KISAH KELAMKU

1159 Kata
"Kak Rio--" "Dan aku terpaksa harus mengubur keinginanku untuk punya anak, karena aku tidak mau kalau anakku mendapatkan ibu pengganti lain kecuali dirimu!" Rio tahu, tidak mungkin Dini mau menyengsarakan putrinya. Lagi pula Dini butuh uang, dan pria itu hanya ingin wanita di sisinya jujur tentang kondisi kehidupannya. Meski Rio juga tak tega melihat Dini yang kesulitan menjawab, kini jadi menunduk. Dia berusaha tetap tegar. "Dini, aku tidak mau menyusahkanmu!" Melihat wanita itu terlihat lemah dan gamang, Rio kembali memegang tangannya yang sebetulnya ingin ditarik oleh Dini, cuma karena Rio menahannya cukup kencang, sulit untuk Dini berkelit. "Aku hanya ingin tahu kondisimu yang sebenarnya supaya aku tahu bagaimana harus bersikap padamu. Dan kita bisa saling menolong dengan maksimal." "Kak Rio--" "Dengar dan jangan potong dulu, Dini!" tukas Rio yang tak mau disanggah. "Karena bagaimanapun, anakku akan ada di dalam rahimmu dan kalau kondisimu stres berat, ini juga akan mengganggu tumbuh kembang janin yang ada di dalam kandunganmu. Itulah kenapa aku ingin kita saling jujur!" lagi-lagi alasan Rio masuk akal dan ini tak bisa dibantah Dini. Semakin bahagia seorang ibu, maka anak di dalam kandungannya akan semakin sehat. Mungkinkah Rio mau menaruh bayinya dalam rahim ibu pengganti dengan stres di pikirannya? "A-aku sudah empat bulanan ini habis-habisan menjual barang-barangku untuk pengobatan Anggia, Kak." "Kenapa?" Rio mengejar. "Keluargamu tidak mungkin kekurangan uang, kan?" "Ini semua salahku, Kak." Dini menunduk dia tak lagi berani menatap Rio saat mulai bercerita. "Perjelas padaku. Ceritakan perlahan-lahan Dini," bujuk Rio masih berusaha bersabar. "Semua berawal dari kecerobohanku. Satrio, dia laki-laki yang sangat dipercaya papa dan papa yakin sekali anak dari sahabatnya itu calon suami yang tepat untukku. Papa juga memberikan kepercayaan berlebih untuk mengurus perusahaannya. Jadi semua bisnis papa setelah kami menikah diserahkan ke Satrio tapi masih didampingi papa. Sampai akhirnya papa sakit dan semua bisnis papa akhirnya ada di tangan Satrio sepenuhnya. Aku gak tahu menahu, karena kedekatan mereka lebih intens. Papa hanya mengatakan padaku kalau aku sangat beruntung memiliki suami seperti Satrio yang tahu bagaimana cara mengurus aset kami. Aku gak perlu bekerja keras, tapi aku bisa hidup layak tanpa stress. Aku menurut dan aku gak berani melawan papa saat menyatukan perusahaannya dengan milik keluarga Satrio. Sampai ujungnya papa meninggal dan Satrio memintaku untuk menandatangani surat yang isinya dia bilang untuk mempermudahnya mengambil keputusan di perusahaan." "Kamu menandatanganinya?" Rio tak sabaran karena ada emosi dalam hatinya pada pria yang disebut Dini. "Aku memang bodoh, karena gak membaca isi suratnya." Dini tersenyum getir sambil menunduk dalam dan menyembunyikan air matanya yang hampir jatuh. "Apa isi surat itu?" Rio kembali bicara karena Dini tak melanjutkannya. "Penyerahan semua aset yang dimiliki oleh papa yang menjadi harta warisan untukku ke tangannya. Jadi itu seperti balik nama dan setelah itu kulakukan, Satrio mengusirku dan Anggia dari rumah papa tanpa sedikitpun peduli kalau kami tidak punya apa-apa." Dini tak tahu lagi bagaimana mengontrol emosinya saat mengatakan ini. Dia menarik satu tangannya yang tadi digenggam oleh Rio. "Maaf Kak Rio, aku jadi kebawa perasaan." Dini cepat-cepat menghapus air matanya. "Empat bulan? Jadi selama empat bulan ini kamu tinggal di mana?" Sebetulnya hati Rio sangat perih sekali mendengar cerita hidup Dini. Tapi dia berusaha untuk tetap tegar sambil mengeluarkan sapu tangan dari sakunya dan dia sendiri yang menghapus air mata Dini saat bertanya. Tak peduli meski tadi Dini mau menolaknya. "Aku dapat rumah kontrakan murah, terus aku pikir aku bisa cari kerja tapi ternyata agak sulit karena saat aku diusir aku nggak pegang KTP-ku dan aku juga nggak pegang