Part 6 Selingkuh

1670 Kata
Jelang sore Naira kembali bersama Michael. Berpikir kalau Jack masih ada di ruang kerja mereka masuk tanpa rasa bersalah. Akan tetapi, langkah mereka langsung terhenti tatkala melihat Jack berdiri di ambang pintu. "Kenapa kalian pergi?" tanyanya dengan amarah. Merasa bersalah Naira mendekati Jack yang menggeram bergerak gelisah. Naira paham betul jika seorang autis sedang terjebak dalam emosinya, maka ia akan menunjukkan reaksi tak terkendali. Mereka terjebak dalam emosi yang tak tahu harus diungkapkan dengan cara seperti apa. "Jack ...." "Kalian selingkuh!" jerit Jack melemparkan kubik yang selalu dibawanya. "Tuan Jack, ini tak seperti apa yang kau pikirkan, aku hanya berusaha membuat Nyonya merasa nyaman." Michael mencoba menenangkan keadaan sang majikan. Ia melindungi Naira dari amukan Jack yang bisa datang kapan saja. "Ti-tidak, Ka-kalian pengkhianat." Tanpa kubik di tangannya kepanikan Jack semakin jelas terasa. Tubuhnya bergerak gelisah ke kanan dan ke kiri. Bahkan sesekali menepiskan tangan Michael yang mencoba menyentuhnya. "Tuan Jack." "Pergi!" Jack mendorong pelayan setianya, kemudian berlari ke dalam rumah. Menabrak sebuah guci yang terpajang di dekat tangga naik menuju lantai dua. Naira terkesiap mendengar bunyi keras dari guci yang jatuh, pecah berserakan itu. Sementara Jack mengabaikannya dan terus berlari menaiki tangga menuju kamarnya. Jack sangat jauh berbeda dengan Tony. Merasa menjadi sumber kemarahan suaminya, Naira pun berderap cepat menuju kamar prianya. Namun, langkahnya terhenti di depan pintu, karena Michael menariknya. "Pergilah ke kamarmu. Kau belum mengenal Tuan Jack jadi akan sangat berbahaya jika kau ada di sana. Biarkan saja dia mengamuk, itu sudah biasa." "Tapi ...." "Aku tak ingin kau terluka, pergilah ke kamarmu," ucap Michael. Kata-kata itu kembali terasa seperti bara panas yang dilemparkan ke arahnya. Naira hanya bisa diam memandang pria di hadapannya. Kembali ingatannya merotasi pada kejadian semalam. Semua kata-kata dan tindakan Michael benar-benar mengarah pada sebuah rasa yang tak seharusnya ada. Naira memundurkan langkah. Melihat Michael menyentuh gagang pintu, entah kenapa tangan Naira refleks ikut menyentuh gagang yang sama. Tangan mereka bersentuhan. Baik Naira maupun Michael saling menoleh. Tatapan mereka saling bertemu memancarkan makna yang tak saling mereka pahami. Naira membuang muka mengontrol emosinya. Sesaat Michael pun menarik tangannya dari gagang pintu. "Kenapa kau kembali bukankah kubilang untuk ...." "Dia suamiku. Ya, sekarang Jack suamiku. Jadi akulah yang bertanggung jawab untuk menenangkannya." "Bagaimana kalau dia melukaimu?" "Jangan mendebatku!" teriak Naira. Air mata menggenang di balik kelopaknya. Ada rasa sesak yang terus menjalar memenuhi relung hatinya setiap kali Michael menunjukkan perhatian padanya. Semua yang terjadi membingungkannya. "Kau tak seharusnya mengkhawatirkanku seperti ini. Aku istri tuanmu jadi jangan bersikap berlebihan. Dia menghajarku atau dia membunuhku sekalipun, kau tak perlu mengkhawatirkannya. Akan kuhadapi semua sebagai istri. Mulai sekarang menjauhlah dariku, dan berikan semua kunci cadangan rumah ini. Sekarang akulah nyonya rumah ini." Naira membuka pintu kamar Jack, meninggalkan Michael yang mematung diam. "Pengkhianat, kalian pengkhianat, pengkhianat." Jack memukul-mukul kepalanya, juga membenturkannya di dinding, mengingatkan masa lalu Naira pada Tony. Air mata menetes membasahi pipinya. Bayangan Tony yang membenturkan kepala di daun pintu saat ayah mereka membuangnya dulu memutar jelas di pikiran. "Maafkan aku ...." Naira menarik Jack dalam pelukannya. Membenamkan kepalanya di ceruk leher. "Aku tak bermaksud pergi tanpamu, Jack. Karena tadi kau mengunci diri, jadi aku bosan." "Tapi Bibi bilang kalian selingkuh." Tubuh pria malang itu masih bergetar. "Kalian berkencan. Kalian pacaran, kalian ...." "Tidak," potong Naira. "Kita tidak berkencan, Jack. Bagaimana mungkin aku berkencan. Aku istrimu, 'kan. Jadi seperti yang kau bilang aku temanmu, aku ...." Naira terdiam sejenak. Mengeratkan pelukannya pada Jack. "Milikmu ...," lanjutnya kemudian. Perlahan bersama semua kata-kata halus yang dilontarkan Naira, emosi Jack berangsur turun. Tubuhnya tak lagi gelisah seperti tadi. Naira pun menghapus air mata yang masih menetes membasahi pipinya sendiri. Mengurai pelukannya, Naira kini menangkup wajah Jack dan menatap pria itu yang tak berani memandang wajah sang istri. Itu hal yang normal dilakukan oleh seorang autisme, Naira memahaminya. "Jack, apa kau mau tahu apa yang dilakukan sepasang suami istri jika bertengkar?" Jack menggeleng. Tentu saja ia tak memahami hal-hal seperti itu. Dalam hati mungkin ada rasa ketertarikan pada lawan jenis. Akan tetapi, untuk memahami sebuh hubungan, ataupun ikatan yang lebih kompleks akan sangat sulit dilakukan bagi seorang pengidap autis. Maka dari itulah butuh pemahaman dan kesabaran khusus yang harus dimiliki oleh seorang istri. Mungkin itu pula kenapa sampai saat ini seseorang yang memiliki syndrome autisme tak ada yang menikah. Di samping karena secara pribadi mereka sulit menerima kehadiran orang lain dalam dunianya, juga karena belum ada orang yang benar-benar sanggup hidup selamanya dengan orang yang memiliki keterbelakangan. Dibutuhkan kesabaran dan keikhlasan luar biasa untuk itu. "Kalau kau mau tahu, sekarang pejamkan matamu, Jack," pinta Naira. Tanpa bantahan Jack mengikuti apa yang dimintanya. Pria itu memejamkan mata rapat-rapat. Memandangi wajah Jack yang terpejam sempurna menghadirkan rasa bersalah dalam diri Naira. Pernikahannya sendiri sudah merupakan sebuah kesalahan. Lalu yang terjadi di malam pertama menambah daftar dosa yang dilakukannya. Naira meneteskan air mata kembali. "Maafkan aku, Jack," lirihnya dalam hati. "Jika pria semalam itu bukan kau, maka tolong maafkan aku." Naira menjinjit kakinya, sedikit menarik wajah Jack, barulah mencium kening pria itu. Beralih dari kening, ciuman Naira pindah ke netra Jack yang terpejam. Pindah ke pipi, hidung, kemudian berakhir di bibirnya. Jack menggeliat. Ini pertama kalinya ia merasakan ciuman yang bertubi-tubi di wajahnya dari seorang wanita selain ibunya. Wajahnya merona malu. Melepaskan diri dari rengkuhan Naira. Jack kemudian berlari keluar kamar. Michael yang duduk di ruang tengah, menoleh ke arah tangga saat mendengar suara langkah kaki yang berderap cepat. Dilihatnya Jack berlari sambil memegang wajah. Michael pun bangkit berdiri, mendekati pria itu. "Ada apa Tuan Jack? Kau kenapa?" Jack tak menjawab, tetapi lebih memilih menabrakkan badannya dalam pelukan Michael. Derap langkah yang lain terdengar pelan dari arah tangga, Michael pun menoleh sekali lagi. Naira tersenyum sinis padanya. Barulah pria itu mengerti apa yang terjadi. Dalam hati sang pelayan tersenyum menyeringai. "Sepertinya mainan baru Anda berhasil membuat Anda senang, Tuan," bisiknya pelan pada Jack yang masih memeluknya erat. "Jack." Panggil Naira pada suaminya. Netranya tak lepas dari sosok Michael yang juga tengah mengunci pergerakannya. "Malam ini, bolehkah aku meninginap di kamarmu?" Terkejut dengan pertanyaan Naira, Jack Venien mengangkat wajahnya. Ia menoleh. Tanpa sengaja netranya menangkap manik hitam teduh Naira. Hati pria itu bergemuruh, ia pun kembali memalingkan wajah, kemudian mengangguk senang. Setelahnya Jack menarik tangan Michael membawanya pergi dari sana. Netra Naira mengantar kepergian mereka. Barulah setelah keduany menghilang di balik pintu utama, tubuh wanita itu ambruk menyentuh lantai. Tangisnya pun pecah. Kali ini ucapan Bibi Darsi telah mempengaruhi emosi suaminya. Lalu setelah ini siapa lagi yang akan menghasut pria malang itu. Mungkinkah ia bisa bertahan hingga masa kontraknya berakhir? Bagaimana jika Michael mengatakan pada Jack kalau mereka telah menghabiskan malam berdua. Kalau istrinya telah tidur dengan pelayan pribadinya. Apa yang akan dilakukan Jack jika saat itu tiba. Naira tak bisa memikirkan apa yang akan terjadi padanya di masa depan. Itulah kenapa ia menangis. Lalu bagaimana pula jika ia hamil? Apa ia harus berbohong dan mengatakan kalau anak yang dikandungnya nanti itu milik Jack. Satu-satunya yang diharapkannya hanyalah agar Tuhan tak membuatnya hamil, hanya karena tidur sekali dengan pria itu. Tetes demi tetes air mata terus meluruh jatuh membasahi wajah cantik Naira. Sementara Bi Darsi memandanginya dari kejauhan. Sesaat ia merogoh telepon seluler di saku epronnya, kemudian menghubungi seseorang. "Sore, Tuan. Nyonya Naira sekarang sedang menangis di ruang tengah." Lawan bicaranya pun tersenyum di ujung telepon. "Bagus sekali. Awasi terus, aku mau lihat sampai di mana ia akan menyembunyikan apa yang dialaminya. Sebaiknya dia jujur pada suaminya, atau aku akan menendangnya keluar dari rumah itu." "Lalu bagaimana dengan nanti malam, Tuan? Nyonya akan tidur dengan Tuan Jack." "Berikan saja obat tidurnya dan semua akan beres." "Baik, Tuan." Telepon pun ditututp. Bi Darsi tersenyum, merapikan penampilannya lalu berderap keluar dari kamarnya. Langkahnya sedikit tergesa menuju Naira yang perlahan bangkit dari duduknya. "Nyonya, apa yang terjadi? Apa Nyonya sakit? Kenapa Anda duduk di sini?" "Tidak apa-apa, Bi. Aku baik-baik saja. Hanya sedikit pening, tapi tidak apa-apa." Naira mengabaikan uluran tangan Bi Darsi, memilih melangkah menjauh sambil memegangi kepalanya yang berdenyut. "Oh, ya, Bi. Mulai hari ini aku minta Bibi hati-hati dalam bicara. Atau kekacauan besar akan terjadi di rumah ini." "Ma-maafkan saya, Nyonya." "Tidak apa-apa, aku sudah memaafkannya. Tapi lain kali aku mohon jangan mencoba mempermainkan emosi Jack, atau semua akan berakhir seperti tadi." Tanpa menunggu jawaban dari Bi Darsi, Naira pun melangkah menjauhi wanita itu. Berderap pelan menuju kamar pribadinya. Naira merebahkan dirinya di atas ranjang. Apa yang terjadi semalam kembali menyapa. "Tidak mungkin Michael, 'kan? Apa yang harus kulakukan? Apa aku harus bertanya langsung padanya. Tapi melihat reaksi Jack tadi, rasanya tak mungkin kalau Jack yang bercinta denganku semalam." "Ibu, apa yang harus kulakukan?" Naira meraba perutnya. "Bagaimana kalau aku hamil?" Naira memiringkan wajahnya menghadap ke kanan. Semilih angin bertiup melalui jendela, membelai tubuhnya yang tertidur dengan pikiran kacau. Naira mencoba mengistirahatkan diri. Baru beberapa menit netranya terpejam sebuah ketukan pintu membangunkannya. "Masuk saja, pintunya tak terkunci," sahutnya saat mendengar suara Bi Darsi yang berdiri di balik pintu. "Ada apa, Bi?" tanya Naira, memperbaiki posisinya. Wanita itu terduduk di atas ranjang dengan kaki menjuntai menyentuh lantai. "Di bawah ada Tuan Jimin, Nyonya." "Tuan Ji-min?" Dahi Naira berkerut penuh tanya. "Tuan Jimin siapa? Apa dia sahabat Jack atau salah satu anggota keluarga Jack?" "Jadi Nyonya belum tahu Tuan Jimin? Apa Michael belum menceritakannya?" Naira menggeleng. Michael memang belum menuturkan apa pun mengenai keluarga Jack Venien dan teman-temannya. Karena Naira merasa waktunya di sana hanya setahun jadi ia tak begitu tertarik juga untuk mengetahui semua saudara suaminya yang kebetulan ada di luar negeri. Bibi Marinda pun tak menceritakan apa-apa padanya. "Pantas saja Nyonya tidak tahu, harusnya Michael menceritakan soal kehidupan pribadi Tuan Jack. Paling tidak Nyonya harus tahu kalau Tuan Jack itu kembar." "Kembar?" "Iya, Nyonya, dan Tuan Jimin Venien adalah kakak kembar Tuan Jack Venien," tutur Bi Darsi membuat Naira menelan ludah kelu. "Kembar ... bagaimana jika pria bernama Jimin itu bertanya soal pernikahan ini?" gumam Naira dengan wajah pucat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN