Suasana hening menyelimuti kamar itu. Seakan tak semua penghuni begitu ketakutan hingga detak jam dinding pun terdengar pelan. Jimij masih mematung dengan wajah terluka dan jemari menggenggam tangan sang istri. "Naira ...," lirihnya pelan. "Sekarang lukamu sudah tak apa-apa. Tolong maafkan adikku." Jimin mengindahkan perkataan sang istri dan memilih memerosotkan diri untuk bersimpuh di lantai. "Maafkan aku," ucapnya dengan isak tangis. Tangan masih menggenggam jemari istrinya. Jimin menunduk dalam tangisan dan ratap permohonan maaf. Naira mengangkat wajah. Menatap foto pernikahan mereka, ia mencoba berdamai dengan hatinya yang terluka dan hancur begitu dalam. Kejadian di tempat resepsi sangat mempermalukannya. Saat itu ingin rasanya ia berlalu pergi, tetapi puluhan pasang mata yang te