Diminta Mengasuh Bayi

1075 Kata
"Apa Pak?! Saya harus ke rumah bos, buat apa?" tanya Aldara bingung. "Pokoknya kamu langsung ke sini, tidak usah ke kantor lagi. Kamu tidak mau kan dipecat?" tanya Axel balik. "Ya gak mau, Pak. Tapi ngapain ke rumah bos? Saya tidak mau diapa-apain, kan? Saya ini perempuan baik-baik, Pak." "Yang bilang kamu bukan perempuan baik-baik siapa? Lagian tidak usah ke geeran deh, Darah. Kamu pikir saya mau berbuat macam-macam? Mana nafsu saya sama perempuan sepertimu," sungut Shaga menimpali karena memang Axel menelpon dengan pengeras suara. "Eh, Bos. Maaf, tapi kan wajar saya berpikir begitu, selama ini saya tidak pernah diminta ke rumah Anda. Makanya saya bingung," sahut Aldara salah tingkah. "Sudah jangan berisik, cepat ke sini atau kamu benar-benar saya pecat. Kamu pikir di mana lagi kamu akan mendapatkan gaji yang lebih besar daripada di perusahaan saya, jadi jangan buat saya kesal. Tiga puluh menit lagi kamu harus sampai ke sini!" tegas Shaga. "Apa? Tiga puluh menit? Saya saja tidak tau rumah Anda Bos, mana mungkin bisa tiba secepat itu. Bagaimana kalau rumah Anda ternyata jauh," ucap Aldara. Axel pun menyebutkan di mana rumah Shaga, yang ternyata memang tidak terlalu jauh dari tempat kost Aldara. Akhirnya Aldara setuju, dia pun memesan ojek online supaya segera sampai di rumah sang bos. Jika naik angkutan umum, bisa-bisa dia terlambat karena lama di jalan. Dan pastinya Shaga akan mencari alasan lagi untuk mengomelinya, hal yang selalu di lakukan Shaga padanya. Setibanya di depan gerbang, Aldara langsung menelpon Axel kembali. Dia takut jika tidak diijinkan security untuk masuk, jadi dia memutuskan untuk menelpon agar tidak repot-repot menjelaskan. Tidak sampai lima menit setelah selesai menelpon, pintu gerbang terbuka. "Non Dara?" tanya Arif. "Iya, Pak." "Silahkan masuk, Non Dara. Tadi bang Axel suruh langsung masuk saja," jelas Arif. "Terima kasih, Pak." Aldara langsung berjalan masuk, saat melewati Arif dia menghentikan langkahnya. "Tolong saya jangan di panggil Dara, Pak. Panggil aja Alda, sejak dulu saya tidak suka di panggil Dara. Itu hanya pak Axel dan bos saja yang suka panggil saya begitu, meskipun sudah saya larang." Aldara meminta Arif supaya tidak memanggilnya dengan Dara. "Oh, maaf kalau Begitu, Non Alda. Karena tadi bang Axel bilangnya begitu, Non jangan panggil saya Pak. Saya masih muda untuk di panggil itu, panggil saja Arif, Non." "Gak sopan dong manggil nama aja, apalagi sepertinya Anda lebih tua dari saya. Kalau begitu saya panggil Mas Arif saja, ya udah saya masuk dulu, Mas Arie." Aldara tersenyum dan langsung melangkah masuk saat mendapatkan anggukan dari Arif. Aldara berjalan masuk ke arah rumah yang cukup jauh dari gerbang, karena memang halaman rumah mewah itu sangat luas. Selama berjalan menuju ke arah rumah, Aldara mengomel kesal. "Kenapa sih, mereka suka banget manggil aku Dara. Apalagi si bos, malah di tambahin 'h' segala. Gak sekalian aja panggil darah kotor biar puas," gerutu Aldara. Bukan tanpa alasan Aldara tidak suka di panggil seperti itu, karena saat dia sekolah dahulu dia sering di bully dengan panggilan yang sering diucapkan Shaga. Padahal menurut ibunya, mendiang ayahnya sangat senang memanggilnya Alda. Hal itu membuatnya lebih senang dikenal dengan Alda daripada Dara, yang sering membuat orang memanggilnya Darah bahkan dengan embel-embel lainnya. "Akhirnya kamu datang juga, ayo masuk!" ajak Axel yang muncul dari pintu saat Alda naik ke teras. "Memangnya ada apa sih, Pak? Kok tumben saya di suruh ke rumah, apa ada hal penting? Kenapa tidak bicara di kantor saja?" tanya Aldara beruntun. "Nanti kamu akan tau sendiri, biar tuan Shaga yang menjelaskan sendiri." Axel tetap kekeuh tidak memberitahu sambil terus berjalan. "Atau jangan-jangan bos mau ngajak saya menikah kontrak, seperti yang saya sering baca di n****+-n****+?" tanya Aldara tetap berusaha. Axel tetap tidak menjawab, membuat Aldara semakin yakin dengan apa yang dipikirkannya. Dia berpikir alasan Axel tidak menjawab karena apa yang ditanyakannya adalah kebenarannya. Axel mengajak Aldara ke ruang tengah di mana Shaga sedang duduk sambil melihat tabletnya. "Tuan, ini dia sudah datang." Axel memberitahu meskipun sebenarnya Shaga sudah menyadarinya tapi sengaja bersikap acuh. "Duduklah," titah Shaga. Dengan ragu Aldara menurut dan duduk di salah satu sofa, matanya berkeliling mengitari seluruh ruangan yang terlihat mewah. Dengan warna silver dan gold, yang membuat kesan elegan dan mewah. Di tambah sebuah lukisan yang sudah bisa ditebak harganya tidak murah, belum lagi beberapa guci besar dan sebuah jam antik yang berdiri di sudut ruangan. "Sebenarnya saya di panggil ke sini untuk apa, Bos. Jangan-jangan Bos mau mengajak saya menikah kontrak seperti cerita n****+ yang sering saya baca. Saya tidak mau, Bos. Meskipun bos akan memberikan saya berapapun," ucap Aldara mengulangi ucapannya pada Axel tadi. "Hahaha, saya baru tau kalau kamu sepercaya diri itu. Kamu pikir kamu pantas mendapatkan tawaran seperti itu, kalau saya mau sudah pasti saya akan cari perempuan cantik dengan tubuh seksi. Bukan perempuan mungil dengan wajah pas-pasan seperti kamu, Darah." Shaga tertawa meledek dan tentu saja bersikap merendahkan seperti biasanya jika bicara pada Aldara. "Apa? Bapak bilang saya mungil? Tinggi saya 158, badan saya padat berisi. Wajah saya juga tidak jelek-jelek amat, ada lesung pipi yang kata ibu saya bikin saya manis. Dan nama saya Aldara, sering dipanggil Alda. Berapa kali harus saya ulang," sahut Aldara sewot. "Duh, berisik banget kamu nih. Memuji diri sendiri tidak ada gunanya di depan saya, bagi saya kamu itu jelek dan tidak menarik. Jadi jangan berkhayal seperti cerita n****+ yang kamu baca, itu cuma cerita halu yang tidak akan ada di dunia nyata. Jadi bagun dan jangan mimpi, juga jangan atur saya mau panggil apa. Lagian nama kamu Aldarah, apa salahnya kalau saya panggil Darah. Kecuali saya panggil inem, baru protes meskipun memang tampang kamu cocok dengan nama itu." Aldara mengepalkan tangannya, menahan amarah dan rasa geramnya dengan ucapan Shaga. Jika saja Shaga bukan pemilik perusahaan tempatnya bekerja, pasti sudah sejak tadi tinjunya akan melayang ke wajah Shaga. Tapi dia masih berusaha menahan emosi, dengan ucapan yang keluar dari mulut Shaga. "Terus kenapa saya dipanggil ke sini, Bos? Saya ini karyawan di perusahaan Anda, bukan pelayan di rumah ini. Jadi seharusnya kita bicara di kantor bukan di rumah," sahut Aldara setelah berusaha menahan emosinya. "Axel panggil mbok Ira," titah Shaga sebelum menjawab pertanyaan Aldara. "Baik, Tuan." Axel segera berjalan ke ruang belakang, Aldara benar-benar bingung apa yang diinginkan bosnya itu sampai memintanya datang ke rumah. Tak lama Axel keluar bersama mbok Ira yang menggendong Aura, melihat ada bayi membuat Aldara semakin mengernyitkan keningnya karena bingung. "Mulai hari ini kamu akan tinggal di sini dan mengasuh bayi ini," ucap Shaga membuat Aldara terperanjat kaget. "Gila," ujar Aldara tanpa sadar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN