“ Bodoh bodoh bodoh!” Elsya mengacak-acak rambutnya sendiri begitu masuk ke kamarnya. Rasanya ia benar-benar seperti gadis labil yang baru diputusin pacar. Kenapa juga dia bicara seperti itu ke Alga? Ke pria yang bahkan mereka hanya teman dulu. Bahkan mungkin Alga tidak menganggapnya sebagai gebetan seperti yang ia harapkan.
Elsya membanting tubuhnya ke atas kasur, memeluk guling dan menenggelamkan wajahnya di sana. Bagaimana jika Alga menganggapnya w************n? Bagaimana jika Alga menganggapnya centil? Padahal udah punya pacar tapi kok gagal move on sama temen sendiri. Aneh, kan?
Namun Elsya tak bisa menahan diri untuk tidak mengutarakan isi hatinya, semua terucap begitu saja. Seolah ia sudah memendam semuanya lama, sehingga ia tak bisa lagi menahan diri.
“ Kamu udah pulang, nak?” tanya Vio yang sudah berdiri di depan pintu Elsya.
Pintu Elsya memang terbuka, gadis itu pun beranjak dan duduk di atas ranjangnya. Menatap ibunya yang perlahan berjalan ke arahnya. “ Mommy.”
“ Tadi pulang sama siapa?” tanya Vio lagi.
“ Oh itu... sama temen kampus.”
“ Udah dapet barang-barangnya?”
Elsya mengangguk.
“ Tapi kok mommy kayak kenal sama yang nganter kamu tadi. Bukan Aksa, kan?” Vio mencoba memastikan.
Elsya menggelengkan kepalanya. “ Mommy emang kenal kok. Dia dulu sering ke sini.”
Vio mengerutkan keningnya, mencoba mengingat-ingat. “ Alga bukan?”
“ Iya, mom. Alga. Tuh mommy masih inget.”
Vio langsung tersenyum, menatap putrinya dengan hangat. “ Ya inget dong sama gebetan anak sendiri.”
“ Ih mommy!”
“ Tapi tumben, kok dia nggak pernah mampir kayak dulu?” Vio semakin penasaran.
Kali ini Elsya bingung menjawabnya. Gadis itu hanya mengedikkan bahunya. “ Nggak tau, mom. Kalau aja aku tau, mungkin aku nggak akan bingung kenapa dia berubah.” Wajahnya mendadak sendu. “ Padahal aku punya pacar, tapi malah galauin cowok lain. Aku centil ya, mom?” Ia tersenyum, lebih ke menertawakan dirinya sendiri.
Vio mengusap puncak kepala putrinya dengan lembut. “ Mommy nggak membenarkan tindakan kamu. Tapi di balik semua itu, pasti kamu punya alasan tersendiri. Terlebih hati nggak akan bisa dipaksakan. Mungkin kamu harus berusaha lebih keras menerima keberadaan Aksa dan melupakan kisah kamu dan Alga.”
“ Pengennya gitu sih, mom.” Elsya membaringkan kepalanya di atas pangkuan sang ibu. “ Tapi aku penasaran, alasan apa yang membuat dia menjauh dari aku.”
“ Jadi, perasaanmu padanya mungkin hanya karena kamu penasaran dengan alasannya? Bukan karena memang masih menyukainya?”
“ Ah itu... “ Elsya semakin bingung. Apa benar perasaannya pada Alga selama ini hanya karena ia penasaran dengan alasan yang masih tak ia ketahui?
Vio tersenyum tipis. “ Mungkin dia punya alasan yang tidak bisa diberi tahu pada siapapun. Terkadang memang ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan, nak.”
“ Kenapa, mom? Setidaknya dia bisa bilang... kalau misalnya nggak menyukaiku atau apapun itu. Aku akan menerimanya.”
“ Mungkin dia takut melukaimu?”
“ Dia bilang atau enggak soal alasannya, dia tetap menyakitiku, mom.”
***
Baru kali ini Elsya tidak menyukai hari minggu. Bagaimana tidak, perasaannya jadi tak tenang setelah pertemuannya dengan Alga kemarin dan mengingat apa yang ia katakan pada pria itu sebelum dia pulang. Rasanya memalukan sekali. Harusnya ia lebih bisa mengendalikan dirinya, bukan justru mengungkapkan apa yang tengah ia rasakan.
“ Els. Aksa udah nunggu kamu tuh di depan,” ucap Vio yang menghampiri putrinya di halaman belakang.
“ Kak Aksa?” Kening Elsya berkerut. Seingatnya, ia tidak memiliki janji pada pria itu dan mereka sejak terakhir teleponan pun Aksa tidak mengatakan apapun.
Vio mengangguk. “ Ajak sarapan gih. Kamu kan juga belum sarapan.”
