Curhat Terbuka

1058 Kata
Dialah Citra Anindya, seorang gadis manis dengan tubuh tinggi kurus yang berasal dari Bandung. Rambut hitam lurus sebahu yang selalu dibiarkan tergerai begitu saja menampilkan pembawaannya yang lincah dan selalu bersemangat. Seusai lulus kuliah dari jurusan akuntansi, dia segera mendapatkan pekerjaan di bidang yang sesuai setelah melamar ke beberapa tempat. Orangtuanya menghendaki anak gadis mereka bekerja di seputar kota Bandung saja. Mereka menilai anak gadis memang seharusnya tak boleh berkelana jauh dari rumahnya. Beruntung akhirnya Citra memang berhasil lolos interview di P.T. Bisco. Selain letaknya yang masih di pusat kota Bandung, Citra juga cocok dengan gaji yang ditawarkan perusahaan untuknya. Anak tunggal dari Pak Galih dan Bu Widya itu terbiasa berkelimpahan kasih sayang semenjak masa kecil. Hal yang membuatnya menjadi pribadi penuh kasih yang juga merasa bahwa semua orang di sekelilingnya selalu sayang padanya. Naif memang. Mungkin itu pula yang membuatnya merasa bahwa sedikit saja perhatian dari pria itu berarti adalah ungkapan cinta. Padahal bukan begitu konsepnya. Terbukti saat ini apa yang dikhawatirkan Hesty terhadap keseriusan sikap Rendra pada Citra ternyata benar. Rendra mempermainkannya. Rendra bilang mereka hanya jalan biasa tanpa ada apa pun yang lainnya! Sementara dalam hati Citra sendiri, ia sudah merasa cocok dalam segala hal dengan pria itu. Ia bahkan seolah telah akan siap lahir batin kapan pun Rendra mengajaknya ke jenjang yang lebih serius. Astaga! Betapa bodoh dirinya. Kini Citra menangis tersedu di hadapan Hesty. Ia menelepon sahabatnya itu untuk bertemu di sebuah cafe sepi dekat rumah Hesty. Ia ingin segera curhat segala yang dialaminya barusan. Sebuah goncangan hebat yang memporak-porandakan hidupnya secara mendadak dan tanpa disangka-sangka. Hesty yang tergesa menemuinya di cafe tersebut terperangah melihat banyaknya tissue yang berceceran di meja di hadapan Citra. Gadis itu tampak sangat amburadul. Segera dibantunya memunguti tissue yang berserak dan membuangnya ke tong sampah di pojokan sekat dinding dekat meja mereka. Paling tidak agar pengunjung lain tak terlalu menyoroti tingkah absurd sahabatnya yang sedang patah hati itu. "Tuuh, kan. Apa kubilang. Kamu, sih. Makanya jangan terlalu percaya sama lelaki," tukas Hesty berkomentar. Masih terisak, Citra tak menggubris segala yang diucapkan Hesty. Yang memenuhi otak dan hatinya kini hanya perasaan sakit dan perih. Hesty pasti tak mengerti bagaimana rasanya patah hati di saat sang pasangan bahkan tak pernah merasa ada cinta di antara mereka. Astaga! Dianggap apa memangnya dia selama ini? Sementara dirinya sudah menata masa depan sedemikian rupa dengan sosok Rendra sebagai pusat di dalamnya. What a big hell. Citra terus terisak. Tak peduli berapa belas pasang mata di seluruh ruangan cafe yang melempar pandang ingin tahu ke arahnya. Citra sungguh tak begitu peduli. "Sudah, sudah ... dia jawab gimana tadi memangnya? Ceritain lengkapnya, dong," pinta Hesty setelah dirinya siap duduk di sebelah Citra sambil mengusap-usap bahu sahabatnya yang tengah sesenggukan itu. Citra kemudian meluapkan semua yang terjadi di cafe sebelumnya bersama Rendra. Apa saja yang dikatakannya dan bahwa semuanya telah berakhir bahkan tanpa ada yang pernah memulainya. "Keterlaluan banget, nggak, sih, Hes, bodohnya aku? Huhuhu ...," tangis Citra semakin membahana. Hesty yang tak dapat lagi berkata apa pun untuk menghibur Citra karena gadis itu tengah dalam posisi tersakitnya, hanya bisa terdiam. Namun, ia senang Citra mau menuruti sarannya untuk meminta kejelasan kepada Rendra. Daripada terus dibodohi oleh kenaifannya sendiri, kan lebih baik ia sadar sekarang. Meskipun harus sakit begini, rasanya itu yang terbaik, pikir Hesty dalam diam. Selesai bercerita semua kepada Hesty, Citra merasa sedikit lega. Memang benar kata orang, bahwa hanya dengan bercerita dan didengarkan saja, beban dalam hati bisa banyak berkurang. "Berarti Rendra emang bukan yang terbaik buatmu, Cit. Sudah, lupain aja cowok kayak gitu," bujuk Hesty akhirnya. Citra mengangguk pasti. Ia yakin dirinya juga pantas dicintai. Dan suatu saat pria yang terbaik yang mencintainya itu akan hadir pula dalam hidupnya. Entah bagaimana caranya dan kapan waktunya, pikir Citra menghibur dirinya sendiri. Akhirnya Hesty dan Citra hanya memesan minuman karena di antara mereka berdua tidak ada yang bernafsu makan. Tak berapa lama kemudian, Hesty pamit pulang duluan karena ia ada janji dengan pacarnya sore itu. Tinggallah Citra duduk termenung seorang diri di meja cafe yang sudah semakin sepi. Ia belum mau pulang karena matanya masih sembab. Tak ingin rasanya ia memperlihatkan wajah yang seperti itu kepada kedua orangtuanya. Ibunya nanti pasti akan cemas dan memberondongnya dengan banyak pertanyaan. Ah, tak sanggup rasanya kalau harus menjelaskan berulang, batinnya dalam diam. "Boleh duduk di sini?" Tiba-tiba ada sesosok pria yang berdiri di kursi depan Citra. Pria dengan tampilan casual kaos oblong dan celana jeans belel itu kemudian langsung duduk saja tanpa menantikan jawaban Citra. Citra menatapnya heran. Bukankah masih banyak tempat kosong, pikirnya bertanya-tanya seraya melihat ke seantero ruangan. "Maaf, aku ingin sedikit bicara denganmu," ucap pria itu dengan nada serius. Citra memperhatikannya dengan teliti. Mencari tahu apakah ia pernah mengenal pria itu atau tidak. Ia memiliki keterbatasan dalam hal mengingat nama serta wajah orang yang tak terlalu sering ditemuinya. "Apa kita saling mengenal?" tanya Citra memastikan. Pria itu menggelengkan kepalanya, "Tidak. Aku tadi duduk di sebelah situ." Telunjuknya terarah pada satu set meja kursi di seberang tempat duduk mereka saat ini. "Lalu ... maaf, aku mendengar dengan sangat jelas cerita kamu barusan." Pria itu berkata to the point dengan ekspresi wajah sedikit tak enak. "Ap-apa?!" Mata Citra spontan membelalak ngeri. Curhatannya didengar oleh pria! Oh, Astaga! Mau ditaruh mana ini muka, pikir Citra merasa sangat malu dan kesal pada dirinya sendiri. "Sudah, tidak perlu malu begitu. Kamu sudah tersedu sepanjang sore dan seisi cafe juga sudah paham atau paling tidak, mengira kamu pasti tengah patah hati, bukan?" Tebakan pria itu yang telak semakin membuat merah padam wajah Citra. Ia merasa seolah sedang dikuliti habis-habisan oleh orang yang bahkan belum dikenalnya. Astaga, apa-apaan ini! Begini amat, sih, hidup! Teriaknya frustasi. Tentu saja dalam hati. Pria berkulit putih dengan hidung mancung itu lalu memberikan sedikit waktu untuk Citra menenangkan hatinya. Terbukti ia malah mengeluarkan ponsel dari saku jeans dan mengutak-atiknya sebentar hingga Citra siap untuk berkomunikasi kembali. "Oh, ya, kenalkan dulu, aku Bastian. Biasa dipanggil Ibaz. Nama kamu tadi, Citra, ya?" Pria itu mengawali obrolan. "Kok tahu?" Sebelah alis Citra terangkat heran. "Sudah kubilang kamu dan temanmu tadi terlalu keras berbicara kalau dalam sesi curhat. Aku mendengar semua perkataan kalian dengan jelas." Ibaz mengibaskan tangan seraya mencoba menjelaskan. "Ya ampuuun!" erang Citra mendadak merasa lebih malu lagi dari sebelumnya. Jadi tadi semacam curhat terbuka, gitu? Huwwaaaaang, Citra rasanya ingin menghilang saja dari sana. Malu tingkat dewa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN