Part 14- Belanja Bersama

2527 Kata
Terkadang semakin kita ingin melupakan sesuatu, semakin sering pula kita dipertemukan dengan apa yang ingin kita lupakan. Atau ketika kita ingin menjauhi sesuatu, sesering itu pula kita didekatkan. Bukan karena takdir tak memihakmu, tapi barangkali memang takdirmu adalah bersamanya. *** Seperti yang Windi katakan soal tidak bisa tidur, bingung untuk memakai baju apa. Itulah yang kini Elsya rasakan. Padahal gadis itu sadar betul hari ini bukanlah kencan atau semacamnya. Apa yang akan ia lalui hari ini murni bantuannya untuk mensukseskan acara karnaval kampusnya nanti. Tapi kenapa harus ia dan Alga? Rasanya Elsya belum bisa mendapatkan jawaban atas pertanyaan di dalam kepalanya ini. Padahal dari sekian banyak junior yang masuk ke UKM seni lukis, kenapa justru ‘si artis’ dan gadis biasa seperti Elsya ini yang disuruh pergi? Apa tampangnya mirip emak-emak yang suka belanja ke Tanah Abang? Seumur-umur ia belum pernah ke sana dikhususkan untuk belanja, kalau untuk beli nasi gorengnya yang legend sih pernah atau sekedar jajan saat lewat. Yang Elsya tau soal tanah abang hanyalah... ruwet, penuh, sesak. Alhasil, kini Elsya sudah di sini. Di halte buswat terdekat dari komplek perumahannya. Untung ia masih menyimpan kartu khusus untuk p********n tiket. Ini pun masih ada sisa saldonya. Sepertinya terakhir kali ia memakainya lebih dari satu tahun yang lalu. Kartu yang telah usang ini, kartu yang selalu ia gunakan saat bepergian bersama Alga. Lalu kini, kartu ini juga Elsya gunakan untuk pergi bersama Alga... lagi. Elsya memilih mengenakan celana jeans, kemeja lengan pendek dengan corak bunga-bunga dan tak lupa rambut dikuncir ekor kuda. Mengingat bagaimana ramainya tanah abang, pasti akan bikin gerah. Ia nggak mau sampai rambutnya lepek nanti, di depan Alga pula. Tengsin dong. “ Ayo.” Suara seseorang membuat Elsya menoleh. Nyaris gadis itu tak mengenali orang di depannya, walau suaranya sudah sangat ia hapal, bahkan di luar kepala. Alga mengenakan sweeter berwarna abu-abu dengan celana jeans senada dan juga tas selempang berwarna cokelat. Pria itu mengenakan kacamata yang entah milik siapa. Setau Elsya, pria itu tidak minus atau semacamnya yang perlu menggunakan kacamata. “ Kok pake kacamata?” tanya Elsya penasaran. “ Lo nggak tau gue lagi nyamar?” balas Alga. Elsya mengangguk-angguk. “ Penyamaran lo bagus, hampir aja gue nggak mengenali lo.” Alga tak berbicara lagi. Pria itu sibuk melihat ke layar di atas pintu untuk melihat kapan bus mereka datang. “ Dua menit lagi bus kita datang.” “ Oh.” Elsya sibuk melihat-lihat sekitarnya. Ternyata halte di sini cukup ramai. Ada beberapa anak sekolah dengan seragam olahraga yang sepertinya akan melakukan kegiatan bulanan untuk mengambil nilai penjaskes, juga orang tua dan anak-anak mereka yang sepertinya bersiap untuk liburan karena membawa tas besar serta paper bag berisi snack, ada juga wanita muda dengan polesan make up di wajah yang pasti akan bekerja meski ini akhir pekan, juga kakek-kakek yang sepertinya akan pergi— mungkin ke rumah cucunya karena membawa satu boneka beruang yang menggemaskan. Di fasilitas umum memang seringkali membuat kita melihat sisi lain banyak orang yang tidak kita ketahui. Pun ada begitu banyak kisah menarik di luar sana yang jarang—orang seperti Elsya tau. Karena Elsya terlalu sibuk diantar jemput dengan kehidupan hanya seputar kampus dan rumah. Pacaran sama Aksa pun jarang, itupun pasti ke tempat-tempat yang tidak ramai dan kegiatan yang itu-itu saja. “ Jangan diem aja. Bus kita dateng.” Alga langsung menarik tangan Elsya dan mengajaknya masuk ke dalam. Rupanya Elsya terlalu sibuk larut dalam pikirannya sampai tak sadar pintu bus di depannya sudah terbuka. Alga dengan sigap mencari kursi kosong untuk mereka dan kebetulan ada. Pria itu menyuruh Elsya duduk di bagian dalam bus. “ Lo tuh kalo kebanyakan bengong di tempat umum, bisa-bisa kecopetan,” ucap Alga dengan suara pelan. Bus yang mereka tumpangi mulai berjalan melalui jalur tersendiri, yang terkadang dilalui juga oleh pengendara ‘bandel’ di luar sana. “ Ya, sorry. Udah lama abisnya... “ Elsya tak melanjutkan kata-katanya. Takut malah keceplosan dan membahas soal masa lalu. Keduanya tak banyak bicara. Butuh sekitar satu jam perjalanan dan beberapa kali transit hingga mereka sampai di pasar tanah abang. Keduanya pun langsung turun dan pergi ke bagian blok B. “ Kita hanya harus beli beberapa pcs kaos polos. Nanti katanya mau disablon sama orang tua kak Anya yang punya bisnis itu. Kaos sablonan nanti rencananya untuk dijual juga dan hadiah games.” Elsya mengangguk-angguk mengerti. Ia hanya mengikuti Alga yang sepertinya sangat hapal daerah sini. Sementara ia saja bingung melihat banyaknya blok, belum lagi jalan-jalan kecil yang dilaluinya serta pedagang dan pembeli yang sama penuhnya. “ Terus kita beli apa lagi?” “ Tas-tas bahan kanvas. Ada di bagian belakang sih. Yuk. Nanti baju ini biar dianter aja.” Alga pun kembali berjalan mendahului. Sepanjang jalan, Elsya asik melihat-lihat dagangan di sekitarnya. Ada banyak baju yang lucu-lucu dengan harga yang sangat terjangkau. Mulai dari lima belas ribu sampai seratus lima puluh ribu. Kalau belanja di sini pasti bisa dapet banyak. Ia melihat tote bag berwarna biru dengan corag awan yang memiliki mata dan mulut. Menggemaskan. Harganya pun hanya lima puluh ribu, tanpa pikir panjang gadis itu langsung membelinya. “ Al... bagus, kan?” Elsya menatap ke sampingnya tapi hanya ada beberapa orang asing yang lalu lalang. Ia langsung memperhatikan sekitarnya, mencari sosok pria yang mengenakan sweeter berwarna abu... sayangnya banyak sekali pria yang mengenakan sweeter berwarna sama. Sial! Harusnya Alga pake sweeter warna kuning atau oren kek yang bisa mudah ditemukan. Sekalian yang ada kupingnya biar lain dari yang lain. “ Mampus gue.” Elsya seketika ketakutan, berada di lorong-lorong yang tak ia ketahui. Ia langsung mengeluarkan ponselnya dan mencoba untuk menghubungi Alga. Nggak diangkat. “ Lo sengaja ya ninggalin gue? Lo pasti benci banget jalan sama gue, kan? Kalo gue diculik gimana?” Elsya rasanya ingin menangis berada di antara tempat dan orang-orang yang tidak ia kenal. Gadis itu melipir ke dekat gerbang pembatas, bingung harus kemana. Ia justru tertunduk, menatap tote bag menggemaskan yang baru ia beli tapi justru membuatnya harus berada di posisi seperti ini. “ Mana gue nggak pernah ke sini. Daddy sama mommy pernah ke sini nggak ya? Tapi gue nggak tau ini dimananya.” “ Udah gue bilang. Lo harus perhatikan sekitar lo.” Suara itu terdengar begitu menyejukkan di telinga Elsya. Juga genggaman hangat di jemarinya membuat gadis itu mendongakkan kepalanya. Alga tengah menatapnya dengan raut cemas. “ Lo nggak angkat telepon dari gue.” “ Gue sibuk nyari lo, nggak sempet liat hape. Kalaupun gue angkat, emang lo tau posisi lo dimana?” Elsya menggelengkan kepalanya. “ Gue takut tau.” Alga segera menarik gadis itu ke sisinya, sampai lengan mereka menempel satu sama lain, menimbulkan getaran hebat di rongga d**a mereka. “ Jangan menghilang lagi, Al.” Ucapan penuh arti yang Elsya katakan, membuat Alga setengah mati menahan perasaannya. Namun pria itu cepat-cepat mengendalikan dirinya. “ Kita beli minum dulu.” Ia memilih mengalihkan perhatian gadis di sampingnya. Elsya hanya meminum sedikit air mineral yang Alga berikan untuknya. Padahal ia sungguh-sungguh dengan ucapannya tapi seperti biasa, Alga akan menghindarinya setengah mati. Entah apa yang ia pikirkan sampai mengatakan hal itu. Jauh di dalam lubuk hatinya, ia ingin mengatakan hal itu lebih awal. Bahkan mungkin saat pertemuan pertama mereka lagi setelah beberapa bulan ia kehilangan Alga. Setelah itu, mereka kembali mencari beberapa tas bahan kanvas dan membelinya. Seperti biasa Alga meminta bahan belanjaannya dipaketin saja karena cukup banyak dan agak repot membawanya dengan kendaraan umum. Lalu mereka pun kembali naik bus transjakarta. Tak ada pembicaraan di antara keduanya. Saat melewati area monas, Elsya menatap tempat itu dengan mata berbinar. Sudah lama ia tidak ke sana atau menikmati car free day di daerah pusat kota. Karena memang tidak ada teman lagi ke sana selain Alga. Tiba-tiba saja Alga beranjak dan menggenggam tangan Elsya, mengajak gadis itu turun di halte pemberhentian sebrang monas. “ Kita mau kemana?” “ Ke monas. Gue mau gantung lo di tugunya.” “ Sialan.” Elsya mengumpat tapi malah menurut saja dibawa oleh Alga. “ Gue mau makan dulu di foodcourtnya, lo nggak laper emang?” “ Laper sih.” “ Kebiasaan kalau laper diem aja. Kalo pingsan, gue yang repot.” Alga mengoceh lagi. Cukup jauh mereka berjalan ke area foodcourt yang ada di bagian belakang. Di sana banyak stand-stand penjual makanan. “ Lo mau apa?” tanya Alga. “ Hmmm... soto betawi deh.” Alga hanya mengangguk, menyuruh Elsya duduk di kursi kosong sembari menunggunya membeli makanan. Pria itu kembali dengan nampan berisi satu mangkuk soto betawi dengan nasi dan satu piring ketoprak, tak lupa dua gelas es teh manis yang terasa menyegarkan di teriknya ibukota siang ini. Elsya begitu lahap menyantap makanan miliknya. Gadis itu juga baru menyadari tidak ada daun bawang atau bawang goreng di dalam makanannya. Pasti ini ulah Alga. Dia masih ingat? “ Jadi gara-gara itu lo ngilang?” Alga melirik tas di dalam plastik yang Elsya bawa. Elsya menatap tas barunya dan mengangguk, seraya tersenyum. “ Bagus, kan? Masa tas kayak gini lima puluh ribu. Murah banget.” Ia terlihat seperti menemukan harta karun bagus di tengah ruwetnya kehidupan di tanah abang. “ Oh ya? Tadi gue liat tas yang sama, harganya cuma tiga puluh lima ribu aja kok,” balas Alga dengan entengnya. “ Hah? Nggak mungkin. Kok bisa?” Elsya terlihat tidak terima. “ Di tanah abang tuh banyak varian harga, rugi kalo liat sekali langsung beli. Banyak penjual yang dagangannya lebih murah.” Alga menjelaskan dengan entengnya. Elsya menatap Alga dengan tajam. “ Lo kok nggak bilang?” “ Lo aja asal ngilang. Dasar cewek. Di ajak ke pasar dikit, matanya jelalatan pengen belanja.” Seperti biasa Alga jarang sekali merasa bersalah atas perbuatannya. “ Ya berarti gue cewek tulen.” “ Oh ya?” Alga terlihat meragukan. “ Nggak percaya?” Alga mengedikkan bahunya. Elsya menggembungkan pipinya, terlihat kesal. Tapi pria di sampingnya justru terkekeh geli seolah dirinya adalah lelucon menyenangkan baginya. Gadis itu kemudian beranjak dan pergi, tak lupa membawa tas yang baru dibelinya. “ Lo mau kemana?” “ Jalan-jalan di monas. Lo pulang aja duluan kalau nggak mau.” “ Lo mau nyuruh bokap lo bunuh gue ya?” balas Alga yang langsung mengikuti gadis itu. “ DI tanah abang aja nyasar, gegayaan mau ke monas sendiri.” “ Yaelah. Monas gitu-gitu aja nggak mungkin nyasar.” Alga hanya mengangguk-angguk seraya berjalan di samping Elsya. Gadis di sampingnya asik berjalan sembari melihat-lihat sekitarnya. Area monas memang cukup ramai di akhir pekan. Beberapa antrian terlihat di area pintu masuk monas, bagi mereka yang ingin naik ke atas untuk melihat pemandangan kota Jakarta dari atas monas. Beberapa kali Elsya dan Alga ditawarkan untuk berfoto bersama oleh tukang foto di sana. “ Murah kok, mbak... mas. Biar fotonya bagus buat kenang-kenangan.” “ Ha? Kenangan apaan?” balas Elsya ketus. “ Iya bagus buat dipajang nanti fotonya. Bisa request gayanya kok.” Rupanya mas-mas itu tak juga mengalah, mengikuti Alga dan Elsya dengan membawa kameranya. “ Cuma dua puluh ribu aja.” “ Nggak mas makasih. Saya nggak butuh kenangan dari dia.” Elsya menatap Alga dengan sengit. “ Wah! Lagi marahan rupanya. Semoga cepet baikan ya.” “ Ish!” Elsya semakin kesal. Alga menggaruk kepalanya yang mendadak gatal. Apalagi pergi ke tempat sepanas ini dengan sweeter, rasanya gerah sekali. “ Lo mau jalan sampe mana? Masjid Istiqlal?” Elsya seketika berbalik. “ Ke halte yang tadi lah.” “ Harusnya nggak lewat sini.” “ Masa? Perasaan jalanannya sama.” Alga menggeleng-gelengkan kepalanya. Sudah ia duga. “ Kita harusnya jalan ke arah gedung museum nasional itu.” Ia menunjuk arah lain. “ Kalau lewat sini nanti transitnya ribet. Muter dulu lo ke masjid yang ada. Udah gue bilang, lo bakal nyasar. Heran. Keras kepala banget dari dulu.” Ia menjitak kepala Elsya pelan. Jitakan dari Alga malah Elsya anggap sebagai sentuhan lembut, yang gadis itu rindukan. Merindukan hari dimana mereka akan saling bertengkar satu sama lain atau berdebat tapi esoknya mereka akan kembali bersikap hangat seperti biasa. Dimana pertengkaran mereka justru hal yang ingin terus mereka lakukan, karena dengan begitu esoknya mereka akan saling rindu untuk melakukan hal lain bersama. Tiba-tiba saja ponsel Elsya bergetar, membuat gadis itu menghentikan langkahnya dan melihat siapa yang menelponnya. Aksa. Agak ragu, Elsya menatap Alga sebentar sebelum akhirnya menerima telepon itu. “ Halo?... oh... aku lagi di... monas. Heeh. Abis dari tanah abang buat beli perlengkapan karnaval... apa? Mau jemput?... oh itu... nggak usah deh. Ini udah mau jalan pulang soalnya. Bener nggak apa-apa. Aman kok, aku seneng naik bus.