Petuah Ibaz

1108 Kata
Ibaz mendiamkan ekspresi Citra yang bak sedang kebakaran jenggot. Ah, pria itu memang kebanyakan diam dan berwajah datar. Pria hampa ekspresi. Hal ini akan disadari Citra di kemudian hari. "Nah, jadi, kamu mau dengerin satu nasihat dariku, tidak?" Akhirnya Ibaz bertanya kalem. Citra mengernyitkan mata hingga keningnya berkerut, "Nasihat apa tuh?" "Yah, nggak satu nasihat, sih. Ada banyak yang mau aku sampaikan sebenernya. Tapi kalau nggak minat, nggak apa. Aku pergi sekarang." Pria yang menyebut dirinya Ibaz itu sudah akan beranjak dari kursinya sebelum akhirnya Citra memberanikan diri untuk berkata, "Apa? Mau ngomentarin juga betapa bodohnya aku, gitu?" tuduhnya sarkastik. Hal mana langsung memancing Ibaz untuk melancarkan niatnya tadi. "Kamu nggak bodoh, kok. Ah, maksudku K kalian para wanita nggak bodoh sebenarnya. Kalian cuma naif. Kalian terlalu memandang sikap pria dari kacamata yang salah. Aku sudah lihat banyak sekali wanita sepertimu yang—" "Tunggu! Wanita sepertiku? Wanita seperti apa tuh maksudnya?" Citra memotong perkataan Ibaz yang mulai menjurus kepada permasalahan gender. Bahkan kalau pun mereka saling kenal, menurutnya itu sangat tidak sopan. "Oh, ayolah. Jangan libatkan sesuatu yang kalian agung-agungkan sebagai kepekaan itu, ya. Aku sedang sangat serius. Kamu dengar dulu pembicaraanku. Kalau sudah, baru silakan memprotes sesuka hati, oke?" Citra pun terdiam dan mencoba mendengarkan. Pria dengan suara berat bernada tegas dan tak mau dibantah itu melanjutkan, "Seperti kubilang tadi. Para wanita memang terlalu memandang pria lewat kacamatanya sendiri. Mereka seolah lupa bahwa kedua jenis gender ini sangat berbeda satu sama lain, khususnya dalam hal pemikiran." Citra mulai tak tenang duduknya. Ia merasa pria ini seolah akan kembali mengulitinya. Namun, ia masih terdiam ingin tahu apa kelanjutan perkataan Ibaz. "Kalian terlalu menghibur diri sendiri dengan berkata bahwa pria itu mencintai kalian dengan caranya, yang meski tak diperlihatkan perhatiannya, tetapi dalam hati ia mencinta. Astaga! Sungguh, itu semua omong kosong, kau tahu?" lanjut Ibaz lugas. "Seorang pria tak akan mau bersusah payah menahan perasaannya bila memang dirinya menyukai si wanita. Apalagi berpura-pura tidak perhatian. Tidak akan! Mereka akan langsung mengutarakannya pada kesempatan pertama dan saat itu juga. Itu faktanya!" lanjut Ibaz tanpa menjeda sekedar memberi waktu Citra untuk membantah perkataannya. "Jadi, tolong, setelah ini, hapuskan pemikiran-pemikiran yang salah tentang pria. Mereka itu makhluk paling realistis dan logis yang pernah ada di bumi. Sangat jauh berbeda dengan kaum wanita yang terlalu absurd dan rumit." Masih dengan nada sok tahunya, Ibaz terus memberikan apa yang dimaksudkannya sebagai pencerahan untuk Citra. Gadis itu terpukau mendengar penjelasan pria di hadapannya. Jarang sekali, bukan, ada pria yang menjabarkan mengenai perasaan kebanyakan kaumnya sendiri secara terbuka begitu? Ia semakin tertarik mendengar wejangan dari Ibaz. "Tunggu, mau aku pesenin minum, nggak? Kayaknya bicara sepanjang itu bakalan butuh banyak cairan, deh," usul Citra menjeda. Ibaz mendengkus dan mengacungkan sebuah kaleng minuman bersoda yang dibawanya dari tadi seraya menggelengkan kepala. Citra bahkan tak memperhatikan kalau pria itu sudah membawa minuman. Ah, fokusnya benar-benar telah teralihkan. Ia benci terlihat bodoh di depan pria itu. Pria asing yang dengan seenak jidatnya tiba-tiba saja memberikan wejangan super panjang untuknya–dan para wanita pada umumnya. "Sudah mengerti kesalahanmu, kan?" Ibaz menanyai Citra kembali pada pokok pembicaraan mereka. Dia sedang tak punya waktu untuk basa-basi. Kalau bukan karena kasihan dengan gadis polos itu tadi, ia pasti tak akan repot-repot menghabiskan waktunya di situ. Yang ditanya menampilkan wajah tak bersalah. Ia mengedikkan bahunya sambil berkata, "Menurutku justru pria yang terlalu berbelit-belit. Kalau suka ya bilang aja langsung. Kalau nggak ya jangan deket-deketin wanita, dong. Itu yang bikin salah paham." Mendengar pendapat Citra, spontan Ibaz menjadi kesal. Gadis ini susah juga dibilangin, pikirnya. "Makanya kan ini aku lagi bilangin kamu. Jangan sampai kamu salah paham lagi mengartikan sikap pria. Mereka akan bilang cinta langsung tanpa ditunda kalau memang mereka cinta. Itu poinnya." "Jadi, pria deketin wanita itu gak selamanya karena mereka suka, gitu maksud kamu?" Citra menarik kesimpulan pendeknya. "Yaah, boleh dikatakan begitu. Bisa aja mereka tertarik ngobrol atau bercanda denganmu, hang out bersamamu. Tapi ingat, selama dia tidak bilang cinta, itu artinya memang tidak ada rasa itu dalam hatinya." Ibaz kembali menegaskan. Citra kini terhanyut oleh wejangan Ibaz. Batinnya pelan-pelan sepakat dengan segala yang disampaikan pria itu. Selama ini ia memang terlalu menipu dirinya sendiri dengan pembelaan bahwa kata cinta tak terlalu dibutuhkan dalam sebuah hubungan. Yang penting dia selalu ada itu sudah cukup. Padahal, si prianya malah merasa tidak sedang ada apa-apa antara mereka berdua. Sungguh ironis. Citra kembali malu dan merasa menjadi wanita paling bodoh sedunia. Mungkin hanya dirinya yang mau saja ditipu pria sampai sebegitu lamanya. Bernaung dalam harapan semu yang digaungkan oleh perasaannya sendiri tanpa ada timbal balik dari sang pasangan. Menyedihkan! "Heii ...," tegur Ibaz sembari menjentikkan jemarinya ke arah Citra yang tengah melamun. Astaga! Sempat-sempatnya gadis itu melamun. Ibaz tak habis pikir dengan gadis di hadapannya itu. Tampaknya ia salah mengira bahwa urusan itu akan makan waktu sebentar saja. Rupanya butuh waktu lama bagi gadis itu untuk mencerna segala ucapannya. "Eh, so-sory,apa tadi?" Gelagapan Citra tersadar kembali dari lamunan. Sesaat tadi ia terseret ke masa-masa indahnya bersama Rendra. Yah, mungkin masa indah di matanya saja. Sudah jelas tidak seperti itu tanggapan Rendra kepadanya. Cinta memang terkadang begitu kejam mempermainkan lakonnya. "Aku tanya apa kamu sudah paham betul gimana tanda-tanda pria itu mencintaimu atau tidak?" ulang Ibaz tak sabar. "Ah, poinnya dia harus bilang cinta dulu untuk kita bisa yakin, kan?" Citra mencoba menjawab sepemahamannya. "Bagus. Dia akan bilang cinta bila dia memang cinta. Kalau tidak, berarti memang tidak. Titik," pungkas Ibaz. Pria itu lalu melirik kepada arloji yang melingkar di pergelangannya, kemudian gegas bangkit berdiri. "Oke, kurasa cukup untuk sekarang. Masih banyak sebenarnya, tapi aku harus pergi. Maaf," pamitnya. Sebelum beranjak, pria itu seperti teringat sesuatu dan kembali dengan mengulurkan kartu namanya, "Nih, kalau butuh konsultasi. Kalau sedang tak sibuk akan kujawab." Citra menerimanya dengan ragu-ragu. Merasa aneh ditawari jasa konsultasi perkara cinta oleh pria tak dikenal itu. Tapi secara keseluruhan, pria itu baik dan peduli terhadap sesama, paling tidak, dia mau meluangkan waktu untuk menasihatinya saat itu, pikir Citra. "Baik, terima kasih, Baz." Citra mengantongi kartu nama itu ke dalam saku depan blazer kerjanya. Sambil memandangi punggung Ibaz yang melenggang pergi setelah membayar di kasir, Citra mengambil kembali kartu nama itu, lalu segera memasukkan nomor ponsel yang tertera di sana ke ponselnya. Ia takut akan kehilangan kartu nama itu. Prestasinya dalam hal pengarsipan data kecil-kecil seperti itu seringkali minus. Ia kemudian bangkit dan ke kasir untuk membayar pesanan di mejanya, tetapi rupanya sang kasir bilang bahwa semua telah dibayar oleh pria barusan. Ah, Citra semakin kagum dengan Ibaz yang meskipun sikapnya dingin dan cuek, rupanya sangat pengertian dan memikirkan hal-hal kecil seperti itu. Hal-hal kecil yang teramat besar artinya bagi seorang gadis seperti Citra.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN