Prang!
Suara botol minuman yang terbanting kasar, pecah berantakan menjadi pengiring gerak ketakutan beberapa karyawan restaurant.
Pagi itu suasana mendadak mencekam setelah Naira tak lagi ada bersama mereka. Samuel terus mengamuk. Menyalahkan hampir semua pekerjanya.
Kabar tentang pernikahan Naira sudah sampai ke telinganya. "Sialan! Bagaimana mungkin dia memilih si autis tak berguna itu ketimbang diriku yang sempurna dan punya segalanya. Kau sungguh menghinaku Naira!"
Samuel meremat berkas di tangannya. Ada kebencian yang merayap dalam hati. "Aku bersumpah akan mendapatkanmu kembali. Pria Abnormal itu tak boleh memilikimu."
Sementara itu, cermin besar di rumah Jack tengah tersenyum memantulkan bayangan indah seorang gadis yang kini tengah mematung di hadapannya. Naira tersenyum kecut dalam balutan gaun pengantin mewah yang diberikan Michael.
"Sepertinya takdir Tuhan memang tak pernah berpihak padaku," gumam Naira seakan menyesali diri. "Di sisi lain ada Samuel yang memburu dengan nafsu. Sementara di tempat yang satunya ada Jack yang tidak tahu akan memperlakukanku seperti apa."
Naira membenahi posisi riasan jepit bunga di atas kepalanya. "Setidaknya sekarang hidup ibu dan Tony akan lebih terjamin. Itu sudah cukup untukku," ucapnya lagi. Kali ini disertai rasa syukur yang ia lantunkan dari hati.
Tok, tok, tok!
Naira menoleh ke arah pintu yang tertutup. Sang perias memang sudah pergi sejak tadi, karena tugasnya sudah selesai. Merasa tak ada lagi orang lain di ruangan itu, Naira pun berderap mendekati pintu.
"Kau sudah siap?" Sosok Michael berdiri di depan pintu dengan balutan tuxsedo hitam. Sangat tampan. Dengan gaya rambut disisir rapi ke belakang menggunakan wax, menunjukkan gaya masukulin, sungguh rasanya Naira ingin menikahi pria itu saja. Meski hanya seorang ajudan.
"Naira ... apa kau sudah siap?"
"A-aku ... iya, aku sudah siap," jawab Naira mengalihkan pandangan ke sisi lain. Jantungnya sedikit berdegup lebih kencang. Mungkin karena ia akan menikah jadi sedikit gugup, atau mungkin karena sang ajudan pun tadi menatapnya dengan terkesima.
Michael mengumbar senyum, memberi ruang di tengah apitan lengan agar Naira melangkah bersamanya. Suara langkah kedua insan itu pun terdengar pelan menuju tempat pernikahan. Tiba di ujung tangga teratas dari lantai dua rumah megah itu, Naira kembali menghela napas.
"Kau gugup?"
"Jika mau jujur, aku katakan iya. Meski ini hanya pernikahan kontrak, tapi ada begitu banyak hal yang membebani pikiranku," tutur Naira.
Michael melirik gadis di dalam apitan lengannya. Sangat cantik dengan sapuan make-up yang sedikit tebal, tetapi tetap terlihat natural. Hidung mancung dengan netra hitam yang teduh menenangkan. Seulas senyum ia pertahankan dengan sangat terpaksa, tetapi tetap terlihat ikhlas. Tanpa diduga debaran halus merambat menyapa hati Michael.
"Apa ini berkaitan dengan Tuan Jack Venien?" Michael mengalihkan tatapan mencoba meredam getaran-getaran halus yang membangkitkan rasa dalam diri. Pandangannya kini tertuju pada pendeta dan Jack yang memainkan kubiknya.
"Selain ibu dan Tony, Jack juga termasuk salah satunya. Aku tak bisa membayangkan apa dan bagaimana hidupku setahun ke depan bersamanya."
Pria tampan berbalut tuxsedo hitam itu terdiam sesaat. Cukup mengerti dengan apa yang merundung hati calon majikannya. "Ini hanya setahun. Semua akan berlalu dengan cepat. Lagipula jika Tuan Jack mengabaikanmu, kau bisa berkeluh-kesah denganku. Kita bisa jadi teman baik."
Naira melirik Michael, melempar senyum manis. "Terima kasih," ucapnya.
Guna menetralkan rasa yang semakin aneh, Michael pun memilih untuk tak menoleh. Ia hanya mengangguk sebagai reaksi atas apa yang dikatakan Naira. Sampai langkah keduanya menapaki tangga terakhir, mereka pun berhenti bicara.
Yang hadir dalam pernikahan sederhana itu hanya pendeta, beberapa orang pembantu juga tukang kebun dan penjaga sebagai saksi. Orang tua dan kerabat Jack bahkan tak datang. Kata Michael yang mereka butuhkan hanya bukti sebuah pernikahan agar bisa memberi hak waris untuk Jack.
Masih untung di sana ada Bibi Marinda, kerabat dekat Jack yang menikah dengan orang Belanda, Jordan Van Djik. Mereka kebetulan tinggal di Indonesia. Mengelola usaha pariwisata di Pulau Dewata, Bali. Setidaknya kehadiran mereka cukup menguatkan keabsahan dari pernikahan itu.
Michael masih menuntun Naira sampai di altar. Menyerahkan Naira pada Jack untuk melangkah bersama menghadap pendeta. Namun, semua diabaikan begitu saja olehnya. Pria itu melangkah sambil tetap memegang kubiknya. Jemarinya pun terus bergerak menunjukkan kegugupan.
Awal yang menyedihkan bagi Naira. Rasanya masih belum bisa dipercaya sekarang ia menjadi mempelai dari seorang pengidap syndrome autisme.
Biar bagaimanapun, Naira juga sempat bermimpi di masa remajanya. Bahwa suatu hari ia akan menikah dengan seseorang yang mencintai dan menerima keadaan keluarganya dengan tanpa syarat. Akan tetapi, kenyataan yang diterima tidaklah seindah mimpinya. Sekarang ia harus terjebak dalam pernikahan palsu.
"Pasangkan cincinnya, Jack." Suara Bibi Marinda lirih, disertai satu tepukan di bahu sang pria.
Tanpa ragu, Jack mengikuti perintah bibinya. Cincin pernikahan pun tersemat di jari manis Naira. Begitu juga di jari Jack setelah Naira memasangkannya.
Prosesi pernikahan berlangsung cepat. Tak ada resepsi yang wah. Semuanya berjalan begitu biasa. Bahkan setelah upacara Bibi Marinda dan Paman Jordan langsung pamit undur diri. Mereka memutuskan untuk tak menginap sebab harus segera berangkat ke Bandung.
Kini Naira telah berada di peraduan pengantin. Sendirian, sebab Jack sudah ada di kamarnya. Pria itu tak ingin Naira tidur sekamar dengannya. Jadi terpaksa Michael meminta beberapa pelayan untuk menyiapkan satu tempat tidur yang bersebelahan dengan kamar Jack.
Sekarang apalah gunanya kamar itu dihias begitu rupa. Ketika sang mempelai pria enggan menjejakkan kaki di sana. Naira pun hanya bisa terdiam menatap rembulan yang mengintip di balik awan. Sendirian.
Menunggu lelah dan kantuk menghampiri, Naira masih berdiri dekat jendela. Membiarkan memorinya memutar alur sebelum pernikahan itu terjadi.
"Ibu, mulai sekarang Ibu akan dirawat di sini. Tony akan menemani Ibu," tutur Naira pada sang ibu saat ada di rumah sakit tadi pagi.
"Tapi kau akan ke mana, Nak?" Wanita itu meraba wajah putrinya dengan lembut. Menatap raut kesedihan yang coba disembunyikannya setiap waktu.
Naira tersenyum. Menyambut belaian tangan ibunya dengan mata terpejam. "Aku ditugaskan ke luar negeri selama setahun penuh. Maaf aku terpaksa menerimanya dan meninggalkan Ibu dengan Tony. Sebab jika tak kulakukan, aku tak akan pernh bisa mengumpulkan uang untuk biaya operasi Ibu dan juga sekolah Tony."
Setetes air mata meluruh dari balik kelopak yang keriput itu. Naira mengulurkan tangan menghapus jejak cairan yang membentuk aliran sungai di pipi sang mama.
"Ibu jangan menangis. Aku akan segera pulang. Dan saat pulang nanti aku ingin ibu menyambutku dengan bertumpu pada kedua kaki ibu yang sehat, heum?"
Sang mama pun mengangguk haru, dengan serta merta menarik Naira dalam pelukannya.
"Ibu ...," lirih Naira dengan air mata yang menetes. "Maafkan Naira sudah berbohong. Naira masih ada di sini, Bu. Hanya saja, Naira tak ingin ibu tahu kalau sekarang putrimu sudah melakukan pekerjaan hina dengan menjadi istri bayaran. Naira telah melecehkan kesucian pernikahan dengan menjadi istri kontrak selama setahun penuh. Maaf, Bu."
Gadis itu menangis pelan agar tak ada yang mendengar tangisannya. Tubuhnya bergetar menahan isakkan yang hendak keluar.
Puas dengan tangisnya, Naira pun memutuskan untuk menghapus jejak air mata yang tertinggal. Ia melepas pakaian pengantin, kemudian melangkah menuju kamar mandi.
Tubuhnya terasa jauh lebih segar setelah berendam air hangat selama beberapa menit. Naira pun mencari pakaian ganti di lemari.
Lingerie berwarna peach tergantung di sana. Naira mengulas senyum membayangkan jika Michael harus menyiapkan pakaian seperti itu untuknya.
Entah kenapa pikirannya malah tertuju pada sang pelayan setia. Mungkin karena ia tahu Jack tak mungkin mempunyai pemikiran seromantis itu. Tangan Naira terulur untuk mengeluarkan benda yang menarik minatnya.
Dahinya sedikit berkerut ketika membaca sebuah sticky note yang tertempel di sana. 'Pakai ini, malam ini aku akan datang'
"Apa maksudnya ini?" tanya Naira dalam hati. "Siapa yang akan datang? Jack atau Michael?"
Naira meraba betapa lembutnya lingerie tipis itu. "Tak mungkin Michael, 'kan? Michael tak mungkin melakukan hal gila, 'kan? Apa aku terlalu percaya diri merasa kalau dia menyimpan sebuah rasa. Ini gila! Aku tak mungkin mengkhianati suamiku di malam pertama pernikahan. Bagaimanapun adanya Jack, aku harus tetap setia."
Menimbang beberapa saat pada keputusannya antara memakai lingerie itu atau tidak, Naira memutuskan untuk mengambil ponsel dan menghubungi Michael.
Namun, baru beberapa saat ia menunggu sambungan yang terhubung, Naira segera mematikan sambungan ponselnya. "Apa yang kupikirkan? Rasanya tak pantas aku menanyakan hal segila ini pada seorang pria yang bukan suamiku. Kalau bukan dia pelakunya, mau ditaruh di mana mukaku ini."
Ponsel pun diletakkan kembali di atas nakas. Ia memutuskan meletakkan kembali lingerie yang dipegangnya. Baru saja Naira hendak memilih baju yang lain, suara telepon menyapanya.
Naira mengambil dengan cepat ponselnya. Seketika jantung berdegup kencang saat melihat nama Michael terpampang di sana. "Ma-malam, Mi-Michael, ada a-pa?"
"Justru saya yang ingin bertanya, Nyonya muda. Ada apa menghubungi malam-malam."
