Dio cekikikan sendiri melihat ayahnya yang sudah akan beraksi. Setiap kali ayahnya akan beraksi, akan sangat epik. Dan Theo tidak akan berani bermalas - malasan lagi.
Jo langsung masuk ke kamar yang biasanya kosong itu. Ya kosong. Tentu saja kosong karena Theo tinggal di dorm.
"Astaghfirullah ... ngapain anak Daddy klesotan di lantai begitu?" Jo terheran - heran melihat anaknya tertidur di lantai. "Mana ngorok ... ngiler pula. Astagfirullah."
Jo langsung melangkah maju, ia berlutut di sebelah Theo. "Theo ... Theo ... ayo bangun, Nak. Udah pagi ini. Ayo cepat bangun, nanti kamu terlambat. Ayo, bangun, sholat subuh dulu. Nanti dosa nggak sholat subuh. Dibakar sama malaikat di neraka, gosong kamu. Jadi nggak ganteng lagi. Ayo buruan."
Seperti sebelum - sebelumnya, Theo hanya melenguh kecil, sambil mengganti haluan tidurnya.
"Astaghfirullah ... fix ini bukan anak Daddy. Pengaruh kamar ini udah lama kosong, jadi dihuni jin ifrit, dan jin ifrit - nya sekarang lagi nempel di badan anaknya Daddy. Jadi susah bangun, nggak mau sholat subuh. Oke ... oke .... Perlu dirukyah dulu ini."
Jo kembali menyingsingkan lengan bajunya yang tadinya sudah kembali turun. Dio yang masih menyaksikan hal itu hanya tertawa melihat semuanya dari kejauhan.
"Dio ... kamu jangan ketawa ngakak di situ aja. Sini, bantuin Daddy rukyah adek kamu. Keburu jin ifrit - nya betah. Ayo cepet!"
Tampang serius Jo ketika bicara kepadanya semakin membuat Dio tertawa. Namun ia tahan sebisanya. Takut disangka kesurupan jin ifrit juga. Nanti ia jadi dirukyah juga.
"Iya, Daddy ... oke siap ...."
Dio pun melipir cepat menuju kamar adiknya. Ia berjongkok di sebelah sang Daddy. "Apa yang perlu Dio bantu, Dad?" Dio pun turut memasang tampang serius kini.
"Kamu pegangin kaki adek kamu. Kalau dia ginjal - ginjal pas Daddy bacain ayat kursi, kamu tahan sebisanya. Siap?"
"Oke, Dad, siaaaap." Dio langsung melakukan apa yang diperintahkan oleh Jo.
Jo kini kembali fokus pada putra bungsunya. Ia memegangi ubun - ubun kepala Theo, dan mulai membaca ayat kursi. "Audzubillahi minasyaiton nirrojim. Bismillahirrahmanirrahim nirrahim."
Nyatanya hal itu berhasil membuat Theo bangun. Sebenarnya bukan karena bacaan ayat kursi sang Daddy. Tapi lebih pada terganggu akan pergerakan absurd tangan sang Daddy yang memijat - mijat ubun - ubunnya sambil sesekali tak sengaja menarik rambutnya.
"Astaga ... ini ada apa, sih, sebenarnya? Kenapa Daddy sama Mas Dio di sini? Kenapa pula aku jadi tidur di bawah kayak gini, hah?"
Tentu saja Theo kebingungan dengan apa yang terjadi. Padahal ini semua terjadi karena dirinya sendiri yang tidur seperti kebo. Ia sendiri juga yang tadi menggelinding sampai jatuh ke lantai.
"Alhamdulillah ... jin ifrit - nya udah pergi dari tubuhnya anak hamba, Ya Allah ...." Jo nampak bahagia luar biasa. Ia bahkan langsung memeluk Theo, tapi langsung melepaskan pelukannya lagi sambil melet - melet. "Hoek ... bau iler ...."
Dio lagi - lagi hanya bisa tertawa seperti orang kesetanan. Theo mulai memperhatikan sekitar. Nyawanya mulai terkumpul dan lengkap.
Ia baru ingat, sejak dulu kalau ia sulit dibangunkan, sang Daddy selalu melakukan rukyah seolah - oleh ia sedang ketempelan makhluk halus.
"Astaga ... Daddy ...."
"Astaga ... astaga aja kamu tuh. Dari tadi dibangunin susah kayak orang mati. Nggak lihat kamu tuh ini udah jam berapa. Udah jam lima lebih tuh!"
Jo menunjuk jam dinding super besar di atas pintu. Theo pun langsung menatap ke sana. Seketika ia langsung melotot.
"Ya Allah ... udah jam segini ... kok nggak ada yang bangunin aku dari tadi?" Theo langsung histeris dan kebingungan.
"Lhah ... nggak dibangunin gimana?" Dio langsung bereaksi karena tak terima. "Tadi Mommy bangunin kamu sampai frustrasi. Terus gantian aku sampai hampir ketinggalan jamaah. Alhamdulillah akhirnya tetep Daddy yang berhasil bangunin kamu."
"Makanya kalau mau tidur itu berdoa dulu, Dek!" Sang Daddy kali ini. "Biar nggak ditempelin jin ifrit!"
Theo kini gantian yang frustasi. Ia langsung melompat berdiri dan lari menuju ke kamar mandi.
"Eh, adek ... sholat subuh dulu jangan lupa. Awas kalau sampai nggak sholat!" Jo mengancam anaknya sendiri.
Theo tak menjawab langsung masuk ke kamar mandi begitu saja.
Alila muncul dari balik pintu masuk. "Sayang, ayo buruan. Kamu katanya jam setengah 6 harus udah sampai rumah sakit. Udah jam lima lebih dua puluh tuh sekarang. Bekal udah siap, tinggal bawa aja."
Peringatan dari Alila itu seketika membuat Jo melotot. Astaga ... setelah mengancam anaknya dalam urusan telat - menelat. Kini justru dirinya sendiri yang terancam terlambat.
Jo pun langsung berlari keluar dari kamar ini, akan segera ganti baju, dan berangkat secepat kilat.
Meninggalkan Dio dan Alila yang tertawa geli. Sudah jelas kan sekarang. Kebiasaan terlambat Theo diturunkan dari Jo 100 %.
~~~ I Love You Tante - Sheilanda Khoirunnisa ~~~
Mereka bertiga sedang sarapan di meja makan keluarga. Sarapan pagi ini sedikit lebih awal karena menyesuaikan dengan jadwal Theo. Sementara Jo sudah tidak ada. Sudah berangkat sejak tadi. Itu pun sudah terlambat.
"Hayo ... dihabiskan makannya. Jangan asa sisa. Sayurnya dimakan adek!" Alila tak henti - hentinya memperingati Theo. Karena sejak tadi Theo beberapa kali akan kabur. Menggunakan alasan terlambat untuk tidak makan sayur.
"Aduh Mom ... aku udah telat ini." Theo merengek.
"Iya Mommy udah tahu. Toh itu salah kamu sendiri. Siapa suruh susah dibangunin? Mommy nggak mau tahu. Harus tetap habis. Ayo cepat. Semakin kamu menunda waktu, semakin lama juga kamu nanti telatnya."
Kalau sang Mommy sudah mengancam seperti ini, Theo tidak bisa mengelak lagi.
Dio lagi - lagi hanya cekikikan. Entah kenapa ia merasa senang dan puas melihat adiknya kena omel secara beruntun.
"Udah, Dek. Nurut aja. Biar makin sehat." Dio sedikit memberi ucapan semangat hanya sebagai formalitas.
Theo terpaksa lanjut makan menghabiskan sayurnya. Meski rasanya ia mau muntah, saking tidak enak rasa sayur itu. Karena sayur benar - benar bukan gayanya.
Selesai makan, dua pemuda tampan itu segera berpamitan pada sang Mommy. Theo menyerobot tangan Alila duluan karena ia benar - benar harus buru - buru berangkat.
"Aku berangkat dulu ya, Mom. Doain sukses." Theo mencium punggung tangan Alila.
"Iya sayang, hati - hati di jalan. Nyetir mobil jangan ngebut. Semangat!"
Setelah mendapat wejangan dan cipika - cipiki dari Alila, Theo langsung melesat lari sambil meneriakkan salam.
Giliran Dio yang salim dengan sang Mommy. "Aku berangkat dulu ya, Mi. Doain aku cepat lulus, biar bisa cepet kerja."
"Aamiin. Semangat ya, Nak. Ini kamu mau jemput Namira dulu apa langsung ke kampus?"
"Jemput dulu, Mi. Dia lagi pengin dimanja."
Alila tersenyum maklum. Namira saat ini sudah co as di rumah sakit tempat Ifan praktik. Sampai besar ou. gadis itu tetap moody. Kadang ia ingin mandiri. Tapi kadang justru lebih manja dibanding seorang ABG.
"Ya udah, nanti tolong sampaiin salam Mommy, ya."
"Iya oke siap."
Dio pun ikut berangkat setelah itu. Tinggal lah Alila sendiri di rumah. Ia akan membereskan meja makan dulu. Sebelum nanti akan olah raga sedikit supaya tetap bugar.
~~~ I Love You Tante - Sheilanda Khoirunnisa ~~~
-- T B C --