Seakan tak puas sudah bercanda di sepanjang perjalanan pulang, dua bocah berseragam sekolah dasar itu, masih melanjutkan kegiatan yang sama setelah turun dari mobil jemputan. Mereka terus saling meledek saat berjalan menuju pintu masuk. Saling mencubit dan mendorong lalu tertawa.
Luna sudah kelas 5, sementara Theo masih kelas 1. Luna sudah tidak bisa dipisahkan dengan Theo semenjak adiknya itu lahir. Karena jarak yang cukup jauh, sehingga Luna begitu menyayanginya.
“Mama!” Theo memeluk Mama yang masih sibuk berkutat di depan komputer. Theo sudah mengganti baju seragamnya. Mama lalu mengelus rambutnya pelan.
“Theo makan siang dulu sama Mbak Luna ya. Mama masih ada pekerjaan, Sayang.” Mama mengecup kening putranya itu sekilas.
Theo cemberut mendengar jawaban Mama. Namun panggilan Luna dari dapur membuatnya kembali tersenyum. Ia segera berlari ke sana.
“Jangan lari, nanti jatuh!” omel Luna.
“Cerewet!” Theo naik ke salah satu kursi makan. Menunggu Luna yang sedang mengambilkannya nasi dan lauk.
Luna meletakkan jatah makan siang Theo di hadapannya. Kemudian ia duduk di sebelah Theo. “Sebelum makan kita doa dulu. Berdoa mulai.” Luna memang selalu membimbing adiknya dengan baik. Mereka mulai berdo’a dalam hati dan selanjutnya makan dengan khikmat. Ah … sebenarnya makan dengan selingan bercanda. Atau justru bercanda dengan selingan makan.
“Iya ini lagi aku kerjain.”
Luna menoleh ke arah sumber suara. Sudah beberapa hari ini Mama selalu bicara dengan nada tinggi. Luna tahu siapa lawan bicara Mama di telepon, Papa.
“Sebenarnya Mama dan Papa kenapa sih, Lun?” Theo bertanya.
Luna kini menatap bingung pada Theo. Apakah persoalan orang tua mereka sebegitu kentara, hingga Theo yang masih begitu kecil, ikut mengerti.
“Udah Mbak bilang, Theo harus manggil ‘Mbak Luna’, bukan ‘Lun’!” Luna memutuskan untuk mengalihkan perhatian Theo. Theo hanya senyam-senyum. Sampai kapanpun ia tak akan memanggil Luna ‘Mbak’.
Entah kenapa setiap memanggil Luna ‘Mbak’, Theo selalu geli sendiri. Meski pun ia tahu umur Luna cukup jauh di atasnya.
Hari - hari berikutnya masalah orang tua mereka semakin serius. Bahkan mereka bertengkar secara terang - terangan di rumah. Saling berteriak dan memaki. Beberapa barang di rumah hancur, menjadi korban kemarahan mereka. Ada yang dilempar atau pun dibanting. Jika sudah seperti itu, Luna akan mengajak Theo ke kamarnya. Mereka bergelung bersama di atas ranjang. Dengan pertanyaan Theo yang selalu sama.
"Mama dan Papa kenapa, Lun?”
Dan Luna pun akan menjawab dengan jawaban yang sama. “Mama dan Papa lagi ada masalah.”
“Kalau masalahnya selesai, mereka akan segera baikan?” tanya Theo polos. Ia sendiri tidak paham masalah apa yang di hadapi keluarganya. Ia menganggap itu hanya masalah biasa. Seperti ia bertengkar dengan teman sekelasnya. Yang akan bisa damai keesokan harinya.
Luna hanya mengelus - elus kepala Theo. “Kamu tidur aja. Kita berdua harus bersikap baik. Jangan sampai nambahin masalah Mama dan Papa, agar mereka bisa cepat baikan. Kamu ngerti kan?”
Theo mengangguk. Ia segera memejamkan matanya. Sementara Luna kembali sibuk dengan pikirannya sendiri. Sedikit banyak ia tahu bahwa masalah yang sedang dihadapi kedua orang tuanya saat ini tidak lah kecil. Sepertinya Ayahnya akan segera bangkrut.
Akhir - akhir ini Mama jarang ikut jalan - jalan bersama dengan mereka. Katanya masih sibuk mengurus tentang perusahaan. Theo tadi menangis lama sekali. Mama membentaknya berkali - kali. Tapi Theo tidak menyerah, ia terus merengek. Theo hanya ingin Mama ikut bersama mereka. Dan usaha Theo tidak sia - sia, akhirnya wanita itu luluh juga. Sabtu malam ini cerah sekali.
Pasar malam tahunan ini semarak sekali. Kerlip lampu di sana sini membuat suasana begitu hidup.
Mereka berhenti di sebuah kedai untuk makan martabak telur. Mereka juga membeli permen kapas warna - warni, membeli gelembung sabun. Dan yang paling mengesankan adalah, kembang api. Semua orang berkumpul di dermaga untuk menyaksikan gemerlapnya kembang api yang menyala bergantian di atas sana. Sangat indah.
Saat perjalanan pulang, Papa berhenti di sebuah café. Luna dan Theo sudah hapal untuk apa Papa mampir ke sini. Mereka duduk di sofa biasanya. Menunggu pesanan mereka datang. Dua s**u cokelat panas untuk Luna dan Theo, jus strawberry untuk Mama, sementara sang Papa menikmati Espresso - nya.
“Kenapa Papa suka banget sama kopi itu?” Tanya Luna.
“Kamu akan ngerti saat sudah dewasa nanti. Minum kopi itu dapat menghilangkan stress.”
“Tapi Papa selalu beli yang itu, apa nggak bosen? Mana porsinya dikit banget, tapi harganya super mahal.”
“Karena menurut Papa, ini yang paling enak. Soal porsi, kopi ini memang enaknya hanya diminum dengan porsi 50 ml seperti ini. Kenapa harganya mahal, karena disesuaikan dengan sensasinya, Nak.” Papa menyesap Espresso - nya. Gayanya sudah seperti bintang iklan. Luna dan Theo tertawa geli dibuatnya.
“Luna boleh cobain dikit?”
“Theo juga mau.”
Papa tertawa dengan aksi kedua putra putrinya itu. Ia maklum dengan rasa penasaran mereka, tapi juga khawatir dengan reaksi mereka setelah mencoba nanti.
“Pa, jangan aneh - aneh!” Mama memberi peringatan.
Tapi justru peringatan itu membuat Luna dan Theo semakin penasaran. Akhirnya Papa tetap mengizinkan Luna mencoba sedikit Espresso - nya. Sesuai dugaan, Luna segera meringis sambil melet - melet. “Pahit banget!”
“Theo masih mau coba?” Tanya Papa.
Theo sebenarnya ragu, tapi ia takut diledek Luna karena tidak berani coba. Ia akhirnya mengangguk. Papa membiaran Theo menyeruput kopinya sedikit. Sangat sedikit. Dan reaksi Theo tak jauh berbeda dengan Luna. Theo sampai hampir menangis saking pahitnya.
Tak ada yang menyangka bahwa malam itu adalah terakhir kalinya mereka bisa menikmati waktu bersama seperti itu.
Siang ini keadaan kacau sekali. Saat pulang sekolah, Luna dan Theo mendapati Mama menangis. Papa berdiri pasrah, membiarkan orang - orang pergi membawa semua barang di rumah ini. Luna dan Theo bertanya kenapa, ada apa? Kenapa semua barang - barang dibawa pergi? Namun Mama hanya bisa memeluk mereka.
Perusahaan keluarga mereka bangkrut. Jadi pertengkaran Mama dan Papa akhir - akhir ini adalah karena perusahaan mereka berada diujung tanduk. Hutang mereka menumpuk di sana - sini. Mereka sudah berusaha untuk mempertahankan. Mama bahkan sering tidak tidur karena lembur.
Sehingga jarang memperhatikan anak - anaknya. Papa pun demikian. Urusan di kantor benar - benar memusingkan. Namun ia tak ingin menunjukkan itu semua pada anak - anaknya. Ia sudah berusaha sekuat tenaga, namun perusahaan mereka tetap lengser.
Keluarga ini pindah ke sebuah rumah kos kecil. Beda sekali dengan rumah mereka sebelumnya. Hanya ada satu kamar, membuat mereka terpaksa tidur bersama tiap malamnya. Nama sang kepala keluarga sudah di black list dari bank mana pun, membuatnya sulit mencari pinjaman. Citranya juga sudah buruk di antara perusahaan - perusahaan lain. Rekan - rekannya hanya bisa membantu sekedarnya. Ia pun memutuskan untuk membuka bisnis kecil - kecilan di rumah kos itu.
Mama yang awalnya sangat sulit menerima keadaan baru ini, mulai mau membantu di warung usaha suaminya. Terkadang Papa merasa begitu kasihan dengan sang istri. Ia terbiasa hidup enak sejak dulu.
Membuatnya hidup seperti ini, adalah kesalahan terbesar dalam hidupnya. Luna dan Theo tampak lebih cepat beradaptasi. Mereka bahagia meskipun hidup dalam kesederhanaan.
Theo tertawa geli melihat Papa menuangkan air panas ke dalam gelas berisi kopi hitam. Dulu Papa tak pernah melakukan hal seperti itu. Pegangannya setiap hari hanya ponsel canggih dan komputer.
Meskipun Theo sudah beberapa kali melihat Papa melayani pembeli di sini, ia masih tetap menganggap hal yang dilakukan lelaki itu sangat lucu. Luna yang sedang membantu Mama menyiapkan piring, ikut tertawa melihat kelakuan Theo. Ia mau tak mau harus setuju dengan anggapan Theo. Cara canggung Papa mengangkat teko air panas itu benar - benar tak ada duanya. Sangat menghibur.
“Kalian kenapa selalu ketawa sih lihat Papa bikin kopi?” Protes Papa setelah memberikan kopi pada pelanggan.
“Ya jangan salahin mereka dong, Pa!” Justru Mama yang menjawab. “Soalnya cara Papa bikin kopi itu benar - benar nggak ada duanya.” Mama mengacungkan jempolnya.
Theo dan Luna terbahak lagi. Papa pun hanya bisa pasrah.
“Tapi kenapa Papa hanya jualan kopi hitam? Katanya kopi Espresso yang paling Papa suka. Kenapa nggak jualan itu aja?” Tanya Theo polos.
Lelaki itu kemudian menjelaskan dengan bijaksana. “Membuat Espresso itu nggak gampang, Theo. Ada mesin khususnya.”
“Mesin khusus?” Theo bertanya sungguh - sungguh. Ia baru tahu bahwa kopi kesukaan Papa itu harus dibuat dengan mesin. Theo mulai berimajinasi, membayangkan bagaimana kira - kira bentuk mesin pembuat Espresso itu. “Ya Papa kan bisa beli.”
Sang Papa tersenyum mendengar pernyataan Theo. Ia kemudian mengelus rambut anaknya itu. “Harga mesinnya itu nggak murah, Sayang. Harus punya tabungan dulu, baru bisa beli.”
“Kalau begitu Theo aja yang mesin Espresso - nya. Theo kan punya tabungan di sekolah.” Theo mengatakannya dengan penuh kesungguhan.
Mereka terhenyak mendengar pernyataan Theo.
“Memangnya jumlah uang di tabunganmu berapa?” Tanya Luna.
Theo berpikir keras. Ia lupa berapa jumlah tabungannya saat ini. Yang jelas sudah lumayan banyak karena ia selalu rajin menabung setiap hari.
“Theo baik banget sih mau beliin mesin Espresso buat Papa.” Papa akhirnya sanggup untuk bicara lagi. “Tapi nggak apa - apa. Uangnya disimpen buat kebutuhan Theo nanti. Biar Papa nabung sendiri buat beli mesinnya.”
Theo menggeleng. “Pokoknya Theo yang beliin.”
“Dek, harganya itu mahal banget lho. Uang tabungan kamu nggak bakalan cukup.” Luna memperjelas agar Theo tidak lagi bersikeras dengan keinginan mulianya namun konyol itu.
“Pa, apa bener semahal itu. Jadi uang tabungan Theo nggak cukup?” Theo lagi - lagi bertanya dengan kepolosannya.
Papa hanya tersenyum kecut.
“Ah, saat sudah besar nanti saja deh.” Celetuknya. “Pas udah besar nanti uangku banyak, Lun.” Kali ini ia bicara pada Luna, yang sedari tadi meremehkan niat mulianya ini. Mukanya terlihat kesal.
“Kalau begitu Papa tunggu mesin Espresso - nya ya?” Papa akhirnya menyetujui niat baik putranya.
Tentunya tak sungguh - sungguh. Ia hanya ingin membesarkan hati putranya.
Theo mengangguk antusias. Ia tersenyum bangga sampai matanya hilang tinggal segaris.
“Lalu Theo mau memberikan apa ke Mama?” Mama pura - pura cemburu. Theo terlihat berpikir keras.
Mengira - ngira apa hal yang pantas untuk diberikannya pada sang Mama. Melihat Theo seperti itu Mama merasa gemas. Ia beranjak mendekati putranya itu, berlutut menyamakan tingginya dengan Theo, kemudian memeluknya.
“Mama cuma bercanda, Sayang. Cukup tumbuh dengan baik, dan berikan cinta yang banyak buat Mama dan Papa.” Theo mengangguk dan mengeratkan pelukannya. Luna menyusul memeluk Theo dan Mamanya. Tangan sang istri meraih lengan suaminya, kemudian mereka berpelukan bersama.
~~~ I love you Tante - Sheilanda Khoirunnisa ~~~
-- T B C --