Namun rupanya semua tak berhenti di sana. Suatu hari orang tua Mama Theo datang. Alasan mereka datang, karena mereka merasa tidak rela putrinya hidup miskin seperti sekarang ini. Mama memang berasal dari keluarga yang kaya.
“Lihat lah rumah ini. Kamu mau bikin keluarga malu dengan mempertahankan pernikahan kalian?”
Ya, orang tuanya meminta mereka untuk bercerai. Entah apa yang mereka pikirkan. Menurut mereka, semua akan lebih baik jika putri dan menantu yang tidak direstui itu berpisah saja. Menurut mereka, kedua cucu mereka itu juga akan lebih bahagia.
“Aku nggak mau. Anak - anak nanti gimana?”
“Bawa anak - anakmu. Ayah akan mencarikanmu lelaki yang baik nanti.”
Malam itu berakhir dengan begitu kelamnya. Mama tetap bersikeras tak mau bercerai. Namun entah kenapa sang suami justru ikut membujuknya untuk melakukan perceraian itu. Mereka saling bicara saat malam sudah larut, menunggu Luna dan Theo tidur dulu. Dengan kedua putranya di antara mereka, mereka mulai bicara.
“Benar kata orang tuamu. Kamu akan lebih bahagia nanti.”
“Tapi kita udah sejauh ini bersama. Apa kamu dengan mudahnya minta aku pergi?”
“Aku nggak minta kamu pergi. Aku hanya ingin yang terbaik buat kamu. Karena dengan keadaan ekonomi kita sekarang, mustahil kita akan kembali seperti dulu. Luna dan Theo juga memerlukan kehidupan yang lebih layak. Bawa lah mereka bersamamu.”
Hari berganti bulan. Hingga akhirnya sidang perceraian benar - benar terjadi. Masa - masa sulit itu begitu berat mereka lalui. Luna dan Theo pulang ke rumah kakek nenek mereka bersama Mama. Sedangkan Papa tetap menjalankan usahanya sendirian.
Di sinilah saat - saat terberat dalam hidup Luna dan Theo dimulai. Begitu mereka tinggal di rumah megah ini, mereka jarang sekali bertemu dengan Mama. Mama sibuk bekerja di kantor milik keluarga. Theo mulai berubah menjadi anak yang pemurung dan tempramental. Sering sekali ada surat panggilan dari sekolah, karena Theo menyerang teman sekelasnya. Namun surat panggilan itu tak pernah ada yang mendatangi.
“Surat panggilan lagi?” tanya Luna.
Theo hanya mengangguk. Luna mengambil surat itu dari tangan Theo.
“Biar besok Mbak aja yang dateng.” Ucap Luna mantap.
Theo cukup terkejut dengan langkah sang kakak. Bahkan Luna masih SMP. Tapi ia sudah berani menjadi walinya memenuhi surat panggilan itu.
~~~ I Love You Tante - Sheilanda Khoirunnisa ~~~
Siang itu kantor guru SD tempat Theo sekolah, dikejutkan dengan datangnya seorang siswa SMP. Mereka tahu itu siapa. Mana bisa mereka lupa dengan lulusan terbaik sekolah ini, Luna. Ia datang untuk memenuhi surat panggilan kemarin.
“Tapi kenapa kamu yang datang? Setidaknya bila orang tua nggak ada, bisa wali yang mewakili.”
“Maaf sekali, karena baik orang tua ataupun kakek nenek kami semuanya sibuk. Tidak ada yang punya waktu untuk datang, Bu.” Tersirat penyesalan di wajah Luna.
Bahkan belum ada di antara mereka yang tahu tentang surat - surat panggilan ini. Guru itu menatap Luna dan merasa prihatin. Kenapa gadis remaja itu menyesali sesuatu yang bahkan bukan salahnya?
Guru itu sebenarnya paham dengan keadaan mereka. Alasan kenapa Theo menjadi seperti sekarang ini pun mereka tahu. Karena berita tentang keluarga Luna dan Theo sempat menjadi topik hangat di mana - mana. Namun biar bagaimanapun, tetap diperlukan diskusi dengan orang tua untuk menyelesaikan masalah Theo. Untuk mengembalikan bocah itu seperti dulu lagi.
“Theo semakin menjadi. Kemarin dia memukul teman sebangkunya sampai berdarah.”
“Tapi pasti ada sebabnya bukan? Theo nggak akan seperti itu jika tidak dipancing.”
“Ya … teman - temannya memang senang saling menggoda. Namun bukankah itu wajar untuk anak-anak? Murid - murid yang lain tak ada yang semarah Theo. Apa sedang ada masalah?” Guru itu terlihat ragu melantunkan kalimat terakhirnya. Ia tidak tega, namun juga merasa perlu menanyakannya. Siapa tahu gadis itu akan bercerita, membagi sedikit isi hatinya. Sehingga akan meringankan beban yang dipikulnya.
Bicara tentang masalah, semua orang pasti punya masalah. Namun hal yang berbeda terjadi dalam keluarganya. Luna bahkan tidak ingat lagi bagaimana rasanya hidup tanpa masalah. Sudah terlalu lama masalah - masalah terus datang, membuatnya seakan kebal. Untuk saat ini .... Bahkan sedang tidak ada masalah berarti yang mereka hadapi. Theo hanya merindukan orang tuanya. Merindukan kehidupan keluarganya seperti dulu.
“Saya janji akan jaga Theo lebih baik. Dan juga akan membuatnya bersikap lebih baik pula.” Itulah jawaban Luna akhirnya. Rupanya sang guru tak berhasil membuat Luna membagi kisahnya.
Luna bersungguh - sungguh dengan janjinya. Ia terus mendekati Theo. Memberinya perhatian. Bahkan sebagian besar waktunya ia habiskan untuk Theo. Sisanya ia gunakan untuk belajar. Usahanya tidak sia - sia.
Theo mulai kembali seperti dulu. Namun akibatnya ia menjadi sangat manja pada Luna. Ya, hanya pada Luna. Selebihnya ia tetap pendiam di kelas, bahkan di keluarganya. Tapi setidaknya surat - surat panggilan dari sekolah tak pernah datang lagi.
Malam itu Mama pulang dengan tak biasa. Ia membawa seorang lelaki tinggi besar, dengan 3 orang anak laki - laki. Ketiganya terlihat sebaya dengan Luna. Mereka kemudian makan malam bersama. Theo kini mengerti alasan kenapa dari tadi pagi para maid memasak banyak sekali makanan. Luna terlihat murung semenjak mereka datang. Hal yang tidak dimengerti Theo.
Dua minggu berlalu, sebuah pernikahan megah berlangsung. Pernikahan Mama dan lelai itu. Mereka bahkan berfoto bersama di panggung pelaminan. Dengan Mama dan… Ayah tiri mereka. Juga saudara - saudara tiri mereka. Lelaki itu adalah seorang duda. Istrinya meninggal 2 tahun yang lalu karena kecelakaan.
“Sekarang kita punya Ayah baru. Kita harus menghormatinya. Dan kita juga harus menyayangi saudara - saudara baru kita.”
“Lalu bagaimana dengan Papa?”
“Papa tetap Ayah kandung kita selamanya. Tapi Mama sudah menikah lagi dan memiliki keluarga baru.” Luna tersenyum mengakhiri kalimatnya. Ia kemudian tertawa melihat wajah Theo yang masih menyiratkan kebingungan. “Seiring berjalannya waktu Theo akan mengerti nanti.”
Theo hanya mengangguk mengiyakan. Ia tak masalah sebenarnya. Apa lagi 3 kakak barunya itu baik semua. Ayah barunya juga baik. Hanya saja, ia begitu merindukan Papa.
Dengan cepat mereka pindah ke rumah baru. Rumah yang begitu megah dan indah.
Theo dan Luna sangat senang karena akhirnya mereka mendapat kesempatan untuk bertemu sang Papa. Sudah lama sekali semenjak mereka terakhir bertemu. Mereka diantar oleh seorang supir. Mereka membicarakan rencana - rencana yang akan mereka lakukan dengan Papa di sepanjang perjalanan.
Namun begitu sampai di rumah kos, sebuah perubahan besar telah terjadi. Theo tak menemukan lagi warung milik Papa. Mereka cukup lama menunggu di depan pintu. Karena rupanya Papa sedang tak ada di rumah. Dua bocah itu duduk di sebuah undakan kecil di sana. Hingga mereka melihat sepasang kaki berjalan mendekati mereka. Itu Papa.
“Papa!”
Mereka berhambur memeluk lelaki itu. Seketika ekspresi murung di wajah Papa berkurang. Terobati oleh kehadiran putra - putrinya. Mereka berakhir makan mie instan dan minum s**u hangat di dalam. Mereka banyak bercerita tentang apa pun yang mereka lalui selama tak bertemu.
“Tapi kenapa warungnya tutup?” Tanya Theo.
Papa diam cukup lama. Ia kemudian tersenyum. “Papa sudah kehabisan modal. Mungkin nanti kalau Papa sudah dapat uang, buka lagi.”
Theo mengangguk mengerti.
“Lalu sekarang Papa gimana? Darimana Papa dapat uang untuk makan sehari - hari?” Luna kali ini.
“Jangan khawatir. Papa kerja serabutan dan tetap dapat pemasukan setiap hari. Dan juga masih bisa menabung.” Lelaki itu tersenyum.
“Syukur lah kalo gitu.”
Papa melahap Mie dalam cup - nya dengan cepat. Kemudian meletakkannya di meja dengan agak keras. Luna memerhatikannya, mengerti bahwa ada sesuatu yang membebani pikiran Papa. Theo pun sepertinya mengerti hal itu.
“Mungkin setelah ini kita nggak bisa sering bertemu lagi.”
Tak ada jawaban, mereka hanya saling menatap. “Papa sudah mendaftar untuk pergi ke Singapura. Ada proyek yang membutuhkan banyak tenaga kerja. Gajinya lumayan besar. Papa akan pergi, dan bisa mengirim nafkah untuk kalian setiap bulan.”
Bagai mendapat sambaran petir di siang hari. Hal itu begitu mengejutkan. Dan terlalu mendadak. Namun lagi - lagi keadaan memaksa mereka harus seperti ini. Lelaki itu menghapus air matanya dengan kasar. Lalu mengusap kedua punggung putra - putrinya yang saat ini berada dalam pelukannya.
Tujuannya pergi ke sana sebenarnya bukan semata - mata untuk mencari uang. Jika hanya untuk itu, di sini pun banyak pekerjaan meskipun gajinya kecil. Namun selama ini pikirannya selalu dipenuhi oleh bayang - bayang keluarga bahagianya di masa lalu. Setelah kebangkrutan yang ia alami, semua berubah begitu banyak. Perceraian, berpisah dengan istrinya, dan anak - anaknya. Ia seperti kehilangan segalanya dalam sekejap.
Ia hanya ingin mencari suasana baru untuk menghilangkan rasa stress - nya. Meninggalkan dua buah hatinya tentu bukan perkara mudah. Namun ia yakin mereka akan lebih baik di sini dengan Mama dan keluarga barunya.
~~~ I Love You Tante - Sheilanda Khoirunnisa ~~~
-- T B C --