Debat Pertama

1008 Kata
Ketika masuk, perhatian Alila segera tertuju pada Theo. Dia ada di sini tapi tidak membuka pintu. Itu lah yang menjadi pertanyaan besar di kepala Alila dan Jo. Mereka menghampiri Theo yang berbaring miring di sofa panjang, membelakangi mereka. Alila mendekat untuk melihat apakah Theo tidur sehingga tidak mendengar suara bel. Tapi tidak. Matanya terbuka. Jangan lupakan seragam sekolah masih melekat di badan pemuda itu. "Syukur, deh, Nona masih ingat password - nya." Suara Theo terdengar parau. "Hey, kalau ngomong lihat lah lawan bicaramu. Nggak sopan banget." Jo gemas karena Theo belum juga mengubah posisinya. Heran, kenapa istrinya bisa jantuh cinta pada berandal seperti ini. "Kenapa kamu nggak bukain pintu?" Alila kali ini. Theo senang sekaligus bingung dengan kedatangan Alila yang tiba - tiba ini. Ia sama sekali tak menyangka Alila akan datang. Ia begitu senang bisa bertemu sekali lagi. Tak masalah dengan kehadiran sang suami bersamanya. Namun di sisi lain, Theo juga tak ingin Alila melihatnya dalam keadaan terlemahnya. "Maaf karena nggak bukain pintu, Nona." Theo berusaha mengubah posisi berbaringnya. Alila memperhatikan Theo di setiap pergerakannya. "Perutku sakit," lanjut Theo. Alila mulai khawatir, ia bergerak mendekat, berlutut di hadapan Theo. Dilihat dari dekat seperti ini, Theo memang terlihat tidak sehat. Terjawab sudah kenapa perasaan Alila tidak enak sekali. Jo berada di belakang Istrinya. Ia ikut memperhatikan Theo, mengantisipasi bila saja bocah itu mengaku sakit hanya sebagai modus agar Alila simpati. "Apa sakit banget?" tanya Alila. Theo mengangguk sekilas, mengernyit menahan sakit. "Sejak kapan sakitnya muncul?" Alila lanjut bertanya. "Kemarin siang sepulang dari remedial." Theo mengingat dirinya kemarin mengendarai mobil secepat mungkin agar bisa cepat sampai apartemen dan tidur. Sayangnya begitu sampai, ia hanya sanggup berjalan sampai sofa ini. "Kamu pasti makan nggak teratur lagi, kan?" Theo tersenyum mendengarnya perhatian itu lagi. Ia sama sekali tidak terusik dengan kehadiran suami Tante Ali - nya di belakang sana. Meskipun suaminya sedang melotot padanya sekarang. "Ehem ..." Itu Jo. Sebagai suami yang normal wajar jika ia cemburu. Ini bukan situasi yang disukainya tentu saja. "Sayang, Coba gendong Dio dulu. Biar aku periksa keadaannya." Jo rupanya punya jurus handal untuk menjauhkan istrinya dari Theo. Mengandalkan profesinya sebagai dokter. Alila tidak mengelak, ia berdiri, mengambil alih Dio dari gendongan Jo. Jo mulai memeriksa denyut nadi Theo. Dirasakannya suhu badan Theo yang tinggi. Rupanya anak ini tidak bohong, ia memang sakit. "Supaya lebih nyaman, gimana kalau pindah ke kamarmu saja?" tawar Jo. "Iya, Theo. Pindah ke kamar aja, ya. Mau sampai kapan kamu berbaring di sini?" Alila menyetujuinya. "Terserah aja, deh." Theo terdengar pasrah. Ia mengernyit sakit ketika hendak bangun dari posisi berbaringnya. Merasa tidak tega, Jo membantu menyangga tubuh Theo. Bahkan ketika menuju kamarnya, Theo mengandalkan pegangan dan tenaga Jo. Mungkin ia akan langsung jatuh kalau - kalau Jo melepaskan pegangannya. Napas Theo naik turun ketika akhirnya sampai dan berbaring di ranjang. Hanya berjalan dalam jarak dekat, cukup membuatnya keringat dingin. "Biar kuambil stetoskop dan suntikan di mobil." Jo segera berlari. Nalurinya sebagai seorang dokter professional muncul. Tak peduli siapapun pasiennya. Meskipun kenyataannya Theo adalah orang yang paling ingin disingkirkannya saat ini. Yang jelas Theo adalah seorang pasien yang harus ia rawat. ~~~~~ I Love You Tante - Sheilanda Khoirunnisa ~~~~~ Jo berlari secepat mungkin kembali ke apartemen. Ketika masuk, Jo baru sadar bahwa di dalam apartemen ini terpampang foto keluarga yang cukup besar. Ia tadi terlalu sibuk memperhatikan interaksi istrinya dengan Theo, sampai tak sadar ada foto sebesar ini di sini. Foto keluarga Theo tentunya. Sepasang orang tua, empat anak laki - laki, dan dua anak perempuan. Keluarga besar. Itu lah yang terbesit dalam pikiran Jo. Jo segera teringat dengan tujuannya semula. Ia segera melajutkan langkahnya ke kamar Theo. Jo menyuntikkan cairan berwarna cokelat gelap ke lengan Theo. Jo rupanya juga membawa sekantong infus yang kebetulan ada dalam tas kerjanya. Jo memasangkan infus itu. Karena tidak ada tiang, Jo meletakkannya di ujung mahkota ranjang. Lalu ia mulai memeriksa Theo dengan stetoskop. "Kamu sudah makan atau belum?" tanya Jo. Theo menggeleng. Tak mau juga menatap Jo. "Belum makan apa pun sejak kemarin?" tanya Jo lagi. Kali ini Theo mengangguk, membenarkan pertanyaan Jo. Namun masih enggan menatap yang bersangkutan. "Kamu mau bunuh diri? Kamu pasti tahu kan lambung kamu bermasalah, tapi masih berani melewatkan makan?" Jo benar - benar tak habis pikir dengan kelakuan anak kecil satu ini. "Ya gimana mau makan, bangun saja susah," jawab Theo jujur. Kali ini ia menatap Jo. Namun tentunya bukan dengan tatapan yang ramah. Jo akhirnya berhenti mendebat anak kecil itu. "Akan  aku minta istriku membuatkan kamu bubur. Setelah ini kamu akan tertidur. Saat kamu bangun nanti kondisimu akan lebih baik. Lalu makan lah, dan beli lah obat ini agar kondisimu pulih." Jo menyerahkan kertas kecil berisikan daftar nama obat, tentu saja ia tidak membawa obat. Karena ia bukan apotek berjalan. "Ini sepertinya nggak perlu." Theo meremas kertas itu dan melemparnya ke sembarang arah. Sengaja untuk membuat Jo kesal. "Aku punya banyak persediaan obat." Jo berusaha tak menampakkan kekesalannya. "Bagus lah kalau begitu. Kalau kondisi kamu belum pulih langsung ke rumah sakit." "Jangan lebay! Meski pun kamu dokter, tapi aku yang paling tahu kondisi tubuhku sendiri. Setelah istirahat cukup aku akan langsung baikan." Alila terlihat jengah dengan obrolan atau lebih tepatnya perdebatan dua lelaki beda umur itu. Ia memutuskan untuk segera membuat bubur saja. "Sayang, kamu tunggu di sini dengan Daddy dan Kak Theo, ya. Mommy mau bikin bubur," pamit Alila pada putranya. Dio mengangguk setuju. "Kamu punya beras dan garam kan?" tanya Alila. Theo meringis. "Kayaknya, sih, ada." "Kayaknya? Kamu ini! Gimana mau sehat kalau kamu aja nggak yakin ada stok beras atau nggak. Terus kamu makan apa biasanya?" Nada bicara Alila tinggi dan penuh omelan. Tapi lagi - lagi Theo menangkapnya sebagai sebuah perhatian. Jo pun begitu. Makanya ia merasa dongkol luar biasa saat ini. Bagaimana mungkin istrinya secara terang - terangan memperhatikan lelaki lain di hadapannya? Ya ... walaupun lelaki lain itu masih belasan tahun. Tapi tetap saja Theo itu lelaki yang sudah cukup dewasa. Dan sempat hampir merebut istri tercintanya. ~~~ I Love You Tante - Sheilanda Khoirunnisa ~~~ -- T B C --
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN