Pagi itu di kantornya, Ian tengah bekerja. Hingga tiba-tiba ia mendengar pintu ruangannya diketuk. Ia mencopot kacamatanya lalu berkata, "Masuk!"
Egi tersenyum ketika melangkah masuk ke ruangan Ian. Sebuah bola basket berada di tangannya dan itu membuat Ian langsung nyengir. "Saya sudah mencari ke sana kemari bola ini dan akhirnya ketemu, Tuan."
"Syukurlah. Berikan padaku!" Ian mengulurkan tangannya dan Egi memberikan bola tersebut. Ian memeriksa bola berwarna oranye kecokelatan itu. Ia tersenyum ketika benar mendapati tanda tangan di salah satu bagiannya. Ini memang milik King.
"Aku nggak punya jadwal siang nanti, 'kan?" tanya Ian pada Egi.
"Sebenarnya, Anda mendapatkan undangan di salah satu pameran, Tuan. Pukul 15.00 sore," jawab Egi.
"Kamu datang gantiin aku. Aku harus mengantarkan bola ini pada King." Ian menyimpan bola King di dekat kursinya sementara Egi hanya bisa membuang napas panjang. "Cuma pameran, katakan aja sama mereka kalau aku mendadak ada urusan yang lebih penting. Dan ... menemui King emang jauh lebih penting."
"Sebenarnya ... siapa yang lebih penting, Tuan? King atau nona Wina?" tanya Egi dengan nada penasaran.
Ian mencengkeram pulpen di tangannya. Yah, ia juga ingin bertemu dengan Wina. Sangat! Namun, ia tak mengatakan itu pada Egi. "Tentu aja King. Dia putraku."
"Saya penasaran, bagaimana Anda dulu bisa tidur dengan nona Wina hingga dia hamil dan Anda tidak pernah tahu," kata Egi.
Ian menggigit bibirnya. Ia tak melupakan malam itu. Ia sangat kesal dengan orang tuanya. Ia didesak untuk menikah, ia harus menikah demi kepentingan yayasan. Padahal, ia merasa itu terlalu terburu-buru karena ia belum lama mengenal Resta. Dan malam itu, ia pergi ke bar. Ia minum-minum hingga ia hampir mabuk.
Ketika ia pulang, ia justru menemukan Wina yang teler. Dan Wina terlihat sangat cantik—selalu cantik—hingga ia kalap. Ia tahu, itu adalah kesalahannya. Ia yang membujuk Wina dan ternyata Wina tak menolaknya.
"Kamu nggak perlu tahu. Kamu bisa pergi. Aku harus menyelesaikan pekerjaan," ujar Ian.
Egi tak bertanya lagi meskipun ia masih penasaran. Lalu pria itu pun meninggalkan ruangan Ian. Sementara itu, Ian langsung meletakkan pulpennya. Ia mengetik sesuatu di layar laptopnya dan menekan tombol cetak.
Ian berdiri untuk mengambil hasil cetakan berkas itu. Ia tersenyum melihat formulir pendaftaran sekolah. Ia akan membuat King masuk ke sekolah ini dan ia akan memiliki banyak waktu untuk bersama dengan King. Mungkin juga dengan Wina.
***
Siang itu di kamarnya, King mulai merasa bosan. Ia hanya boleh turun ke kamar mandi untuk buang air. Ia diperbolehkan makan, tetapi ia tidak begitu berselera. Ia sangat sangat bosan karena ia bukan anak yang betah terdiam di satu tempat seperti ini. Ia ingin melihat-lihat apa yang ada di luar ruangan, ia juga ingin pulang. Namun, lebih dari apa pun, King ingin sekali melihat kedatangan Ian.
"Kamu mau baca buku cerita?" tanya Wina seraya membuka tasnya. Ia pulang sebentar tadi malam untuk mengambil mainan dan juga buku-buku King.
King mengambil salah satu buku lalu mulai membolak-balikkan halamannya. Ia tetap merasa bosan, tetapi karena ibunya terus berusaha menghibur, ia tak ingin mengecewakan.
"Kamu bisa pulang besok atau lusa, jadi tolong kamu bersabar," kata Wina yang menyadari putranya sudah sangat jenuh di rumah sakit.
"Aku mau pulang, Ma. Aku nggak suka di sini. Aku mau jalan-jalan, aku mau main," kata King cemberut.
"Kepala kamu masih sakit, mana mungkin kamu bisa jalan-jalan dan bermain?" Wina sangat frustrasi. Ia lalu mengeluarkan ponselnya. "Kamu bisa bermain sebentar. Mungkin, kamu nggak akan bosan lagi."
Senyum King terbit. Ia sangat senang karena ibunya mau meminjamkan ponsel. Ia langsung mencari salah satu permainan yang ada di sana. Wina memang protektif dan berkata bahwa King tak akan ia berikan ponsel hingga sedikit lebih besar. Dan King yang melihat anak-anak kecil di sekitar rumah mereka memiliki ponsel sendiri sangat iri.
"Mama harusnya beliin aku ponsel sendiri," ujar anak itu seraya terus menekan tombol di layar ponsel.
"Kamu masih terlalu kecil. Kamu boleh pinjam punya Mama sesekali," kata Wina meyakinkan.
Wina menggeleng pelan ketika King tak lagi merespons dan hanya fokus pada ponselnya. Tidak masalah, King sedang sakit dan King hanya butuh hiburan supaya tidak bosan, pikir Wina dalam hati.
Tak lama, Wina mendengar ketukan di pintu kamar. Ia berdiri untuk melihat, tetapi pintu itu langsung terbuka dan Ian pun melangkah masuk. Wina terkesiap karena Ian datang dengan sebuah bola basket di tangannya.
"Om Ian!" seru King. Ia meletakkan ponsel Wina begitu saja karena telah melihat sosok yang jauh lebih menarik perhatiannya.
"Ehm, Om bawain kamu bolanya," ujar Ian seraya menggoyangkan bola yang ada di telapak tangan kanannya.
King tertawa senang sementara rahang bawah Wina seolah mau jatuh. "Itu beneran bola aku?"
"Tentu aja." Ian mendekati King, tetapi kedua matanya terus melirik Wina yang baru saja mengatupkannya bibirnya. Wina terlihat menegang, panik sekaligus gugup. Bahkan, wajah cantiknya langsung memucat. Ian juga bisa melihat sorot kemarahan di mata besar Wina.
"Ada tanda tangan Robert Miller di sini," kata Ian seraya meletakkan bola King di pangkuan si empunya.
King tertawa lebih keras. Ia mengusap bolanya lalu memeluk benda bulat itu erat. "Terima kasih. Aku percaya Om bisa bawain bola aku kembali."
"Tentu aja. Bola itu nggak jauh dari lokasi tabrakan kemarin. Ada yang ngambil, tapi untung aja dia mau balikin bola kamu," kata Ian menerangkan. Hati Ian begitu berbunga-bunga melihat raut bahagia King. Senyum King seolah membuat Ian merasa dia kali lebih hidup. Anak ini tak boleh ia sia-siakan. Ia akan membawa anak ini ke kehidupannya, ia berjanji dalam hati.
"Ini bola kesayangan aku, Om," ujar King. Ia tersenyum semakin lebar ketika Ian mengulurkan tangan ke keningnya yang diperban melingkar.
Wina membelalak ketika Ian membelai pelan kepala King. Gerakan itu sangat luwes dan hati-hati. Ian tampaknya melakukan itu dengan tulus dan tak ingin membuat King kesakitan karena kepalanya yang terluka.
"Kamu udah nggak pusing? Apa kepala kamu masih sakit?" tanya Ian. Ia mengabaikan tatapan menusuk Wina. Ia tak akan kalah dari Wina yang menyangkal bahwa King adalah anak mereka.
"Aku udah sembuh dan aku udah pengen pulang. Apa Om bisa minta dokter biar mengizinkan aku pulang?" tanya King pada Ian.
"King!" tegur Wina tak tahan lagi. Ia menyingkirkan tangan Ian dari kepala King. "Pak Ian nggak perlu ke sini lagi. Bukannya kemarin, aku udah bilang?"
Ian berdehem pelan. "Aku udah janji sama King. Aku akan datang dengan bolanya dan kamu lihat sendiri. Aku menepati janji aku. Aku harus memantau kondisi King!"
"Itu nggak perlu. Kita nggak punya urusan. King baik-baik aja dan kecelakaan itu ... aku nggak akan menuntut sopir Pak Ian. Jadi, Pak Ian jangan datang lagi!" gertak Wina. Ia menoleh pada King yang terlihat kecewa, tetapi lebih baik kecewa sekarang dibandingkan nantinya King akan jauh lebih terluka, pikir Wina. "Aku berterima kasih atas bolanya, tapi sekarang aku mohon Pak Ian pulang aja."
Wina lalu menatap King lagi. "Dan kamu, jangan minta hal-hal aneh sama pak Ian. Kamu punya Mama. Dan Mama bilang ... kamu harus tinggal di rumah sakit sampai besok atau lusa. Kamu harus sembuh dulu!"
King mengusap-usap bola di pangkuannya dan tersenyum. "Tapi, aku masih mau ngobrol sama om Ian. Apa itu juga nggak boleh? Bentar aja."
Wina membuang napas panjang. Ia menyugar rambut panjangnya dengan gusar. "Oke. Bentar aja. Mama mau beli minuman dingin di kantin bawah dan sebelum Mama ke sini, sebaiknya kalian udah selesai bicara."
Ian melemparkan senyuman tipis yang tak dibalas oleh Wina. Wanita itu dengan cepat meninggalkan ruangan. Penuh amarah dan kebencian. Ian bisa merasakan itu. Dan ia begitu bersalah pada Wina.
"Mama emang suka ngomel-ngomel," kata King.
Ian terkikik. "Mama kamu sangat peduli dengan kamu dan menjaga kamu." Ia duduk di kursi kecil lalu mengambil tangan King dengan hati-hati. "Lebih baik kamu menuruti apa yang mama kamu katakan. Kamu harus tinggal di rumah sakit lebih lama."
"Aku beneran bosan sampai tadi Om datang," ungkap King.
Ian mengangguk pelan. "Kamu senang kita bisa ketemu lagi?"
King mengangguk. Ia sudah menunggu Ian sejak pagi tadi, tetapi ia tak mengatakan itu pada Ian karena ia merasa ia masih perlu memastikan Ian memang orang yang baik. Ia juga perlu mempertimbangkan kecemasan ibunya.
"Apa Om beneran bawa formulir pendaftaran sekolah?" tanya King.
"Ya!" Ian melepaskan tangan King. Ia lalu membuka tasnya. "Ini contoh formulir yang harus diisi. Tapi, ini perlu tanda tangan atau cap jempol mama kamu."
King membaca formulir itu baik-baik. SD Permata Hati. Ibunya berkata ia akan masuk SD Citra Bangsa dan ibunya juga sudah menyiapkan berkas-berkas untuk mendaftar di sana. Ia harus bergerak cepat karena ia tahu ibunya tak akan mengizinkan ia bersekolah di Permata Hati. Ia harus melakukan sesuatu yang ilegal.
"Bisa ini diisi dengan komputer? Aku bakal ketahuan kalau aku yang ngisi formulir ini. Tanda tangan mama ... aku bisa dapetin itu," kata King.
"Ya, ini nggak masalah diisi dengan tangan atau komputer. Tapi, bukannya kamu mau bujuk mama kamu?" tanya Ian tak mengerti.
"Mama nggak akan mau aku sekolah di sini," tukas King. "Tapi, aku bisa membuat mama mengisi formulir itu. Om kirim aja berkas itu ke email mama."
King membuka ponsel ibunya. Ia lalu mencari kotak email dan memberikannya pada Ian. "Kirim ke sini sebelum mama tahu. Aku harus ngisi ini di komputer mama besok dan aku tinggal cetak itu."
Ian hampir tertawa. "Kamu bisa melakukan itu? Membuka komputer mama kamu dan ... tanpa ketahuan?"
King mengangguk. "Aku juga bisa membuka akun bank mama aku. Jadi, nggak usah khawatir soal biaya pendaftarannya. Aku bakal kasih tahu Om kalau semua udah beres. Om juga bisa kasih aku nomor ponsel Om."
Ian terpukau menatap King yang terlihat tidak sedang bercanda. King baru 7 tahun atau hampir, tetapi bicara seolah-olah ia tahu segalanya. "King, apa kamu jenius?"