surat-surat lainnya, termasuk ijazahku. Buat mengurus itu aku nggak bisa. Karena setiap kali aku mau membuat surat kehilangan di kantor polisi ujung-ujungnya aku juga nggak tahu kenapa aku selalu diusir." "Ada orang yang mengikutimu?" cecar Rio lagi. "Aku nggak tahu, Kak. Sampai akhirnya aku lelah buat mengurusnya. Jadi aku udah berhenti dari dua bulan yang lalu. Aku juga berusaha untuk menghubungi Satrio dan memberitahukannya kalau aku butuh uang untuk pengobatan Anggia. Tapi aku nggak bisa masuk ke dalam rumahku lagi. Satpam di sana sudah diganti dan selalu berbuat kasar pada kami. Seperti kami ini pengemis. Makanya aku gak lagi ke sana sejak dua bulan yang lalu," sakit sebetulnya Dini menceritakan ini. Laki-laki yang dipikir oleh ayahnya bisa menyelamatkan hidupnya justru mengambil semua miliknya selepas ayahnya meninggal dan mengusirnya dengan alasan yang memilukan. "Jadi dia bersama dengan wanita lain dan dia menginginkanmu pergi dari rumah?” Dini mengangguk karena memang itulah alasannya. Wanita yang memang tidak disangka-sangka olehnya menjadi pilihan Satrio yang membuat pria itu sangat tega sekali mengusir Dini dan Anggia, bahkan membiarkan Dini yang merupakan pemilik dari semua harta yang dimilikinya luntang lantung di jalanan. "Jadi selama ini kamu mengobati anakmu dengan menjual apa yang kamu bawa dari rumah itu?” "Aku kebetulan pakai perhiasan dan aku memang mengantongi handphoneku. Perhiasannya aku jual satu persatu." Dini mengaku jujur. "Sampai semuanya habis dan aku terpaksa menjual baju-baju anakku dan menggantinya dengan yang sedikit lebih murah. Karena aku nggak tahu lagi gimana aku harus membiayainya. Kerjaan yang kudapat, bisa untuk makan tapi biaya medis sangat mahal." Dini sudah kepalang cerita makanya dia jujur, meski sangat malu pada Rio. "Maaf Kak. Nggak seharusnya aku cerita ini semuanya.” "Sudah, kamu sekarang istriku dan sekarang sudah menjadi tanggung jawabku!" Dini berusaha menarik tangannya satu lagi dan dengan matanya yang berkaca-kaca karena habis menangis, Dini berusaha tegas kembali pada pria di hadapannya. "Kak Rio sudah menikah dengan seorang wanita yang pasti sangat mencintai Kak Rio. Jangan pernah bilang aku istri Kak Rio, hubungan kita ada batasnya. Dan ini bukan ikatan yang membuat Kak Rio harus bertanggungjawab padaku." "Dini--" "Kak Rio, aku terpaksa menceritakan semuanya karena aku tadi diminta untuk jujur. Tapi aku sama sekali tidak ingin menjadi orang ketiga dalam pernikahan kalian." Dini menyelak tak mau mendengar alasan Rio. "Aku hanya ingin kakak membantu untuk pengobatan Anggia dan aku akan kooperatif, berusaha menjaga kesehatanku selama janin untuk kak Rio dan istri kak Rio ada di dalam kandunganku." "Dini--" "Tapi aku mohon jangan Kak Rio menjadikanku wanita kedua. Karena aku sudah melihat sendiri buruknya perbuatan pelakor. Lihat diriku dan Anggia sekarang, Kak." Pedih, tapi Dini kembali mengingatkan Rio pada kehidupannya yang berantakan karena pelakor. "Karena orang ketiga aku kehilangan semua harta warisan keluargaku dan aku juga anakku diusir oleh suamiku. Aku gak mau menjadi perusak rumah tangga orang, Kak Rio!" lalu wanita itu mencoba tersenyum di saat Rio masih tidak tahu harus mengatakan apa. "Setiap orang memiliki jalan hidupnya dan ini jalan hidupku. Hubungan kita hanya sebatas apa yang sudah kita sepakati di awal. Jadi jangan jadikan beban apa yang tadi kukatakan!" Dini mengakhiri lalu melihat jam dinding. "Permisi Kak! Aku mau melihat Anggia. Nanti kalau ada apa-apa aku tetap ada di ruangan itu kok. Kakak bisa menghubungiku langsung ke sana.” "Kalau begitu aku ikut ke sana." "Eh, nggak usah, Kak." Dini sudah berdiri dan Rio mau ikut berdiri, tapi wanita itu menolak. "Aku ingin bertemu dengan Anggia, Dini," tegas Rio. "Aku ingin melihat keadaannya. Lagi pula, bukannya aku harus mengaktifkan handphonemu karena kamu nggak punya KTP?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN