Saat Ali kembali membawa bubur hangat, Theo sudah tertidur. Ia meletakkan bubur itu di nakas. Pandangannya segera terpusat pada sebuah benda kecil yang terletak dalam gelas, bersama dengan pulpen dan pensil.
Alila mengambilnya, itu adalah stik es krim. Alila ingat, ini es krim yang dibelikanya untuk Theo sebagai tanda terima kasih. Dulu saat pertama mereka bertemu.
Alila geli tersenyum - senyum sendiri melihatnya. Kenapa hal sepele ini disimpan? Alila segera mengembalikannya. Kemudian pandangannya teralih pada foto - foto dalam pigura kecil yang ditata rapi.
Foto pertama yang dilihatnya adalah foto mereka. Alila, Theo, Dio, dan Namira saat berada di biang lala. Alila tersenyum mengingat kenangan itu.
Melihat mommy - nya yang asyik, Dio memaksa turun dari gendongan daddy - nya. Ia segera ikut bergabung dengan sang Mommy. Jo pun mengikutinya karena penasaran.
"Itu kalian kencan?" ketus Jo.
"Sembarangan!" Alila kesal. "Kami hanya jalan - jalan dan naik bianglala bersama." Alila mengakhiri kalimatnya dengan tersenyum.
"Nami!" Dio tersenyum melihat foto Namira di sana.
Jo hanya bisa mengelus d**a melihat istri dan juga anaknya yang kompak merasa bahagia mengenang masa itu. Sungguh menyedihkan baginya.
"Lalu ini, keluarga bocah itu?" tanya Jo. Membahas foto selanjutnya. Foto yang sama dengan yang ada di ruang tamu. Hanya saja berukuran lebih kecil.
Alila mengangguk. "Keluarga besar, kan? Tapi mereka sebenarnya bukan sekandung. Tiga laki - laki ini anak bawaan dari ayahnya. Sedangkan Theo dan kakaknya Luna, bawaan dari mamanya. Dan anak kecil ini adalah anak pertama dari pernikahan mereka," jelas Alila.
Jo mengangguk mengerti. "Lalu foto ini?" Jo menunjuk foto selanjutnya lagi. Terdapat gambar dua bocah kecil laki - laki dan perempuan bersama kedua orang tuanya.
Tanpa harus dikonfirmasi pun, Alila bisa menebak. Lagipula garis wajah bocah kecil lelaki di sana, sangatlah dikenalinya. "Mungkin itu keluarga kandung Theo. Saat keluarganya masih utuh dulu."
"Mungkin? Aku kira kamu udah tahu segalanya tentang dia." Jo meledek istrinya.
Alila mendelik kesal. Disambut suara tawa suaminya. Alila Sebenarnya bukan hanya kesal, tapi juga malu karena sudah pernah berkhianat pada laki - laki sebaik Jo.
Suami - suami lain di luar sana, mungkin akan melakukan sesuatu yang buruk padanya Setelah tahu permainan kecilnya dengan Theo. Tapi Jo tetap memperlakukannya dengan baik. Meski rasa cemburu itu terlihat jelas dan bisa Alila rasakan. Rasa cemburu yang menjadi bukti, betapa berharganya seorang Alila di hati seorang Jo.
"Aku memang pernah beberapa kali ke sini. Tapi baru kali ini masuk kamar ini. Jadi aku juga baru pertama kali melihat foto - foto ini." Alila jujur.
Jo tersenyum mendengarnya. Merasa lega karena dugaannya benar. Istrinya memang istri yang baik. Tidak mungkin melakukan sesuatu yang fatal dengan bocah itu. Tapi bagaimana jika mereka melakukannya di tempat lain? Ah, tidak - tidak. Jo segera menghapus pikiran - pikiran itu.
"Lalu ini, foto Theo dengan kakaknya saat sudah dewasa?" tanya Jo tentang foto selanjutnya.
Foto Theo dengan seragam SMP, dengan seorang wanita yang terlihat modis.
"Iya. Kakaknya cantik sekali, kan? Dulu mereka sangat dekat. Sayangnya kakaknya itu udah lama nggak pulang karena kuliah di Inggris."
"Dan ini ..." Jo berpikir memandangi foto terakhir di sana. Ada foto Theo berseragam SMP dan ... seorang lelaki yang sudah cukup berumur. Apa ini ....
Alila menyela pikiran suaminya. "Mungkin itu foto Ayah kandungnya Theo, versi sudah lebih berumur."
Ah ... itu lah pula yang dipikirkan Jo.
"Sayangnya mereka juga jarang ketemu karena papanya bekerja menjadi TKI di luar negeri. Theo sering merasa bersalah pada papanya. Karena dia merasa hidup enak di sini. Sementara sang Papa harus membanting tulang sendirian di negeri orang."
Mendengar jawaban - jawaban dari Alila, Jo bisa mengerti, kehidupan yang dijalani bocah bernama Theo itu tidaklah mudah. Tapi hal itu tentu tidak bisa dijadikan alasan merebut istri orang, bukan?
"Aku udah rawat dia dengan baik. Kamu udah nggak khawatir lagi kan sekarang?" Jo mulai mengalihkan topik.
Alila mengangguk. "Terima kasih."
"Jadi janji ini yang terakhir?"
"Uhm ... izinkan aku meneleponnya nanti malam untuk tanya keadaannya. Setelah itu sudah. Hukum aku seberat mungkin kalau kami masih berhubungan. Itu adalah janji mutlakku sebagai seorang istri."
Jo tertawa mendengar jawaban Alila. Ia kemudian melingkarkan lengannya di pundak Alila. Kemudian mengecup keningnya.
Alila balas memeluknya dengan erat. Bersyukur memiliki suami sebaik Jo.
Jo melirik putranya yang hanya menatap orang tuanya dalam diam. Membuat Jo tertawa geli lagi. Ia pun menarik Dio untuk ikut bergabung, berada di antara kedua orang tuanya untuk berpelukan bersama.
Alila berjanji pada dirinya sendiri bahwa ini memang benar - benar sudah berakhir. Hubungan istimewanya dengan Theo. Ya, semua memang sudah harus diakhiri. Ia tidak mau lagi menyakiti laki - laki sebaik Jo.
Tentang Theo ... tentu saja Alila tak bisa melepaskan ia begitu saja. Bukan melepaskan yang berkonotasi tentang hubungan istimewa di antara keduanya, namun lebih pada kondisi fisik Theo saat ini. Alila dan Jo pasti akan tetap memantau bersama, mengingat Theo tinggal seorang diri, dan bahkan kurang peduli pada kondisinya sendiri.
~~~ I Love You Tante - Sheilanda Khoirunnisa ~~~
Theo mencoba untuk tidur semalaman, meskipun kenyataannya tak berhasil. Ia bergelung dalam selimut putihnya. Berusaha mengabaikan getaran ponselnya di nakas. Theo tahu siapa yang menghubunginya. Orang yang sama. Dengan urusan yang masih sama.
Chico. Orang yang dulu selalu berada di sekitarnya, mengajaknya bicara, dan menganggapnya teman. Justru kini sebaliknya.
Ingin rasanya Theo mematikan ponsel itu. Tapi ia tidak melakukannya. Jujur sebenarnya Theo berpikir cukup keras tentang hal ini. Meskipun ia tak punya teman, namun tak pernah ada yang membencinya sebesar ini. Ia takut akan kebencian Chico padanya. Dan hal itu membuatnya merasa amat terbebani.
Theo memaksakan diri untuk duduk. Ia meraih ponselnya. Semua ini harus segera diselesaikan sebelum terlambat. Ia mengabaikan panggilan yang sedang masuk ke ponselnya dari Chico.
'Lo masih belum dateng juga. Gue dan Yulia nunggu lo di sini sampai jam 12.'
Theo membaca pesan sebelumnya.
'Lo terlambat atau emang nggak dateng?'
'Seharusnya lo udah dateng. Pengecut.'
'Di stadion basket sekolah jam 9.'
Theo akhirnya mengerti ia harus ke mana. Perlahan ia beranjak. Ia membasuh mukanya beberapa kali. Membuatnya terlihat lebih segar meskipun hal itu tak menyamarkan wajah pucatnya. Lingkaran hitam samar di matanya memperjelas bahwa kondisinya saat ini sedang tidak baik.
~~~ I Love You Tante - Sheilanda Khoirunnisa ~~~
-- T B C --