Chapter 13

1504 Kata
"Finisa!" Alan berseru ke arah sang istri yang baru saja ingin mencuci tangannya, mereka baru saja selesai makan malam. "Ada apa?" Finisa menoleh ke arah suaminya. "Kita ke Jakarta sekarang juga!" pinta Alan. Finisa mengerutkan keningnya. "Ada apa?" tanya Finisa. Wajah Akan berubah kaku dan pucat pasi. "Chana mengalami ledakan granat." "Apa?" Sret Tak Tak Tak Finisa melototkan matanya sambil berjalan cepat ke arah suaminya, tangan yang penuh dengan busa itu tidak dia hiraukan. "Ada apa? Chana kenapa?" Finisa bertanya lagi, dia ingin memastikan pendengarannya, mungkin saja kedua telinganya itu terganggu. "Chana mengalami ledakan granat." Jawab Alan. "Dan Aqlam." Sambung Alan. Sret Dug Dug Dug Detak jantung Finisa seperti pukulan drum yang kuat. Berita apa ini? Berita apa yang baru saja dia dengar. Wajahnya pusat pasi. Chana, sang keponakan dari suaminya menjadi korban ledakan granat, bukan hanya Chana, namun Aqlam yang merupakan keponakannya juga menjadi korban ledakan. "B-bagaimana kon-ndisi m-mereka?" suara Finisa bergetar, dia tergagu, dia tidak mampu berbicara. "Chana masuk ruang operasi, Aqlam retak tulang, itu yang aku tahu." Jawab Alam. "Allahuakbar!" wajah Finisa pucat pasi. "Aku akan segera siapkan kendaraan, kita akan di kawal ke Jakarta, Dimas juga akan ikut." Ujar Alan. "Baik," sahut Finisa. "Sekarang." Pinta Alan. Alan berjalan keluar dan melihat persiapan perjalanan mereka ke Jakarta. Orang-orang Basri yang menjaga kediaman utama Basri di Bandung berceceran banyak orang. Mereka mempersiapkan perjalanan tuan dan nyonya mereka ke Jakarta. Beberapa bodyguard kelas atas yang terlatih yang juga merupakan ketua dan wakil dari keamanan Basri ikut mengawal, mereka sedang membahas strategi siapa yang tinggal untuk menjaga rumah utama Basri dan siapa yang ikut ke Jakarta dengan Alan. °°° "Alan!" Bruk Finisa berteriak diatas paru-parunya. Wajahnya pucat pasi. Dia terduduk kaku dilantai ketika baru saja mendengar kabar yang menimpa keponakannya yang lain. Mereka ingin pergi ke Jakarta untuk melihat kondisi dari Chana, namun sesuatu terjadi. Alan dan Finisa tinggal di Bandung, karena rumah tua Basri berada di Bandung, Alan sebagai pewaris harus tinggal disana, bisnis utama Basri di Bandung menjadi tanggung jawab dari Alan, rumah Basri di Jakarta telah ditinggali oleh Popy dan suaminya. Tak Tak Tak Alan berlari ketika mendengar teriakan histeris sang istri. "Nisa!" Sret Finisa melihat ke arah suaminya. "Jangan pergi ke Jakarta!" Finisa berteriak. "Hah?" "Kenapa? Alan melihat bingung ke arah istrinya. Tak Tak Tak Dimas berjalan cepat ke arah orang tuanya, dia yang sudah berada di mobil kembali turun dan menemui ibunya, teriakan Finisa sangat besar, bahkan mengagetkan seluruh pelayan di kediaman tua Basri. "Naufal hilang di PLTA Saguling!" Finisa berteriak histeris. "Apa?!" Alan melototkan matanya. °°° "Dimas, tetap disini dengan mama, papa akan ke tempat kemah Naufal." Alan berjalan cepat ke arah mobilnya setelah dia mengatakan kalimatnya. Dimas mengangguk. Seorang pengawal telah selesai memeriksa keamanan mobil yang akan dinaiki oleh Alan, dibelakang mobilnya, ada lima mobil jip yang akan mengikutinya ke tempat kemah dimana Naufal hilang. Ada juga dua puluh pengawal yang menjaga rumah tua Basri. Brroom brroom Mobil itu melaju meninggalkan gerbang lambang keluarga Basri berupa bunga Peony. Peony mewakili karakter berkelas dan natural. Bunga ini juga melambangkan keberuntungan, dan dikenal sebagai bunga kemakmuran dan kehormatan. Peony juga terkadang dikaitkan dengan pengundang jodoh dan keabadian pernikahan. Inilah yang menjadi lambang keluarga Basri dari beratus-ratus tahun yang lalu. °°° Brroom Ciiitt Alan dengan cepat turun dari dalam mobil, selama perjalanan dari Bandung ke PLTA Saguling, detak jantungnya tak menentu. Lama perjalanan yang biasa ditempuh dari Bandung ke PLTA Saguling adalah satu jam empat puluh menit itu, dia tempuh dengan kecepatan maksimal menjadi satu jam. Namun dalam perjalanan satu jam itu seakan rasanya satu abad. Keringat dingin memenuhi dahinya dan seluruh tubuhnya. Keponakannya hilang saat berkemah, dan ini pasti bukan kebetulan, mengingat bahwa keponakannya yang lain juga mengalami kecelakaan pada hari dan jam yang sama. Satu jam, itu adalah waktu yang lama dia tempuh, satu jam sudah kejadian hilangnya sang keponakan dia dengar. "Hmmmmmpphh!" "Hiks! Hiks! Hiks!" "Mama! Mama! Randi mau pulang!" "Hiks! Hiks! Hiks!" Terdengar suara-suara jeritan tangisan dari anak-anak yang melakukan kegiatan kemah. Tak Tak Tak Seorang polisi perwira berjalan mendekat ke arah Alan. "Alan!" panggil polisi itu. Alan menoleh ke arah polisi itu. "Kami baru saja tiba dan baru mengamankan tempat kejadian, kami juga sudah mulai mengarahkan lima belas personil kepolisian untuk mencari, untuk sementara ini saja, dalam beberapa menit lagi akan ada personil polisi tambahan dari kantor polisi terdekat." Ujar perwira polisi itu. "Abang Jamil, aku akan mencari keberadaan keponakanku, ada dua orang, Naufal dan Marwa," ucap Alan. Perwira polisi yang bernama Jamil itu mengangguk mengerti, dia tahu bahwa Naufal dan Marwa adalah keponakan dari Alan, sebab Alan merupakan adik sepupu dari teman seangkatannya di akademi kepolisian, Alamsyah. Tak Tak Tak Alan dan lima belas orang-orang Basri mulai mencari, para bodyguard itu sangat terlatih, mereka membuat formasi untuk melindungi Alan, tuan mereka. °°° "Sial! Polisi sudah ada di tempat kejadian! Kita harus cepat menemukan bocah itu secepatnya!" seorang pria berusia empat puluhan terlihat sangat kesal. "Menyusahkan saja! Dasar bocah busuk!" umpat pria itu. "Apapun dan bagaimanapun cara, kita harus mencarinya malam ini, jangan sampai lolos, orang-orang Basri pasti akan datang cepat atau lambat!" pria itu memberi perintah kepada anak buahnya melewati earphone. "Siap." Terdengar sahutan dari anak buahnya dari earphone. "Heum! Lihat saja nanti jika aku menangkapnya! Akan aku kuliti dia sebelum menghabisinya, menyusahkan!" kesal pria itu. Glik Bunyi gemeletuk gigi-gigi dari pria itu. Terlihat dia sangat kesal dengan Naufal yang berhasil lolos dari kejarannya. °°° "Huh! Huh! Huh!" deru napas Bilal melaju. Dia baru saja mendapat telepon dari kediaman Basri di Jakarta, pria yang telah menjadi jaksa itu menatap nyalang ke arah teleponnya. Sayang sekali dia tidak bisa pergi mencari keponakannya yang hilang dan juga tidak bisa melihat kondisi terkini dari keponakan perempuannya yang mengalami ledakan granat. Posisinya sebagai jaksa yang ditempatkan di Manado itu membuat penghalang dalam waktu dan jarak. Sret Glik Bilal mengepalkan kuat kepalan tangannya, buku-buku jarinya memutih, terlihat urat Vena yang timbul akibat kepalan itu. Gigi-giginya bergesekan karena kuatnya rahang yang dia eratkan. "Bilal..." terdengar suara bergetar takut dari belakangnya. Sret Bilal berbalik ke arah sang istri. "It-itu...kabar...dari...Jakarta..." wanita 30 tahun yang merupakan perawat itu menatap takut ke arah ponselnya. Dia juga mendapat kabar buruk dari Jakarta mengenai musibah yang dialami oleh kedua keponakan dari suaminya. "Kakek...dan nenek...em...stroke..." ujar Mirandi. "Huh! Huh! Huh!" Bilal mencoba menenangkan pernapasan dan emosinya. Ya, kakek dan neneknya terkena stroke. Di usia mereka yang tua dan renta, sangat mudah bagi kakek dan neneknya sakit. "Aku akan mengambil cuti dan kamu juga, kita akan ke Jakarta." Ujar Bilal setelah dia menenangkan emosinya. Miranda, sang istri mengangguk. °°° "Liham! Bagaimana ini? Hiks! Hiks! Hiks!" Casilda yang sedang hamil tujuh bulan itu menangis ketakutan ketika mendengar kabar dari keluarga suaminya. Liham yang kini telah menjadi penguasa dari Moch Waffe itu terlihat pucat pasi wajahnya. Semenjak dia menikah dengan Casilda dan pindah ke Berlin, perusahaan senjata raksasa milik Aran menjadi tanggung jawab Liham. Karena Aran merupakan anak tunggal dan satu-satu anak dari keluarga Moch, dia tidak punya saudara atau keluarga lain yang bisa meneruskan bisnis keluarga Moch, Aran hanya memiliki satu anak perempuan, dan anak perempuan itu telah menikah dengan Liham, jadi Aran mempercayakan perusahaan dan masa depan dari Moch Waffe ditangan Liham. Hap Liham memeluk istrinya, Casilda yang sedang hamil anak kedua mereka itu begitu terguncang mendengar kabar dari Jakarta. Chana mengalami ledakan granat, Naufal hilang di perkemahan, kakek dan nenek dari Liham terkena stroke, dan kondisi keluarga mereka di Jakarta sangat tegang dan penuh dengan kewaspadaan. Liham baru saja balik dari Jakarta ke Berlin, namun belum dua hari, kejadian ini menimpa keluarganya. "Cassy, kamu tetap disini, aku akan ke Jakarta malam ini juga," ujar Liham sambil memeluk istrinya. "Tidak! Emmm maksudku... maksudku disana berbahaya...mereka...mereka..." ujar Casilda keberatan, dia juga takut dengan keselamatan suaminya. "Sst!" Liham menenangkan istrinya yang sangat panik mengenai keselamatannya. "Cassy, aku akan pergi dengan orang-orang Moch, ada banyak bodyguard Moch yang bisa diandalkan, situasi disana sangat membahayakan, aku tahu itu, namun aku tidak bisa berdiam diri, aku harus ke sana, apakah kamu mengerti?" ujar Liham kepada istrinya yang masih dipelukannya. Cassilda terlihat menangis sesenggukan. Dia sangat takut jika terjadi sesuatu pada suaminya. Lama dia berperan dalam batinnya. "Tidak apa-apa...tidak akan terjadi apa-apa padaku..." ujar Liham membujuk istrinya lagi. Setengah menit kemudian Cassilda mengangguk dengan berat hati. "Janji padaku, kamu harus mengutamakan keselamatanmu," ujar Cassilda serak. Liham mengangguk. "Aku berjanji." °°° "Kau akan pergi malam ini?" Aran bertanya serius ke arah anak menantunya. "Ya, pa." Jawab Liham. Aran terlihat berpikir. "Aku akan menambah pengawal dan kru khusus penyelamatan untukmu ke Jakarta," ujar Aran. Liham mengangguk mengerti. Elizabeth yang sedang memeluk putrinya itu terlihat khawatir dengan keadaan di Jakarta. Kabar ini merupakan kabar terburuk yang pernah dia dengar. "Mereka akan membawa beberapa senjata, karena mereka adalah tentara bayaran dari Moch, kau mengerti?" ujar Aran. Liham mengangguk mengerti. "Ya, Liham mengerti." °°° "Tini, kau tetap dirumah, aku akan ke rumah sakit melihat kondisi Aqlam dan Chana." Ujar Ghifan mengingatkan istrinya. Syarastini mengangguk mengerti. Adik dari Syarastya Alila Tinar, mantan saingan cinta dari Popy itu tahu apa yang harus dia lakukan. "Sayang, hati-hati, aku akan menelepon papa dan om Heru," ujar Syarastini. Ghifan mengangguk, pewaris dari Farikin's Seafood itu mengecup bibir istrinya sebelum pergi ke rumah sakit melihat kondisi dari Chana dan Aqlam. Tak Tak Tak Brak Ghifan masuk ke dalam mobil dengan kasar. "Kurang ajar! Berani sekali mereka pada keponakanku!" Ghifan terlihat murka. Kret Pria 38 tahun itu mengeratkan pegangan setir mobil. Broom broom Mobil yang dia naiki melaju ke rumah sakit milik Zaidan Angta, anak dari tantenya Misya dan Febrian. Drrt drrt drrt Ponselnya berdering ketika dia sedang menyetir mobil. Ghifan merogoh ponselnya, dia mengaktifkan earphone karena dia sedang mengemudi. "Halo Gai--" "Cepat ke rumah sakit Zaidan dan suruh orang-orang Farikin ke PLTA Saguling sekarang juga! Naufal hilang disana!" "Apa?!" Cciiiittt "Sial!" °°° Saya menulis cerita ini di platform D.R.E.A.M.E dan I.N.N.O.V.E.L milik S.T.A.R.Y PTE. LDT Jika anda menemukan cerita ini di platform lain, mohon jangan dibaca, itu bajakan.  Mohon dukungannya. IG Jimmywall Terima kasih atas kerja samanya.  Salam Jimmywall.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN