Bab 6. Kekesalan King

1488 Kata
Sepeninggal Ian, King langsung memberikan tatapan kesal pada Wina dan Roki. Ia tahu ibunya dekat dengan Roki, pria baik yang sering membantu mereka. Ia juga tahu, Roki cukup menyayanginya seperti anak sendiri. Namun, ia agak kecewa dengan sikap ibunya. Ia tidak mengerti sama sekali. "Kenapa Mama dan Om bersandiwara di depan om Ian?" tanya King. Wina membuang napas panjang. Ia duduk di sebelah King lalu meremas tangannya. "Mama ngelakuin ini demi kamu. Kamu nggak boleh dekat-dekat dengan om Ian." "Tapi kenapa?" tanya King dengan nada protes. "Aku tahu siapa dia, Ma. Mama jangan bohong apalagi mengelak. Aku udah pernah liat foto om itu di laptop Mama dan aku tahu dia adalah papa aku." Wina merasa tertampar dan rahangnya langsung mengeras. "King, Mama tahu kamu akan begini. Tapi, kamu harus mengerti, hanya karena dia adalah papa kamu, bukan berarti kamu boleh dekat dengan dia." "Tapi, kenapa?" tanya King lagi. Wina memijat keningnya pelan lalu ia mencoba bersikap tegar di depan King. "Dia punya keluarga sendiri, King. Dia nggak pernah ada untuk kita—untuk kamu selama ini. Dan tiba-tiba, dia mendekat?" King mengerjap. Apa yang Wina katakan benar. Ayahnya tidak pernah hadir dalam hidupnya selama ini. Dan ia ingat bagaimana ibunya bersedih setiap kali mengenang hal itu. Selama hampir tujuh tahun, mungkin itu adalah luka yang masih membara di hati ibunya. "Dia kelihatan baik," gumam King. Wina mengangguk. Ia tahu, Ian memang terlihat baik hingga ia pernah terlena dalam perasaannya sendiri. "Dia mungkin merasa bersalah karena kamu udah tertabrak mobilnya." King kembali berpikir. Ia merasa Ian tidak begitu. Ia yakin, Ian memiliki perasaan yang tulus padanya dan bahkan Ian terlihat sangat senang ketika mereka berdua sama-sama merasa memiliki hubungan lebih. "Tapi, tetap aja. Kalau dia adalah papa aku, aku berhak untuk mengenal dia," kata King hati-hati. Wina membuka bibirnya. Ia menatap King dan bisa melihat harapan berkelebat di mata anak itu. "King, kita udah baik-baik saja selama ini hanya dengan kamu dan Mama. Kita nggak butuh sosok om Ian." "Dan kamu punya Om," celetuk Roki seraya meletakkan tangannya di bahu Wina. Bibir King bergetar. Ia juga tahu itu. Ia cukup bahagia dan Roki juga bisa membuat ia senang meskipun terkadang ia merasa ada pagar di antara mereka. Mereka dekat, tetapi tidak cukup dekat juga. "Mama cuma pengen kamu mengerti. Jangan terlalu berharap sama om Ian. Dia pasti udah memiliki keluarga bahagia sendiri dan mungkin ... dia juga punya anak dengan istrinya. Dan ... kita hanya orang asing," kata Wina seraya mengusap kening King. King tak merespons karena ia mulai mengerti dengan ucapan ibunya. Mungkin ia terlalu gegabah mengira ia bisa memiliki seorang ayah yang keren. Padahal, benar, Ian pasti memiliki keluarga sendiri di luar sana. Dan Ian tak pernah peduli padanya hingga mereka bertemu hari ini. "Maafin Mama. Mama nggak bermaksud membuat kamu sedih," kata Wina dengan nada bersalah. Ia merasakan remasan tangan Roki di pundaknya dan ia seolah mendapatkan sedikit kekuatan. King menggeleng pelan. "Nggak, Mama nggak perlu minta maaf. Ini bukan salah Mama. Aku yang harus minta maaf." "Anak baik," gumam Wina tersenyum. King membalas senyuman Wina. Ia tak ingin ibunya sedih, sebab ia yang paling tidak suka jika ibunya menangis. Pertemuan Wina dengan Ian pasti tak terduga. King menebak saat ini ibunya sedang sedih. Membicarakan ayah kandungnya saja membuat Wina selalu bermuram durja. Apalagi bertemu langsung seperti ini. King merasa ia tak boleh egois. Ia hanya memiliki Wina selama ini. Dan ia tak ingin ibunya sedih. Ibunya jauh lebih penting dibandingkan Ian atau siapa pun di dunia ini. Obrolan itu tak berlanjut karena pintu tiba-tiba terbuka dan Wina berdiri. Seorang dokter dan dua perawat masuk ke ruangan untuk memeriksa kondisi King. "Bagaimana keadaan King?" tanya Roki pada dokter. "Kondisinya sudah stabil, sepertinya King adalah anak yang sangat kuat," ujar dokter seraya melirik King dan memberikan kedipan mata. King terkikik. "Ya, saya anak yang kuat." "Bagus, kamu harus beristirahat dan jangan banyak bergerak dulu. Kami akan mengecek kondisi King besok pagi lagi, tapi jika ada hal yang darurat silakan pencet tombol panggil," kata si dokter. "Ya," sahut Wina dengan nada lega. Ia tersenyum kembali pada King. "Hei, kamu mau makan atau minum sesuatu? Om bisa beliin buat kamu," kata Roki pada King. King menggeleng. Ia baru saja disuntik oleh dokter. "Aku agak ngantuk, Ma." "Ehm, kamu tidur aja lagi. Mama nggak akan ke mana-mana," tukas Wina. "Om juga," timpal Roki. King tersenyum. Ia memiliki Wina dan Roki yang baik. Seharusnya ini cukup. Mungkin ini cukup andai saja ia tak bertemu dengan Ian. Ia memejamkan mata seraya berpikir. Apakah Ian benar-benar akan datang besok pagi? Apakah Ian akan membawakan bola basketnya yang hilang? King tak tahu. Namun, dalam hati ia berjanji akan memberikan satu kesempatan pada Ian jika besok Ian sungguh-sungguh datang kepadanya. Tak peduli jika Ian tidak membawakan bola basketnya. Ia akan mempercayai ucapan Ian sampai besok dan memutuskan apa yang akan ia lakukan. Bahkan, jika ia harus sembunyi-sembunyi dari ibunya, ia sangat ingin dekat dengan Ian. *** Sementara itu, Ian yang baru saja meninggalkan kamar King langsung bertemu dengan Egi. Ia membuang napas panjang. Karena kondisi King yang baik, Wina tak ingin memperpanjang masalah kecelakaan itu dan tidak melibatkan polisi—untung saja. Mungkin saja, Wina juga tak ingin terlibat dengannya lagi. "Tuan, bagaimana anak itu?" tanya Egi. Ia menggosokkan kedua telapak tangannya dengan gugup. "Dia baik-baik aja," jawab Ian seraya masuk ke mobil sementara Egi bersiap menyetir. "Kamu harus menemukan bola King yang hilang. Pasti ada di sekitar lokasi kecelakaan, cek semua CCTV dan bawakan bola itu besok ke ruangan aku!" "Bo-bola?" Egi melirik Ian dengan bingung. "Ya. King mengejar bola basket itu hingga dia masuk ke jalanan dan kamu yang menabrak dia," ujar Ian dengan nada mencela. "Pokoknya, aku mau bola itu ditemukan kembali." Egi mengangguk pelan atas permintaan tuannya. Ia kembali melirik Ian melalui kaca spion tengah. "Tuan, jadi ... anak itu, namanya King?" Ian mengangguk. Ia sudah membaca nama King di rumah sakit. "King Asher." "Tapi, bagaimana ceritanya dia bisa mirip sekali dengan Anda, Tuan? Apa mungkin dia ...." "Aku yakin dia adalah anak aku," sahut Ian. Egi