Elsya hanya mengangguk kemudian beranjak dari tempatnya dan pergi ke ruang tamu, tempat dimana Aksa sudah menunggu. “ Kak?”
“ Els.” Aksa tersenyum melihat Elsya datang menghampirinya. “ Sorry nggak ngabarin dulu.”
“ Nggak apa-apa. Emang kenapa, kak? Tumben dateng tiba-tiba.”
Aksa sebenarnya sengaja datang tanpa mengabari, karena ia tahu Elsya seringkali menolak ajakannya untuk keluar. Entah karena alasan capek atau yang lainnya. Padahal ia ingin menghabiskan banyak waktu bersama pacarnya, terutama setelah mereka sama-sama sibuk kuliah di kampus yang berbeda. Rasanya untuk bertemu pun jadi sulit. “ Rencananya mau ngajak kamu nonton sih. Mau nggak?”
“ Hmm... “ Elsya agak ragu. Suasana hatinya sedang tidak baik hari ini tapi tak tega juga menolak ajakan Aksa yang memang sering ia tolak. “ Boleh deh. Tapi kita sarapan dulu ya, aku belum sarapan soalnya.”
“ Mau sarapan dimana?”
“ Di sini aja, ibu aku udah masak kok.”
“ Nggak apa-apa?” tanya Aksa yang terlihat sungkan.
“ Nggak apa-apa. Ibu aku yang nyuruh. Yuk.”
Keduanya pun sarapan bersama di ruang makan, ya hanya mereka berdua karena kedua orang tua Elsya sudah sarapan. Terutama Ethan yang langsung terbang ke Singapore pagi ini karena ada meeting dengan kliennya.
Canggung.
Tentu saja.
Elsya selalu merasa canggung bersama Aksa, oleh karena itu ia merasa tak bisa bersikap bebas seperti saat bersama teman-temannya. Memang perlu jaga imej di depan pacar, tapi kalau terlalu sungkan... malah jadi tidak nyaman. Hal itu juga yang menjadi pembatas bagi hatinya sendiri atas ketulusan Aksa selama ini.
Usai sarapan, Elsya pamit untuk mandi dan bersiap-siap. Aksa dengan senang hati menunggu. Pria itu asik melihat-lihat foto di ruang tamu. Tadinya ia jarang sampai menunggu di ruang tamu seperti ini, mungkin ini yang pertama kali. Karena biasanya ia akan menunggu di teras atau di gazebo rumah pacarnya. Jadi saat masuk ke ruang tamu, dirinya tertarik memperhatikan beberapa bingkai foto yang terpajang rapih di kabinet.
Tatapan pria itu terhenti pada foto Elsya dan Alga, keduanya terlihat tersenyum begitu bahagia menghadap kamera. Meski keduanya terlihat kaku, tapi kelihatan sekali keduanya sangat dekat. Sama-sama punya perasaan yang tak terdefinisikan.
Aksa pun tau soal Alga dan jujur ia iri karena jika Elsya bersama Alga... dia menjadi pribadi yang ceria. Tidak seperti saat bersamanya. Ia sendiri tak tau alasan kenapa mereka tidak bersama, walau ia juga bersyukur karena dengan begitu Elsya bisa menerimanya.
Pelarian.
Mungkin Aksa bisa mendefinisikan hubungannya saat ini seperti itu. Namun baginya jauh lebih baik dibanding tak ada hubungan sama sekali. Menyadari Elsya adalah miliknya sudah membuat Aksa puas. Ia tak butuh apapun lagi dan hanya tinggal sabar menunggu hingga hati gadis itu terbuka untuknya.
Sekitar dua puluh menit kemudian, Elsya sudah siap. Gadis itu tampak manis dengan dress selutut dengan corak bunga-bunga kecil dan belt berwarna cokelat di area pinggangnya. Tak lupa bandana dengan warna cokelat dan flat shoes berwarna putih.
Manis.
Elsya sangat manis. Itulah yang membuat Aksa menyukainya. Baginya, apapun yang gadis itu kenakan, dia selalu terlihat spesial di matanya. Meskipun di mata Elsya, ia hanyalah pria biasa dan tak berarti apa-apa.
Aksa juga tau, kemarin Elsya pergi bersama Alga. Meski hanya untuk mempersiapkan acara karnaval kampus mereka... tetap saja rasanya menyesakkan. Membayangkan kekasihnya pergi bersama pria yang pernah dekat dengannya. Walau jika memang Alga memiliki rasa pada Elsya, seharusnya sudah sejak lama mereka bersama. Harusnya ia tidak terlalu cemas, tapi bagaimana dengan Elsya? Kira-kira... apa yang dia pikirkan seharian kemarin saat bersama pria yang terus ada di pikirannya itu?