“Bentar, Mas. Kayaknya ada yang nggak beres sama telingaku.”
Arunika memijit kedua telinga bagian luar. Suara gemericik air seolah membuat pendengarannya menjadi bermasalah. “Mas tadi nanya, apa boleh nikah sama Manda?”
Bisma mengangguk mantap. Ia sudah siap dengan risiko yang akan terjadi. Bisa saja Arunika menyiramnya dengan air saat ini. Seperti yang ada dalam adegan drama atau film. Namun, ia bisa sedikit bernapas lega. Minuman yang dipesan belum datang.
Arunika tertawa menanggapi respon Bisma. “Prank-nya nggak lucu banget.”
“Aku serius, Run.”
Arunika menghentikan tawanya. Ia menatap Bisma dengan kening berkerut. “Mas suka sama Mbak Manda?”
Bisma terdiam seraya menatap gadis yang masih berstaus sebagai pacaranya itu. Helaan napas berat terdengar dari bibir laki-laki yang bekerja sebagai karyawan TU di fakultas almamater Arunika.
Arunika harap-harap cemas menanti jawaban Bisma. Pacar dan kakaknya itu memang pernah berjumpa saat Alamanda sedang pulang kampong. Kakak sulungnya itu bekerja di sebuah kantor notaris di Surabaya selepas lulus kuliah.
“Lumayan.” Bisma menjawab dengan singkat.
Arunika membeliak. Ia tidak menyangka jika Bisma berani berkata seperti itu di hadapannya.
“Br*n*s*k!” u*****n akhirnya keluar dari bibir Arunik. Gadis dengan alis cukup lebat itu itu menatap geram wajah Bisma yang cukup terlihat tenang.
Bisma tercengang mendengar u*****n keluar dari bibir gadis yang pernah dicintainya itu. Belum pernah seklaipun ia mendengar kata-k********r dari Arunika sejak mereka berkenalan.
“Mau gimana lagi, Run. Aku udah sangat didesak keluargaku. Nungguin kamu juga nggak ada kejelasannya.”
“Aku jelas pingin nikah, kok.”
“Sekarang?”
“Kan, udah aku jelasin, Mas.”
“Aku cuma butuh kepastian sekarang. Udah dua kali aku ngelamar kamu. Semuanya ditolak!”
“Katanya kamu nggak sakit hati?” tanya Arunika dengan napas memburu.
Bisma memalingkan wajah. Ia tidak ingin menatap mata gadis periang tersebut.
“Posisiku aat ini berat. Menikah adalah solusinya.”
Arunika hanya menghela napas panjang. Tangannya mengepal kuat.
“Aku nggak punya pilihan, Mas. Nggak mungkin kita kawin lari, ‘kan?”
“Berarti kamu memang nggak siap nikah.”
Arunika berdecak kesal. Bisma seolah ingin mengajaknya berdebat.
Bisma menghela napas panjang. Kedua tangannya bertumpu di atas meja. “Sekali lagi aku tanya. Boleh aku nikahi Alamanda?”
Arunika menopang dahinya dengan tangan kanan. Ia memejamkan matanya sekejap. Pertanyaan Bisma cukup aneh baginya.
“Kenapa harus Mbak Manda?” tanya Arunika dengan tatapan tajam.
Bisma hanya menatap Arunika tanpa mengeluarkan satu kata pun. Ia tidak mungkin mengungkap alasan sebenarnya.
“Jawab! Kenapa harus kakakku?”
Bisma hanya menghela napas pendek, lalu menundukkan wajah. Ia malah memainkan jemari di atas lutut.
“Oke, gini aja. Aku nggak mau dicap sebagai perempuan egois. Kalau Mas tega sama aku. Coba aja nikahin Mbak Manda kalau berani.”
Arunika meraih tas punggung yang ada di sebelahnya. Ia lalu bangkit dari duduknya. Tanpa pamit, gadis dengan setelan seragam berwarna cokelat muda meninggalkan Bisma yang masih bungkam.
***
Arunika turun dari ojek online dengan tidak bersemangat. Motor ditinggalnya di parkiran sekolah. Suasanan hati dan pikiran yang memburuk membuatnya tidak berani mengendarai kendaraan roda dua tersebut.
“Makasih, ya, Pak.”
Arunika berucap tanpa memandang bapak ojek. Ia sudah melakukan p********n lewat aplikasi. Dirinya tidak perlu mengambil uang dari dompet. Melangkahkan kaki saja dirasanya sangat berat.
“Mbak, maaf bentar.” Pengemudi ojek online menghentikan langkah Arunika yang akan membuka pintu pagar.
Arunika berdecak kesal. Ia lalu menoleh dengan wajah sinis. “Apa, Pak? Tadi bayarnya lewat Opo.”
“Bukan itu, Mbak.”
“Terus apa? Minta tips? Nanti saya kasih lewat aplikasi,” ucap Arunika dengan nada ketus. Ia lalu membuka pagar yang bercat hitam.
“Bukan, Mbak. Helm saya tolong dikembalikan.” Bapak ojek menangkupkan kedua tangan.
Arunika menghentikan langkahnya. Ia meraba ke bagian kepala. Matanya sontak terbuka lebar. Benar saja, helm berwarna hijau dengan lambang perusahaan ojek online itu masih terpasang rapi di kepalanya. Arunika menggigit bibir bawah. Ia memejamkan mata kuat. Rasa malu sontak menghampiri. Ia sudah bersikap sinis ke pada laki-laki tersebut. Arunika lalu menyerahkan helm dengan wajah tertunduk.
“Maaf, Pak.”
Arunika segera mengambil langkah seribu. Ia tidak mampu lagi menunjukkan muka di hadapan bapak ojek tersebut.
Arunika melepas sepatu pantofel berwarna hitam, lalu membawanya dengan tangan kiri. Ia pun membuka pintu depan. “Assalammualaikum.”
“Waalaikumsalam. Diantar Bisma?” tanya Bu Hani—Mama Arunika—menyambut putri keduanya. Perempuan dengan rambut pendek di atas bahu itu tengah menonton sinetron di ruang tengah.
“Naik ojek,” jawab Arunika singkat. Ia berjalan menuju rak sepatu yang ada di bawah tangga menuju lantai dua. Selepas itu, gadis bertubuh tinggi itu langsung menuju kamar tanpa menoleh ke arah Bu Hani.
“Loh, motor kamu tinggal di mana, Run?” Bu Hani sudah panik. mendapati putrinya tidak membawa pulang motor Bear sporty.
“Di sekolah,” jawab Arunika singkat. Ia langsung masuk dan menutup pintu kamar.
“Kusut banget wajah Mbak Arun, Ma.” Juna—putra bungsu Bu Hani—menghampiri sang ibu. Ia tengah membawa segelas minuman cokleat hangat yang baru dibuatnya.
“Mungkin beranten sama Bisma.” Tatapan Bu Hani tidak lepas dari layar televisi.
“Suruh nikah aja biar nggak berantem terus,” celetuk Juna asal.
Bu Hani membeliak. Ia sontak melemparkan bantal sofa yang dipeluknya pada Juna.
“Aduh! Apa, sih, Ma?” Juna mengusap kepalanya dengan wajah muram.
“Ngomong itu disaring dulu. Mana boleh Arun nikah sekarang. Manda yang harus duluan nikah.” Bu Hani mudah tersulut emosi jika membicarakan pernikahan untuk anak-anaknya.
“Ya udah, Ma. Mbak Manda cepetan dinikahkan.” Juna dengan santai menanggapi ucapan sang ibu.
Bu Hani mengepalkan kedua tangannya. Wajahnya terlihat geregetan. Ia lalu meraih bantal yang lain dan memukulkannya ke kepala Juna berulang kali. Semenjak Alamanda putus dari matan kekasihnya, Bu Hani menjadi super sensitif jika membahas pernikahan. Di kampong tempat keluarganya berdomisili, para ibu-ibu yang mempunyai anak gadis seoalh berlomba menunjukkan putri siap yang lebih dulu ‘laku.’
“Bocah baru masuk kuliah nggak usah sok ngatur.” Bu Hani masih sewot saja.
“Apa, sih, Ma?” tanya Juna bingung. Ia tadi hanya member saran yang baik. Namun, Bu Hani malah menyiksanya. “Aku bener, ‘kan? Mas Bisma itu udah serius sama Mbak Arun.”
“Juna diam!”
Napas Bu Hani sudah naik turun. Sekalipun Arunika memiliki calon, tetap saja belum diizinkan menikah. Jika hal itu terjadi, tentu saja keluarganya akan menjadi sorotan masyarakat. Dalam hal ini menjadi perbincangan dengan konteks negatif. Fokus Bu Hani dan suami adalah Alamanda.
***
Di dalam kamar, Arunika menenggelamkan wajahnya di atas bantal. Baju kerja belum ia lepas dari badan. Dirinya ingin sekali berteriak saat ini. Mengeluarkan semua emosi yang tersulut atas pertanyaan konyol Bisma. Ucapan laki-laki itu sudah membuat pikirannya kacau.
“Bisma ba**s*t!” Arunika memekik keras. Ia tidak takut keluarganya mendengar teriakannya karena suaranya diredam oleh bantal. Isakan kembali terdengar. Arunika merasakan dadanya sesak. Baru kali ini dirinya dibuat sakit hati oleh Bisma.
“Apa dia mau ngerjain aku?” Arunika memutar tubuh. Ia menatap langit-langit kamar. “Ulang tahunku masih satu bulan lagi.”
Arunika mencoba berpikir positif. Bisa saja Bisma ingin mengerjainya habis-habisan sebelum member kejutan manis di hari lahirnya.
“Tapi, kebangetan kalau ngerjainnya kayak gitu.” Wajah Arunika kembali muram. Ia lalu memeriksa ponsel. Masih tidak ada pesan dari Bisma. “Gimana kalau ternyata dia serius?”
Arunika menggelengkan kepala dengan cepat. “Nggak, nggak. Itu mimpi buruk. Kurang ajar banget jadi cowok kalau itu sampai terjadi.”