membelalak. Ia tak pernah tahu Ian berselingkuh atau dekat dengan wanita selain istrinya. Jadi, ini sangat mengejutkan. Apalagi anak itu tampak berusia sekitar tujuh tahunan. "Bagaimana mungkin itu terjadi, Tuan?" tanya Egi penasaran. Ian mencoba berpikir. Bagaimana itu terjadi? Ian terkenang kembali pada malam di mana ia membawa Wina ke kamarnya. Itu sudah lama, tetapi rasanya pas sekali. Mungkin malam panas itu sudah menghasilkan King. Hanya saja, ia tak pernah tahu. Wina tak pernah memberitahunya. "Aku pernah tidur dengan Wina sekali," jawab King. Ia menatap Egi yang langsung menegang kaget. "Sebelum aku menikah," lanjut Ian. "Itu adalah malam penuh kesa—" Ian mengatupkan kembali bibirnya ketika ia hendak berkata bahwa malam itu penuh dengan kesalahan. Ia mendadak ingat kapan terakhir kali ia bertemu dengan Wina. Tepat di hari pernikahannya! Dan itu sudah sangat malam, pesta hampir berakhir. Ia melihat wajah Wina yang kalut, cemas dan takut-takut. Ian membawa telapak tangannya ke bibir. Apa yang terjadi hari itu? Apakah Wina datang untuk memberitahu bahwa ia hamil? Dan ia justru berkata bahwa malam itu adalah kesalahan. Ian menggeleng pelan, ia tak bisa melupakan wajah terluka Wina sebelum gadis itu pergi dari rumah orang tuanya. Dan setelah itu, Wina tak pernah terlihat lagi. "Kenapa Wina nggak ngomong sama aku?" Ian membatin dalam hatinya. Penasaran menggerogoti Ian. Ian semakin yakin malam itu Wina hendak menceritakan semuanya. Ian bertanya pada Meli apakah Wina datang untuk bertemu dengan adiknya itu? Namun, Meli justru terkejut karena ia tak bertemu dengan Wina sama sekali. Jadi, sudah pasti Wina datang untuk mencarinya. Wina mungkin tidak jadi mengatakan semuanya karena itu adalah hari pernikahannya dengan Resta. "Tuan, Anda melamun?" tanya Egi. Ian meniupkan napas panjang sementara kedua tangannya masih menutupi bibir. "Aku udah berbuat salah di masa lalu. Aku harus memperbaiki semuanya. Aku harus meminta maaf dengan Wina. Dan aku ... aku mau King dekat denganku." Egi melirik tuannya dengan risau. "Apa maksud Anda, sekarang Anda ingin mengakui anak itu sebagai putra Anda?" "Aku yakin King anak aku!" geram Ian. "Kami bahkan punya golongan darah yang sama. Aku bisa ngelakuin tes DNA yang untuk membuktikannya." Egi mendesahkan napas panjang. "Saya tahu itu mungkin tidak diperlukan. Anak itu terlalu mirip dengan Anda. Tapi, yang saya khawatirkan adalah bagaimana jika nanti keberadaan anak itu akan mempengaruhi karir Anda? Dan juga ... Anda harus mempertimbangkan tuan muda Azka. Putra Anda dengan mendiang istri Anda." Tangan Ian mengepal seketika. Ia tahu ini mungkin akan mengejutkan banyak pihak. Ia adalah kepala sekolah, pemilik yayasan Pendidikan Permata Hati. Dan jika orang-orang tahu ia memiliki anak di luar nikah—anak haram—dengan mantan muridnya, ini tidak akan baik. Ian juga mencemaskan Azka. "Azka ... pasti senang memiliki seorang kakak. Mungkin, dia akan mengerti," gumam Ian seraya menyandarkan punggungnya. Ia membuka ponselnya dan tersenyum getir menatap fotonya dengan Azka yang ada di layar. Tak ada Resta di sana, sebab Resta telah lama pergi. Tepat ketika Azka lahir ke dunia.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN