"Ma,..Kak Dhifa kenapa?" Dhira yang mendengar teriakan Mamanya segera masuk kamar Dhifa, Ia tampak cemas melihat kondisi kembarannya yang terkulai lemas tak berdaya.
"Ayo cepat kita ke rumah sakit!Dek, kamu panggil Pak Amar suruh siapkan mobil." Papa Dany langsung meraih tubuh putrinya. Pria bertubuh tinggi itu dengan susah payah membopongnya.
Sekesal apapun perasaan hatinya, Ia harus segera bertindak cepat untuk membawa anaknya ke rumah sakit. Keselamatan anaknya lebih penting dari segalanya.
Suasana mencengkam menyelimuti keluarga Dany Hadiwijaya. Mama Heni tak henti menangis, begitupun dengan Dhira. Mereka berdoa untuk kebaikan semua.
"Pa,..kak Dhifa kenapa?" Nizam pun berlari mengikuti mereka. Pemuda gendut itu baru selesai makan siang.
"Ayo Dik, kamu ikut!" Wanita itu menarik lengan Nizam tanpa perasaan.
Mama Heni membutuhkan anak lelakinya.
Para ART hanya bengong melihat kejadian itu. Mereka kebingungan, mau bertanya pun mereka sudah bersiap pergi.
***
Dhifa dibawa ke rumah sakit terdekat. Sekarang ia berada di IGD bersama Mama Heni dan adiknya, Nizam.
Mama Heni menangis tak henti-henti. Ia merasa gagal menjadi seorang ibu. Ia terlalu sibuk dengan urusan bisnisnya sehingga lalai akan tugasnya dalam memberikan pengawasan. Seandainya ia tak mengizinkan anaknya ikut menginap di villa mungkin kejadiannya tak akan seperti ini. Penyesalan selalu datang di akhir. Ia bingung harus bagaimana menghadapi keluarga besar Hadiwijaya nanti. Putrinya sudah mencoreng nama baik keluarganya.
"Ma, sudah jangan nangis terus!" Nizam berusaha menguatkan. Ia mengusap bahu ibunya dan memberikan pelukannya. Nizam sebenarnya tak paham apa yang terjadi. Ayahnya malah pergi begitu saja tanpa pamit.
Wanita bercucu enam itu lantas mencari keberadaan suami dan anak ya yang lain, namun tak ada.
Kok Papa menghilang
"Papa mana?" Mama Heni menatap Nizam, berharap putranya tahu akan keberadaan ayahnya.
"Tadi bilang mau ke rumah Kak Alwi, sama Kak Dhira perginya." Nizam memberikan informasi.
Mama Heni kaget. Pasti akan terjadi huru-hara jika suaminya mendatangi mereka.
Dokter dan perawat datang untuk memeriksa kondisi Dhifa, gadis itu belum siuman dari pingsannya.
"Ini pingsan. Sudah berapa lama?" Dokter laki-laki berkacamata tebal itu menatap Dhifa, lalu beralih kepada Mama Heni.
"Setengah jam." Mama Heni mengira-ngira.
"Mama!" Dhifa siuman saat dokter memberikan sesuatu tepat dekat hidungnya.
Mama Heni sampai lupa berusaha memulihkan pingsannya. Ia terlalu panik hingga tak bisa berpikir.
"Kak Dhifa." Mama Heni mendekati putrinya.
Mata Dhifa terbuka, namun saat menyadari dirinya berada di rumah sakit dan di sampingnya berdiri dokter dan perawat ia kembali pingsan. Gadis itu memiliki phobia dengan sesuatu yang berbau rumah sakit, apalagi jika melihat dokter akan menyentuhnya. Sejak balita ia sering berteriak jika diperiksa dokter.
"Maaf, dokter. Putri saya sepertinya ketakutan." Mama Heni kembali panik.
"Baiklah kita biarkan saja dulu, sepertinya dia agak tertekan. Tolong ibu ceritakan bagaimana kejadiannya?" Dokter itu meminta informasi kepada Mama Heni.
Wanita cantik itu pun menceritakan kronologis kejadiannya.
Dokter bernama Bambang itu manggut-manggut.
***
Dhira duduk di samping papanya yang mengemudikan mobil dengan kecepatan sedang. Itu pun setelah mendapatkan peringatan dari Dhira.
Ia menuju rumah kediaman sahabatnya yang bernama Alan. Ya, dia Om Alan papanya Alwi. Kebetulan rumahnya berada dekat kawasan rumah sakit.
"Hai Dan, apa kabar?" Papa Alan langsung menyambut kedatangan Papa Dany dengan ramah.
"Mana anak Lo?" Papa Dany tak ingin berbasa-basi. Tujuan utamanya adalah menyeret pemuda berkacamata anak temannya yang diduga sebagai tersangka ayah dari bayi yang sedang dikandung putrinya.
Dhira bersiap siaga. Takut terjadi perkelahian antar dua pria dewasa itu.
Benar saja, sang papa mulai membuat kerusuhan. Pria itu berubah menjadi sosok ganas yang menyeramkan.
"Anak lo b******k, dia udah bikin anak gua hamil." Papa Dany berteriak keras. Dhira meringis. Seumur hidup ia belum pernah melihat papanya semurka ini.
Suasana ruangan mendadak panas.
"Tunggu...tunggu... maksudnya apa sih?" Papa Alan menatap Papa Dany tak mengerti.
"Buruan panggil anak lo!" Bentaknya. Amarah menyelimuti jiwanya.
Dhira meringis. Ia tak kuasa melihat adegan ini. Ia jadi ingat kejadian di rumah sakit beberapa waktu lalu saat Papa Dany menghajar seorang dokter.
"Ada apa Om?" Alwi bersikap jantan dengan muncul di hadapan Papa Dany. Ia baru saja selesai sholat Dzuhur saat mendengar ada keributan.
"Eh bocah, kamu memang tidak tahu diri. Rasakan ini, atas apa yang terjadi kepada Dhifa." Papa Dany langsung menyerang Alwi.
Bugh
Bugh
Bugh
"AW.."
Alwi tak siap menghindar sehingga beberapa bagian tubuhnya kena serangan mematikan.
"Dan...stop, please. Anak gua bisa mati!" Teriak Papa Alan. Ia mencoba menghadangnya.
Papa Alan malah kena pukulan sahabatnya.
"Lo gila, kita bisa bicara baik-baik." Papa Alan masih bisa mengontrol emosinya. Ia yakin pria di hadapannya pasti tengah marah besar.
Papa Dany menghentikan aksinya. Ia menatap ke arah Alwi dan Papa Alan bergantian. Matanya berembug pertanda menahan kesedihannya.
"Dhifa..., Dhifa hamil!" Ia berucap dengan nada sedih.
Papa Alan menggeleng tak percaya.
"Ini buktinya!" Papa Dany memberikan test pack pembawa petaka itu.
"Hah?!!" Alwi melotot seraya membetulkan posisi kaca matanya.
"Kalian harus bertanggung jawab atas apa yang terjadi." Ayah tiga anak itu memberikan ancaman. Sebagai seorang ayah, perasaannya sangat hancur menerima kenyataan ini.
"Tidak mungkin!" Alwi menggeleng.
Papa Dany kembali naik pitam dan menendangnya. Anak itu sepertinya hendak menyangkal. Ia tak akan melepaskannya.
***
"Ma, aku dimana?" Dhifa sudah siuman. Anak gadis itu menatap ke sekeliling. Hanya ada dirinya di ruangan itu.
"Rumah sakit." Mana Heni memeluk putrinya.
"Papa kemana sih? Malah main pergi aja." Mama Heni mengomel. Di saat butuh suaminya, pria itu malah pergi. Dhifa mendengar dengan jelas kekesalan ibunya.
"Tuh Papa." Dhifa menunjuk ke arah ayahnya yang baru muncul dengan wajah lemas dan penampilan kusutnya.
"Dany kemana saja sih?" Oma Ratih yang langsung menatapnya.
Papa Dany dan Dhira tiba di rumah sakit setengah jam setelah Oma Ratih dan Opa Yusuf. Kakek Nenek itu langsung meluncur ketika mengetahui kabar berita cucunya di rumah sakit. Nizam yang menelponnya.
Dokter pun kembali datang dan memeriksanya.
"Mohon maaf, kami akan memeriksa pasien. Saya harap hanya satu orang saja yang mendampingi." Dokter meminta perhatian.
Mereka pun menurut. Tersisa Mama Heni dan Papa Dany yang keukeuh tak mau keluar. Dokter pasrah membiarkannya.
"Kondisi putri bapak sehat, dia butuh istirahat yang cukup. Ia kelelahan dan ada masalah di lambung. Sepertinya ia terlalu sering makan pedas. Usahakan makan teratur." Sang dokter memberikan nasihat.
"Kandungannya?" Mama Heni menanyakan kehamilan Dhifa.
"Hamil?" Dokter Bambang mengerutkan keningnya.
Mama Heni mengangguk.
"Putri Anda tidak hamil. Ini penyakit lambung. Jadi gejalanya seperti orang hamil." Dokter memberikan penjelasan. Rupanya keluarga pasien salah sangka.
"Jadi dia tidak hamil?" Papa Dany menatap dokter wanita berkacamata itu. Ia meminta kebenaran.
Sang dokter mengangguk.
"Tidak, putri Anda tidak hamil." Dokter dengan yakin memvonis.
"Alhamdulillah." Papa Dany sujud syukur. Dugaannya salah.
"Eh, lalu alat tes kehamilan itu milik siapa?" Papa Dany ingat kembali hasil temuan istrinya.
Mama Heni pun melakukan hal yang sama.
"Coba tanya putri Anda!" Dokter menatap Dhifa meminta penjelasan.
"Waktu itu Tante Vina masuk kamar mandi." Dhifa mencurigai bibinya.
"Dhifa tak tahu ngapain, yang jelas orang terakhir yang ke sana itu Tante Vina. Mama keburu datang dan masuk ke sana. Menemukan benda itu." Dhifa memberikan Penjelasan.
"Vina!??"
***
Bersambung