunika mengangkat bahu. “Ada perselingkuhan kalau nggak salah. Mbak Manda nggak cerita jelas.” Bisma kembali manggut-manggut. Ia pernah berjumpa satu kali dengan Alamanda saat idul fitri tahun lalu. “Terus, gimana?” Arunika kembali membahas obrolan yang diawali laki-laki bertubuh tinggi di hadapannya itu. “Lamaran Mas aku tolak lagi. Nggak sakit hati, kan?” Bisma menggelengkan kepala pelan. “Ya udah, makan dulu.” Bisma mulai menyentuh pesanan yang baru tiba di meja. “Nanti kita bicarakan lagi.” Arunika manggut-manggut. Dengan malas, gadis itu memasukkan nasi beserta kuah soto yang sudah dipesannya. Dirinya berharap Bisma akan sabar menanti saat bahagia itu tiba. *** “Haldis Irawan?” Arunika menatap lembar biodata calon guru olahraga yang ada di atas meja kerjanya. Ia tidak asing dengan nama tersebut. Gadis dengan kerudung segitiga berwana cokelat khaki itu membeliak saat melihat foto yang ada di pojok kiri atas. Laki-laki yang sangat menyebalkan baginya semasa duduk di bangku sekolah menengah atas. “Kenapa, Mbak Run?” tanya Elisa kepala TU di sekolah tempat Arunika bekerja. “Eh, nggak pa-pa, kok, Bu El.” Arunika tersenyum canggung. Ia segera merapikan berkas pelamar-pelamar tersebut. “Oh, kirain kenapa kaget gitu. Nanti malam jangan lupa dihubungi semua. Lusa interview.” Elisa memberi perintah pada teman satu bidangnya tersebut. “Siap.” Arunika mengangguk mantap. Gadis dengan wajah oval itu masih kepikiran tentang pelamar bernama Haldis tersebut. Harapannya, pemuda itu tidak lolos interview. Ponsel yang ada di atas meja kerja berdering. Arunika menatap layar ponsel yang menunjukkan nama ‘Mas Pacar.’ Ia segera menggeser tombol hijau ke atas. Gadis yang baru lulus kuliah satu tahun yang lalu itu pun mengucap salam. “Kenapa, Mas?” “Nanti pulang kerja aku jemput, ya. Kita perlu ngomong lagi.” Suara Bisma di seberang terdengar serius. “Bahas apa-an, sih? Serius amat kedengarannya.” Arunika mulai penasaran dengan perihal yang akan dibahas. “Nanti aja.” Bisma lalu mengakhiri sambungan telepon. Arunika menghela napas panjang. Sudah seminggu sejak lamaran Bisma untuk kedua kalinya, mereka baru akan berjumpa lagi. Bisma dan Arunika memang tinggal dalam kota yang sama. Hubungan yang lancar selama dua tahun didukung juga dengan lancarnya komunikasi dan pertemuan yang terjadi. *** Kegiatan sekolah pun berakhir sejah satu jam yang lalu. Guru dan karyawan pulang setelah para siswa meninggalkan lokasi sekolah. Ponsel Arunika kembali bordering. Bisma mengabari bahwa sudah sampai di samping sekolah tempat Arunika bekerja sebagai administrasi sekolah. Gadis dengan setelan jas dan rok sepan bergegas merapikan tas. Ia lalu berpamitan pada Elisa. “Mau ke mana buru-buru, Mbak Run?” “Ada janji, Bu.” “Sama Kakang Mas, ya?” Arunika tersipu sambil menganggukan kepala. Di lingkungan kerjanya, hampir semua guru dan karyawan mengetahui hubungannya dengan Bisma. Arunika pun bersiap meninggalkan ruang kantor. “Mbak Run, calon pelamar jangan lupa dihubungi semua nanti malam, ya.” Elisa memutar posisi menghadap ke arah Arunika yang hamper meninggalkan ruang TU. “Oke, Bu Elisa.” Arunika mengacungkan ibu jarinya. “Oke. Makasih, ya. Selamat kencan.” Arunika tertawa kecil. Ia lalu melangkah cepat menuju gerbang. Senyuman terlukis di wajah manisnya saat melihat Bisma duduk di atas motor. “Mau ke mana kita?” tanya Arunika. “Ke kedai steak aja.” “Oke. Kalau gitu aku nggak perlu bawa motor.” Sepasang kekasih itu pun menuju kedai yang terletak tidak jauh dari sekolah. Hanya membutuhkan waktu lima menit saja. Arunika langsung memesan menu di kasir, sedangkan Bisma yang memilih meja. Gadis itu menatap sang kekasih yang berjalan ke pojok belakang. Ada hiasan air terjun buatan di sana. Arunika mengernyit sesaat. Ia heran dengan pilihan Bisma. Biasanya, pemuda itu enggan memilih meja tersebut karena berisik dengan suara air. Arunika lalu mengangkat bahu. Tidak lama kemudian, Arunika sudah menyelesaikan pemesanan dan p********n. Ia lalu berjalan mendekati Bisma. Mereka duduk berhadapan. “Run, aku ingin menegaskan sesuatu.” “Apa?” tanya Arunika santai seraya memainkan ponsel. “Aku sudah sangat ingin menikah. Keluargaku pun sudah mendesak.” “Aku tahu itu. Mas juga tahu, kan, kalau aku belum bisa nikah cepat.” Bisma mengangguk mantap. “Masalahnya hanya ada di Manda.” “Manda?” Arunika menautkan kedua alis mata. Bisma menyebut nama kakaknya tanpa kata Mbak. “Em, maksudnya, Mbak Manda.” Arunika manggut-manggut. “Udah paham gitu. Jangan ngelamar lagi.” Bisma menghela napas panjang. Ia harus berani mengutarakan niatnya pada gadis di hadapannya itu. “Boleh nggak, kalau aku nikahin Manda?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN