Putra Bungsu

1061 Kata
Theo memang sengaja tidak pulang ke dorm semalam. Ia pulang ke rumah orang tuanya. Ia rindu pada keluarganya. Pada sang Mommy, sang Daddy, dan sang Kakak. Tentu saja sejak debut menjadi seorang idola, Theo tidak pernah lagi menari di Extraordinary Espresso. Tapi ia lega. Karena menurut cerita Dio, Extraordinary Espresso justru makin ramai sekarang. Katanya orang - orang penasaran ingin tahu letak cafe tempat Theo anggota Hexagon sering menari dulu. Tentu saja Theo bangga. Ia senang karena bisa membantu Kakek Irsyad. Begitu ia memanggil ayah dari Theo senior itu. Subuh ini ia sudah harus berada di gedung RN Entertainment. Seperti yang kita ketahui, hari ini Hexagon akan menggelar konser pertama. Ia harus latihan di gedung perusahaan, sebelum akhirnya menggelar gladi resik nanti sore. "Theo ... ayo bangun, Nak .... Udah subuh ini. Sholat dulu, terus berangkat, Nak. Nanti kamu telat lho." Alila terus berusaha membangunkan putra bungsunya. Dasarnya Theo memang sulit dibangunkan. Terlebih anak nya itu sedang kelelahan. Sejak debut Theo memang jarang istirahat. Belakangan ini sibuk mempersiapkan konser pula. Dan semalam ia pulang sangat larut. Theo tidak bergerak sama sekali meski Alila sudah bicara di dekat telinga sang putra. Dan sudah menggoyang - goyangkan tubuh Theo dengan cukup kuat. "Theo ... Nak ... Sayang .... Ayo bangun dong. Nanti kamu terlambat. Astaga ... terus di dorm yang tugas bangunin kamu setiap hari siapa, Nak? Kasihan banget pasti. Tristan pasti sering diomelin tiap kali kamu telat bangun." Alila sampai menyebut - nyebut nama Leader grup Hexagon. Anggota tertua yang dipilih langsung oleh Ray untuk menjadi pemimpin.l Ketika sudah terus mencoba, namun urung jua berhasil, sementara masih banyak tugas rumah tangga yang harus ia selesaikan, Alila pun akhirnya pergi. Begitu keluar dari kamar Theo, ia melihat Dio yang sudah rapi dengan baju koko, sarung, dan peci. Akan berangkat ke Masjid depan untuk sholat subuh berjamaah. "Dio ... Dio ... Mommy minta tolong .... Tolong bangunin adik kamu itu. Astaga ... dari tadi dibangunin nggak bangun - bangun." Alila bicara dengan tampang frustrasi. "Aduh, Mom. Itu Masjid udah mau iqomah. Nanti aku ketinggalan. Subuh cuman dua rokaat lho. Jangan - jangan nanti aku sampai Masjid, sholatnya udah selesai. Tengsin ntar aku tuh." Dio yang suda hafal dengan kebiasaan susah bangun sang adik, langsung menolak secara halus. "Tolong lah, Sayang. Mommy masih mau masak. Buat Daddy bawa bekal ke rumah sakit." "Lho ... emangnya Mommy nggak sholat?" "Nggak, Sayang. Mommy lagi haid. Hari ini Daddy berangkat lebih pagi. Makanya Mommy harus buru - buru." Kini gantian tampang Dio yang frustrasi. "Aduh ... pusing ... pusing .... Ya udah deh. Sini biar aku yang bangunin Adek." Dio langsung menyingsingkan lengan baju kokonya, siap tempur. Alila tersenyum senang, bangga sekali pada anak sulungnya itu. "Nah gitu dong, Sayang. Dia kalau sama kamu, kan, takut. Pasti cepet bangun ntar. Masih keburu lah jamaah - nya. Sekarang juga masih pujian itu." "Oke - oke, Mom." "Makasih ya, Sayang." Alila melambaikan tangannya sembari berjalan cepat menuju arah dapur. Dio juga berjalan cepat ke lain arah. Lebih tepatnya menuju ke kamar Theo. Dibukanya pintu kamar kayu itu. Dio langsung menghela napas berat begitu melihat adiknya masih tidur dengan begitu nyenyak. "Astaga, Dek .... Adek ...." Dio menggoyang - goyangkan tubuh adik yang lebih tinggi darinya itu. "Hey ... ayo bangun ... sholat subuh dulu. Habis itu berangkat. Buruan ... katanya kamu mau persiapan konser Pagi ini. Ayo Dek ... buruan ... ntar telat!" Dio membangunkan adiknya itu dengan cukup membabi buta. Theo hanya melenguh kecil. "Hmh ... apaan sih, Mas? Masih malem ini ... jangan ganggu aku tidur." "Malem gundulmu itu. Udah subuh ini. Ayo buruan bangun. Sholat terus siap - siap sana." Bukannya bangun, Theo justru berbalik, lalu lanjut tidur, terbukti dengan suara ngoroknya yang cukup keras. "Astaghfirullah ... malah tidur lagi. Dek ... hey ... ayo buruan kamu!' Dio semakin brutal saja menggoyang - goyangkan tubuh adiknya itu. Lalu terdengar suara iqomah dari speaker Masjid Baiturrahman di depan sana. "Lah ... udah iqomah lagi. Waduh ... keburu telat aku ntar. Dek ... udah iqomah tuh." Dio menggoyang badan Theo sekali lagi. Dan masih belum ada perkembangan yang. berarti. "Alah ... Mbuh wes karepmu." Bahasa Jawa Dio pun akhirnya keluar. Yang berarti 'alah ... ya udah lah terserah kamu aja'. Yang artinya ... Dio pun sudah menyerah membangunkan adiknya. Memutuskan untuk langsung berlari cepat menuju pintu depan. "Mom ... aku berangkat ... udah iqomah tuh." Dio sedikit berteriak berpamitan dengan ibunya. "Lho ... Adek udah bangun, Kak?" Alila terdengar panik dari arah dapur. Mana ia masih menggoreng tempe. Todak bisa ditinggal karena cepat gosong. Alih - alih menjawab, Dio justru berlari makin kencang. Begitu sampai pintu keluar ia baru mengucap salam, "Assalamualaikum." Dio sengaja supaya Alila tidak menahan kepergiannya. Alila di dapur hanya bisa menghela napas, berharap Tuhan mengirim kesabaran lebih pada hatinya. Alila meneruskan dulu menggoreng tempenya, sebelum akhirnya mematikan kompor, dan kembali ke kamar putra bungsunya. Dio lupa tidak menutup pintu depan saking buru - burunya. Juga lupa tidak menutup pintu kamar Theo. Begitu Alila sampai di kamar putranya itu, ia terkejut sekali melihat putranya tidur di lantai. Entah karena menggelinding sendiri atau karena ditendang kakaknya tadi. "Adek ... astaga ... udah pagi ini lho, Dek .... ayo bangun dong. Kamu kok tambah lama tambah kebo ... astaga ...." Alila jadi makin frustrasi. Khawatir nanti anaknya akan ditegur karena terlambat. Dan lagi - lagi Theo hanya melenguh kecil, dengan mata yang masih tertutup rapat. "Ya Allah ... aduh ... gimana ini?" Alila pun kebingungan. Ia menatap ke arah jam dinding. Sudah hampir jam 5 pagi. Sebentar lagi suaminya akan pulang dari Masjid, dan langsung berangkat ke rumah sakit nanti. Sementara Theo masih dengan nyamannya mengorok. Alila pun terpaksa berlari kembali ke dapur. Meneruskan acara masaknya supaya sang suami tetap bisa membawa bekal makanan yang sehat dan bersih dari rumah. Tak lama kemudian terdengar dua suara salam. Tentu saja itu adalah suara suami dan putra sulungnya yang sudah pulang dari sholat jamaah di Masjid. "Assalamualaikum." "Waalaikum salam." Alila menjawab dengan berteriak dari arah dapur. "Sayang ... tolong bangunin di Theo, Yang. Dia belum bangun ... belum sholat ... ada jadwal latihan buat konser nanti malem. Tolong ...." Mendengar teriakan frustrasi istri tercintanya, Jo pun langsung sigap. Dio hanya cekikikan di samping sang ayah. Jo langsung menyingsingkan lengan, lalu berjalan cepat menuju kamar putra bungsunya. ~~~ I Love You Tante - Sheilanda Khoirunnisa ~~~ -- T B C --
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN