Lama Mega menunggu di atas ranjang, dia sudah bersiap untuk malam pertama bersama pria yang dicintainya. Karena Radit lama berada di dalam kamar mandi, Mega membuka dahulu ponselnya dan melihat foto kakaknya yang begitu tampan.
Walaupun mereka terpaut jauh, dengan umurnya yang masih belasan, tapi dia benar benar mencintai kakaknya sejak lama. Dan Mega senang sekarang kakaknya menjadi suaminya setelah berbagai rencana yang dia pikirkan selama ini.
Terlepas dari itu, Mega senang karena perusahaan akan diteruskan oleh kakaknya yang juga akan menjadi ayah dari anak anaknya. Jadi tidak aka nada lagi kecemburuan, toh anaknya anak Radit juga. Asalkan Radit menjadi miliknya dan bersamanya selama lamanya, Mega tidak masalah jika Radit mengambil alih semua kekayaan orangtuanya.
Dengan kepastian kalau Radit akan selalu bersama dengan dirinya sampai kapanpun itu.
Kesal karena Radit lama, Mega melangkah menuju pintu kamar mandi kemudian memukulnya. “Kak!” teriaknya dari luar. “Udah belum?!”
“Belum.”
Jawaban Radit membuat Mega mendengus kesal, dia yakin suaminya itu mengulur waktu. Bagaimana tidak, dia sejak tadi berada di kamar mandi dan tidak kunjung keluar.
Mega tahu ini terburu buru, tapi dia ingin memiliki Radit seutuhnya. Jika mengandung anak Radit kan posisi Mega aman, tidak aka nada yang bisa merebut gelar istri dan ibu dari anak anak Radit.
Kesiapan memiliki anak? Mega hanya memikirkan Radit. Apapun yang berhubungan dengan pria tampan itu pasti akan membuatnya siap, termasuk memiliki anak.
“Kakak sengaja ya? Aku dobrak nih.”
Saat itu pula Radit keluar. Membuat Mega yang melihatnya segera menelan ludah kasar. Apalagi saat tatapannya turun melihat kotak kotak perut Radit yang begitu liat. Ini bukan pertama kali Mega melihatnya, tapi tetap saja dia terpukau dengan sixpack yang begitu indah di sana. Membuatnya ingin menyentuhnya.
“Wow,” gumam Mega hendak memegangnya.
Namun, Radit secara spontan menepisnya.
“Aw, sakit tau. Jahat kamu, Kak.”
“Maaf, aku gak bermaksud. Aku mau pake baju.” Radit sedikit gugup dan risih mendapat tatapan seperti itu dari Mega, karena masih ada pergulatan dalam dirinya.
Dia tidak boleh bertindak kasar kepada Mega, apalagi kini dia istrinya dan mama juga papanya telah menitipkan dan mempercayakan Mega kepadanya.
“Gak usah pake baju,” ucap Mega menghalangi jalan suaminya, dengan cara merentangkan tangan. “Kan kita mau malam pertamaan, kita mau bikin anak. Yuk.”
“Mega, kakak gak bisa,” ucap Radit melepaskan tangan Mega yang menggenggamnya.
Membuat Mega seketika mengerutkan kening. “Kok kamu gitu? Aku ini istri kamu loh, Kak. Aku bukan adik kamu lagi. Tega ya, kamu. Ingat perjanjian yang aku buat? Tujuh kali dalam seminggu loh kita perlu itu….. aku mau sama kamu, Kak. Mega sayang, Mega cinta sama Kakak.”
Radit menghela napas, dia melewati Mega begitu saja untuk mengambil pakaiannya.
“Kak.”
“Aku gak bisa, sekuat apapun aku meyakinkan diri aku gak bisa. Mungkin belum, kasih aku kesempatan.”
Mega mengendus kesal. “Kalau gitu kamu harus terbiasa sama ini.”
“Sama apa?” tanya Radit bingung.
Saat itu pula Mega membuka pakaiannya dan hanya menyisakan pakaian dalam saja. kemudian dengan santai dia menggantinya dengan gaun seksi yang transparan. “Kamu harus terbiasa sama ini.”
Jelas saja Radit menelan ludahnya kasar. Walau bagaimana pun dia laki laki normal yang dipenuhi hawa nafsu, tapi dia ingin saat melakukannya dirinya sudah memberikan hatinya pada Mega.
“Gak keberatan kan?”
Radit menunduk sebelum akhirnya mengangguk. “Terserah kamu aja.”
Mega menyeringai. “Kalau udah pake baju sini, kita makan bareng.”
Radit menghela napas panjang, bisakah dia terbiasa dengan keberadaan perempuan yang sekarang menjadi istrinya? Rasa marah dan kesal itu masih ada. Tapi…. Harus bagaimana lagi? Tidak akan ada yang bisa mengubah keadaan meskipun Radit marah dan melampiaskannya pada Mega.
**************
Ketika hendak tidur, Radit menatap Mega yang sudah berbaring di sana dengan senyuman menggoda.
“Sini, Kak,” panggilnya sambil mengusap bagian ranjang yang kosong. “Kak?”
Radit berusaha tenang, dia mematikan lampu dan berbaring di samping istrinya.
“Kita bulan madu kan?”
“Aku ada kerjaaan.”
“Kan udah gak ngajar.”
“Perusahaan Papah.”
“Nanti minta aja sama Papah buat liburan dulu, Kak,” bujuk Mega dengan bibirnya yang mengerucut. “Ya? Kan Mamah udah nyiapin. Masa tega? Kata Mamah kan mau ke Wahaii. Mau dibatalin? Durhaka loh, tega kamu ya. Dasar maling kundang.”
“Gak bisa, Mega. Kan ada yang harus aku urus, aku udah minta Mamah buat tunda dulu, lagian Papah juga maunya kayak gitu.”
“Ya terus kita nyatunya kapan kalau pisah terus hah? Heran aku sama kamu. Nih, Kak. Aku ini udah jadi istri kamu, terima atau enggak, yang bakalan lahirin anak kamu itu aku.”
“Oke, oke aku paham,” ucap Radit menatap Mega yang tidur miring ke arahnya dengan tangan menyangga kepala. “Aku seminggu kerja, abis itu pergi. Serius Kakak harus liat dulu perusahaan, biar gak kaget pas masuk nanti. Minta Mamah undurin waktunya aja, seminggu aku kerja dulu.”
“Janji?”
Terpaksa Radit mengangguk. “Sekarang tidur.”
“Mau dipeluk,” ucap Mega dengan wajahnya yang datar.
Ketika radit hendak berbalik membalakanginya, Mega menahannya hingga suaminya tetap tidur terlentang. Tidak membiarkan kesempatan lewat, Mega segera membaringkan kepalanya di d**a suaminya.
Dan Radit kembali menelan ludahnya kasar saat merasakan gumpalan empuk yang membuat konsentrasinya buyar. Jauh di dalam hatinya tidak membenarkan hal ini, Mega adalah adiknya yang kini menjadi istrinya. Fakta bahwa dia sekarang adalah istrinya masih belum bisa diterima.
“Gak usah tegang gitu dong,” ucap Mega dengan tangan merayap mengusap d**a suaminya.
“Jangan begini, Mega.”
“Kenapa? Bikin panas dingin?”
“Mega.”
Mega malah semakin erat memeluk d**a suaminya. Kemudian dia berucap, “Lain kali jangan pake baju, Kak.”
“Pikirannya jangan gitu mulu.”
Mega malah terkekeh. “Emang kenapa? Kan aku istri kakak.”
“Katanya kan kamu kuliah.”
“Oh iya, aku mau batalin.”
Saat itulah Radit menatap Mega meminta penjelasan. Dan dengan santainya dia berkata, “Orangtua aku udah izinin kok. Kenapa? Soalnya kan ada kamu, dia udah mercayain aku sama kamu, Kak.”
“Karena Mamah sama Papah udah mercayain, maka kamu jadi tanggung jawab aku. Aku mau kamu sekolah lagi, Mega. Jangan buang buang kesempatan untuk belajar, kamu gak tau mungkin kita sedang di atas, bisa saja tiba tiba nanti kita berada di bawah.”
“Gak mau, aku mau di rumah aja bikin strategi.”
“Strategi apaan?”
“Strategi biar cepet punya anak lah sama kamu. Terus strategi biar gak ada cewek yang deketin kamu. Kalau perlu aku tempelin name tag kalau kamu keluar, kasih tulisan kalau punya bini galak.”
Radit diam, dia tidak bisa berkata kata. Ternyata Mega seagresif ini, dan pikirannya penuh dengannya.
“Kamu itu terobsesi sama aku, Mega. Ini bu⸻”
“Ini cinta!” teriak Mega. Dia menarik napas sebelum semakin mengeratkan pelukannya. “Jangan bikin aku marah, Kak. Nanti aku yang maksa kamu, iket kamu. Mau?”
“Ganti topic please.”
“Gak mau.”