“ Elsya terkekeh geli sebelum akhirnya menutup telepon. “ Kenapa nggak mau dijemput?” tanya Alga yang rupanya mendengarkan percakapan Elsya dengan pacarnya itu. “ Oh, nggak enak aja sama lo. Masa gue pergi gitu aja. Emangnya elo.” Elsya langsung berjalan mendahului Alga. “ Sejak gue menerima Aksa, gue selalu berusaha melakukan yang terbaik sebagai pacar. Meski gue tau, gue masih belum bisa. Seengganya gue nggak akan meninggalkannya tanpa alasan.” Ia berkata lagi setelah memastikan Alga berjalan di belakangnya. “ Syukurlah. Setidaknya dia bisa di samping lo terus tanpa mencemaskan apapun.” Elsya menggenggam erat buku-buku jarinya sendiri. Merasa kesal dengan Alga yang nggak peka. “ Tapi... “ Ia berbalik tapi justru pelukan Alga yang diterimanya, membuat gadis itu bisa menghirup aroma parfum Alga yang tak pernah berubah sejak dulu. “ Jangan mengatakan apapun.” Alga tak mau lagi mendengar Elsya membahas soal mereka, meski ia pura-pura tidak peka. Tapi rasanya sakit. “ Lo berhak bahagia sama cowok lo. Dia yang terbaik buat lo. Lo harus bahagia, Els.” Elsya terdiam di dalam pelukan Alga. “ Gue selalu mencoba untuk bahagia, walau gue tau semua kebahagiaan itu terasa semu tanpa lo, Al. Saat gue ingin melupakan lo, kita justru satu kampus lagi... saat gue nggak mau peduli akan keberadaan lo, kita justru jadi sedekat ini karena banyak hal. Kenapa takdir mempermainkan kita sih?” “ Takdir nggak mempermainkan kita. Kita hanya harus berusaha saling melupakan satu sama lain.” “ Kenapa? Kenapa lo juga harus ngelupain gue kalau lo nggak ada perasaan apa-apa sama gue?” Alis Elsya tertaut. Mampus lo, Al! “ Maksud gue... intinya, hubungan kita nggak bisa kayak dulu lagi.” “ Meski hanya teman?” Alga mengangguk. “ Apa alasannya?” tanya Elsya lagi. “ Seharusnya lo nggak perlu tau atau mencari tau alasannya, karena itu hanya akan melukai lo lebih dalam. Sorry.” Hanya itu yang Alga katakan sebelum pria itu mengajak Elsya pulang. Begitu sampai di depan gerbang rumah Elsya, yang seharusnya Alga hanya menemani gadis itu sampai di halte terdekat saja. Tapi ia merasa bertanggung jawab untuk memastikan Elsya sampai di rumah dengan selamat. Hal yang semakin membuat Elsya bingung dengan perasaan Alga yang sebenarnya. “ Apapun alasan lo yang nggak gue tau itu, lo harus tau kalau sebenarnya itu justru membuat gue jatuh semakin dalam ke elo, Al.” Alga tersenyum tipis lalu mengusap puncak kepala Elsya dengan lembut. “ Semua udah berlalu, Els. Hargai kehadiran pacar lo, dia pria yang baik.” “ Dan lo... lo juga cowok yang baik.” “ Gue nggak cukup baik buat lo, Els. Selamat istirahat.” Pria itu berbalik dan pergi. “ Yang tau lo baik buat gue atau enggak, itu gue Al... bukan elo!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN