"Jadi alat ini milik Tante Vina?" Papa Dany melotot tajam.
"Sepertinya iya, Pa. Papa tanya saja langsung sama yang bersangkutan." Dhifa hanya menduga.
Mendengar penjelasan dari putrinya baik Mama Heni maupun Papa Dany merasa bersalah dan menyesal. Mereka terlanjur berpikiran negatif. Parahnya lagi sampai mendatangi Alwi dan menjadikannya pasien di IGD kamar sebelah Dhifa. Ia bertindak terburu-buru tanpa berpikir jernih memperhitungkan akibat yang ditimbulkannya.
"Gimana kondisi Dhifa?" Oma Ratih menjadi orang pertama yang masuk melihat kondisi Dhifa setelah dokter keluar. Ia diikuti oleh Opa Yusuf yang tak banyak bicara. Ia masih shock dengan berita tentang cucunya.
"Dhifa, Alhamdulillah tidak kenapa-kenapa. Dia itu kena mag bukan hamil. Kita sudah salah paham." Mama Heni yang memberikan penjelasan. Ibu kandung Dhifa itu yang terlalu panik hingga membuat suasana tegang yang memicu suaminya bertindak di luar batas.
Oma Ratih langsung mengusap Dhifa dan mengamati kondisinya. Cucunya terlihat lebih segar. Alat infus cukup membantu memulihkan badannya yang lemah.
"Tuh, kan Papa sama Mama udah salah bikin tuduhan. Ga mungkin Dhifa hamil. Dhifa belum pernah ngapa-ngapain sama Alwi. Dhifa berani bersumpah." Dhifa mengerucutkan bibirnya. Pikirannya langsung tertuju kepada Alwi yang entah bagaimana kabarnya.
"Pokoknya, Papa harus bertanggung jawab." Dhifa memberikan tuntutan. Gadis yang tadi sempat bersitegang dengan dokter karena rasa takutnya pada jarum suntik menyalahkan ayahnya.
"Alhamdulillah kalau begitu. Oma sampai was-was." Oma Ratih bersyukur.
"Papa aja lebay." Dhifa masih saja kesal.
"Iya, ih kamu ini gimana sih Dan main tuduh dan prasangka saja. Anak orang kamu bikin masuk IGD. Bikin malu saja." Oma Ratih mengomel. Anaknya yang sudah punya anak cucu itu masih suka adu jotos sembarangan. Alwi ditampar dan dipukuli habis-habisan. Begitu kabar yang didengar dari Dhira.
"Apa? Alwi masuk rumah sakit gara-gara Papa?!" Dhifa langsung bangkit dari pembaringan dan melayangkan tatapan tajamnya.
"Maafkan Papa, Sayang. Papa tadi sempat marah dan kecewa makanya saat bertemu Alwi Papa khilaf malah membabi buta." Papa Dany mengakui perbuatan tercelanya. Dia sudah seperti preman pasar saja.
Mama Heni menghela nafas panjangnya sambil beristighfar membayangkan kelakuan suaminya. Sebelumnya ia sudah menduganya, walaupun ia belum tahu langsung kondisi Alwi seperti apa, namun yakin jika pemuda yang berstatus sebagai anak sahabatnya itu tidak sedang baik-baik saja.
Obrolan terhenti saat terdengar ucapan salam.
"Assalamualaikum."
Dhifa tahu itu suara Om Diki. Ia mengalihkan pandangannya ke arah pintu masuk.
"Waalaikumsalam." Oma Ratih yang mewakili menjawab salam tamunya.
Dhifa mendapatkan kunjungan dari
Om Diki dan Tante Vina. Begitu mendapat kabar keponakannya masuk rumah sakit mereka langsung meluncur.
Suasan IGD pun menjadi ramai oleh keluarga Hadiwijaya. Beruntung pasien di IGD sedang sepi dan Dhifa sendirian.
"Kamu kenapa sih?" Tante Vina belagak cemas. Usai bersalaman dengan semua yang hadir, ia mendekati keponakannya dan merabanya. Sepertinya Dhifa sehat wal'afiat.
Semua pandangan tertuju kepada wanita bertubuh mungil itu. Ia tak sadar jika dirinya menjadi pusat perhatian keluarga Hadiwijaya.
Dhifa menjadi orang pertama yang menatapnya penuh kekesalan. Tantenya tak sadar telah menjadi sumber masalah akibat keteledorannya.
Dhifa tak menjawab. Ingin rasanya ia marah kepada tantenya itu. Namun tak kuasa.
"Ditanya kok diam saja." Tante Vina mengalihkan pandangannya ke arah Mama Heni mencoba menemukan jawaban atas pertanyaan yang diajukan.
Mama Heni pun seolah enggan untuk menjawab.
"Ini punya siapa, ada di kamar mandi Dhifa?"Papa Dany menatap adik iparnya. Ia memperlihatkan alat tes kehamilan dengan dua garis yang di pegangnya.
Pandangan Tante Vina langsung beralih ke arah kakak iparnya. Alangkah terkejut dirinya
"Ya Allah, itu punya saya atuh A, eh kenapa itu teh ada di tangan A Dany? Pake dibawa ke sini. Malu-maluin saja. Tadi kan ada di toilet Dhifa." Tante Vina malu. Ia berusaha merebut benda pembawa petaka itu. Ia yakin itu miliknya.
"Neng Vina, kamu hamil lagi?" Oma Ratih menatap menantunya. Ia terkejut dengan kabar baik yang tak disangka-sangka.
"Alhamdulillah." Wanita muda bernama Vina itu mengelus perut ratanya, suaminya juga ikut tersenyum. Kabar itu belum terekspos. Hari ini mereka rencana mau periksa usai membesuk keponakannya.
"Jadi, test pack itu milik kamu." Mama Heni menggelengkan kepalanya.
"Gara-gara Tante aku dituduh hamil dan ini alasan mengapa aku berada di sini." Dhifa cemberut. Menyesali tindakan ceroboh tantenya yang menyimpan alat itu di kamar mandinya sembarangan.
"Hah, kok gara-gara Tante sih?" Tante Vina berlaga bodoh. Ia lupa. Ia pikir sudah membuangnya. Ia memang melakukan test sampai tiga kali. Dua di antaranya dibuang ke tong sampah di toilet.
"Dhifa ke sini gara-gara penemuan benda itu." Mama Heni ikut bersuara. Menegaskan kembali pernyataan putrinya. Dia yang menjadi penemunya.
"Ya Allah, kok bisa. Apa hubungannya?" Tante Vina masih belum paham.
"Dhifa lagi sakit dan mamanya menemukan itu, langsung kami menuduh dia yang bukan-bukan." Papa Dany menjelaskan agar adik iparnya paham.
"Astaghfirullah, Tante minta maaf ya, Sayang." Tante Vina akhirnya mengerti.
"Mami gimana sih. Bisa-bisanya nyoba alat itu di toilet orang lain, mana pemiliknya anak gadis lagi?" Om Diki tak tahu dengan kecerobohan istri mungilnya.
"Maaf atuh Pi. Mami takut lupa. Mana ga sabar banget ingin tahu hasilnya setelah telat seminggu." Tante Vina tak sengaja melakukannya. Wanita itu tersenyum ke arah suaminya. Pria yang lebih tua 13 tahun darinya.
"Gara-gara insiden ini, anak orang jadi korbannya." Oma Ratih geleng-geleng kepala. Mengapa selalu terjadi kekonyolan di keluarganya.
"Maaf, Mi."Papa Dany pun terlihat menyesal karena bertindak gegabah.
"Jangan minta maaf ke Mami, sana temui anaknya Alan. Kasihan sekali anak itu babak belur. Minta maaf sama mereka." Oma Ratih menahan kesalnya, coba kalau Papa Dany masih muda ingin rasanya ia jewer telinganya. Sayangnya itu tidak mungkin dilakukan. Terlebih anaknya itu boleh dibilang public figur. Gawat kalau diketahui oleh wartawan iseng.
"Ayo Pa, kita temui Alwi dulu. Minta maaf sama mereka. Alan sama Vio pasti sedang sedih, mereka juga pasti marah sama Papa." Mama Heni merasa malu. Mereka main tuduh begitu saja. Keduanya lantas bersiap meninggalkan ruangan Dhifa.
Tentu saja Papa Dany pasti melakukannya. Ia benar-benar merasa bersalah sekali.
Sebenarnya Dhifa ingin ikut.
"Eh, Alwi dimana ya?" Papa Dany bingung.
"Masih di IGD. Nih di ruang sebelah." Oma Ratih dan Opa Yusuf sudah menjenguknya. Alwi dilarikan ke rumah sakit yang sama.
"Mami harap ini kelakuan barbar kamu yang terakhir ya, Dan. Ingat sekali lagi kami tuh udah jadi Opa enam cucu." Oma Ratih kembali memberikan peringatan keras.
Dhifa yang mendengar neneknya mengomel masih ingat dengan jelas bagaimana sang papa itu menyerang dokter bernama Rangga beberapa waktu lalu hanya karena masalah sepele. Ia bisa menarik kesimpulan jika Alwi pun pasti mengalami hal yang sama.
"Dany melakukan semua ini demi anak-anak." Ia membela diri. Mengetahui fakta putrinya hamil, ayah mana yang bisa tenang apalagi jika anaknya itu tengah menjalin hubungan dengan seseorang otomatis pikiran buruk tertuju kepadanya.
"Ayo Pa, Dhifa biar sama Oma dulu ya." Mama Heni menarik tangan suaminya, mereka harus menemui Alwi dan keluarganya secepat mungkin. Meminta maaf dan bertanggung jawab akibat kecerobohan yang dibuatnya.
"Apa yang terjadi sama Alwi, Oma?" Dhifa menatap neneknya. Ia penasaran bagaimana Alwi bisa masuk rumah meskipun sang papa telah mengakui perbuatannya.
"Tanya Dhira saja, dia saksi matanya." Oma Ratih mengalihkan pandangannya ke arah kembaran Dhifa yang duduk di samping Nizam, sejak tadi mereka tak bersuara sedikit pun.
Dhifa menatap ke arah saudari kembarnya, meminta penjelasan yang rinci.
"Papa marah besar sama Alwi sampai memukulinya hingga berdarah-darah dan babak belur. Sekarang Alwi ada di rumah sakit ini." Dhira menceritakan kejadian yang dilihatnya tadi. Kondisi Alwi sangat memprihatikan.
"Kok Papa gitu sih?" Dhifa membayangkan betapa menyeramkan aksi papanya.
"Maafin Tante Ya, Dhifa. Coba kalau tadi Tante tidak lupa menaruh test pack sembarangan mungkin kejadiannya tak akan seperti ini." Tante Vina tampak menyesal. Sekali lagi ia minta maaf.
"Aku mau ketemu Alwi dulu." Dhifa bangkit dari pembaringan ia ingin menemui kekasihnya. Ia pasti sakit dan menderita.
"Udah diam di sini, papa dan mama kamu kan sudah ke sana." Oma Ratih menahan cucunya. Dhifa tak boleh kemana-mana. Apalagi selang infus masih melekat di lengan kirinya. Dhifa butuh istirahat yang cukup.
"Iya, Oma benar kamu diam saja. Lagipula sebentar lagi kamu akan dipindahkan ke ruang perawatan." Opa Yusuf memberikan perintah. Dhifa terkadang susah diatur.
"Apa? Aku dirawat? Dhifa mau pulang sekarang. Dhifa ga sakit Oma, ga mau...!!" Dhifa menjerit histeris, menolak dirawat inap. Ia benci selang infus, jarum suntik dan obat-obatan.
"Tunggu Mama sama Papa kamu saja, mereka yang akan memutuskan." Oma Ratih tak berani mengambil keputusan.
"Ga mau!!!"
***
Bersambung