"Ah ... i-itu ...," sahut Naira gugup. "Ak-aku tadi hanya ...."
Michael tersenyum di ujung telepon. Teringat pada lingerie tipis berwarna peach yang kini ada di lemari kamar Naira. Sudah bisa ditebak olehnya ini pasti berkaitan dengan baju itu. Rasanya ia ingin tertawa, tetapi mendengar kegugupan sang nyonya rumah, ia pun hanya menahan diri.
Sebuah bayangan Naira memakai pakaian sexy itu tiba-tiba terlintas dalam benak Michael. Sedikit kurang ajar memang, tetapi ia pun tak bisa menghentikan ke mana pikirannya terarah. Kulit leher Naira yang putih mulus terlintas kembali dalam ingatan.
Gaun pengantin dengan belahan d**a rendah membuat keindahan itu terekspose sempurna. Tanpa sadar Michael menelan ludah.
"Tadi, aku hanya ingin bertanya tentang Jack, Michael." Suara Naira terdengar lembut mendayu menyapa indra sang pelayan. "Apakah, Jack sudah tidur?"
"Iya, Nyonya," sahut Michael dengan kegugupan yang ditahan sedemikian rupa. Bagaimanapun ia tak boleh jatuh cinta pada gadis itu, apalagi sampai punya hasrat untuk bercinta dengannya. Itu jelas sebuah bencana.
"Aa ... mmm ... baguslah kalau begitu. Terima kasih, Michael," ucap Naira. "Mm ... akan kututup teleponnya. Selamat malam. Terima kasih untuk hari ini, Michael."
"Iya, Nyonya, sama-sama." Memandangi teleponnya yang baru saja mati, Michael mengulas senyum tipis. "Kau jangan berpikir yang aneh-aneh, Nyonya Naira, atau sebuah masalah besar akan menimpamu nanti."
Keputusan Naira kini sudah bulat setelah berbicara dengan Michael. Diletakkannya kembali lingerie itu ke dalam lemari. Naira memutuskan untuk memakai piyama tidur biasa. Menyisir rambut di depan cermin. Setelah rapi, barulah berderap mendekati ranjang yang dipenuhi bunga. Ia merebahkan dirinya di sana, memejamkan mata dengan dua sudut bibir mengumbar senyum.
Karena kelelahan Naira pun terlelap dengan cepat. Bahkan ketika seseorang masuk ke dalam kamar, Naira tak menyadarinya. Sosok itu berdiri sambil mengulas senyum memandangi Naira yang terlelap di balik selimut. Tatanan bunga di atas ranjang yang awalnya indah membuat gambar dua jantung di sana berubah bentuk.
Pria itu mendekat pelan, memandangi setiap lekuk wajah cantik Naira yang tampak teduh dan tenang dalam tidurnya. Ia pun duduk di tepi ranjang. "Kau cantik sekali," gumamnya, mengulurkan tangan merapikan anak rambut yang menutupi wajah Naira. Sesaat ia merendahkan diri mencuri kecupan di kening sang gadis. Tangan pun kemudian terulur menutup netra Naira dengan kain hitam, serta mengikat kedua tangan gadis itu. Barulah berderap naik ke atas ranjang mengikis jarak di antara mereka.
Naira menggeliat ketika merasakan seseorang melumat bibirnya. Sementara tangan terikat di sisi kanan dan kiri, netra tak bisa terbuka karena kain hitam yang menutupi matanya. Ingin berontak, tetapi Naira masih memikirkan sebuah kemungkinan yang lain. Bagaimana jika suaminya yang kini mencoba membangkitkan gairahnya. Jika benar, maka Jack pasti akan marah besar dan emosinya tak akan terkendali.
"Jack ...?" Gadis itu pun hanya bisa bertanya pelan, mencoba mencari jawaban atas keraguannya, sebelum menyerahkan dirinya secara utuh pada sang suami.