Chapter 43

2089 Kata
"Elonzo mati, petunjuk kita hilang." Busran terlihat memijit pangkal hidungnya. Randra duduk diam di kursi melihat sang istri yang masih belum bangun dari stroke. "Semua petunjuk dimusnahkan oleh orang di belakang layar," Nibras membuka suara. "Hampir saja kita menemukannya," ujar Busran. "Ada satu kesamaan yang aku temukan," Gaishan memberitahu ke arah Busran dan yang lainnya. "Apa itu?" Busran menoleh ke arah anak sulungnya. "Waktu kematian Elonzo hampir sama dengan waktu ledakan mobil yang dinaiki oleh Fathiyah," ujar Gaishan. "Target mereka adalah anak-anak Eric, dugaanku mungkin karena Eric tahu sesuatu yang penting dari mereka, jadi mereka memperingati Eric dengan cara menyakitinya anak-anaknya," lanjut Gaishan. "Itu cucuku! Kurang ajar sekali mereka menyakiti cucu-cucuku! Lihat saja, begitu aku dapat mereka, aku sendiri yang mematahkan kaki tangan mereka!" Busran terlihat marah. Dua orang cucunya mengalami hal trauma. Beruntung mereka cepat datang ke tempat kejadian, jika terlambat barang sedetik saja, nyawa dua cucu dan menantunya hilang. Apalagi ketika dia tahu bahwa cucu perempuannya yang menjadi target, marahnya Busran hampir melebihi marah sang ayah. "Dia bersembunyi di Kolumbia, Cartagena, cari anak buah Elonzo di Cartagena, mereka pasti masih ada di sana," ujar Randra. "Sudah, Eric sudah lebih dulu bekerja sama dengan pemerintah setempat, mereka tidak akan mengabaikan permintaan Prancis," ujar Busran. "Orang-orang Nabhan dalam perjalanan ke sana," ujar Busran. Randra mengangguk mengerti. °°° "Chana, apakah kamu ingin jalan-jalan di sekitar rumah sakit? Udara segar sangat bagus untukmu," ujar Aqlam, dia tersenyumlah lembut ke arah Chana. Chana melihat sekelilingnya, lalu dia mengangguk. "Aku akan menggendong kamu untuk duduk di kursi roda," ujar Aqlam.  Dia menyingkirkan selimut yang menutupi Chana lalu Aqlam menggendong Chana untuk duduk di kursi roda. Pelayan membantu mengurusi tiang infus.  "Setelah sarapan, bagus untuk jalan-jalan sebentar," ujar Aqlam. Chana hanya mengangguk saja. Dia merasakan apa yang dia lihat ini sungguh hal yang baru. Dia belum terbiasa berbicara dengan orang-orang yang datang menjenguknya, namun terhadap Aqlam dia mereka agak berbeda. Dia tidak tahu apa itu. Mungkin karena Aqlam mengatakan bahwa dia adalah tunangannya. Aqlam memposisikan hati-hati kedua tangan Chana di pangkuan gadis itu. Aqlam mendorong kursi roda keluar dari ruang rawat Chana. Ketika melewati koridor, terlihat Popy berjalan mendekat dengan suaminya. "Chana," ujar Popy, dia jongkok dan memegang lembut tangan putrinya. Chana melihat lama wajah sang ibu, lalu dia melihat ke arah ayahnya. Ben tersenyum, dia ikut jongkok dan memegang tangan putrinya. Ben berusaha agar matanya tidak terlihat berkaca-kaca, namun tidak bisa.  "Mama Poko bawakan stoberi kesukaan Chana, ini ada kue coklat stroberi," ujar Popy. Popy memperlihatkan kue coklat stoberi itu ke arah putrinya. Chana melirik ke arah kue coklat stoberi itu. Dia mengerutkan keningnya. "Apa aku juga suka ini?"  Popy menganggukkan kepalanya. "Tentu saja saja kamu suka sayang, kue ini kamu dan nenek Momok sering bikin waktu di rumah, ini mama Poko buat sendiri untuk Chana," jawab Popy. Chana terlihat tidak yakin. Aqlam yang melihat keraguan Chana, dia mendekat memposisikan dirinya di sebelah kanan Chana. "Chana, dulu waktu kita kecil, aku sering membawakan kamu kue coklat stroberi yang aku buat, rasanya enak, nah, bentuknya seperti kue coklat stroberi milik mama Poko," ujar Aqlam meyakinkan Chana. Kerutan bertambah banyak di kening gadis 15 tahun itu. Dia mencoba mengingat, namun tak dapat mengingat apapun. "Tidak apa-apa jika kamu tidak ingat, pelan-pelan saja ingatnya," ujar Aqlam, dia mengelus halus kerutan kening dari Chana. Chana mengangguk, dia ingin mengambil kue coklat stroberi itu, namun seperti dia lupa akan kekurangan yang dia alami. Aqlam bertindak cepat, dia meraih kue coklat stroberi itu dari tangan Poko. "Aqlam saja yang pegang kue coklat stroberi ini, Tante Poko, nanti siang Chana bisa makan," ujar Aqlam. Popy mengangguk. Aqlam tersenyum ke arah Chana. "Chana, ayo kita jalan-jalan,"  Chana mengangguk saja.  Aqlam melihat ke arah Popy dan Ben. "Tante Poko, ok Ben, ayo temani kita jalan-jalan," Ben dan Popy mengangguk. °°° Randra membetulkan selimut dari cucu lelakinya yang sedang tertidur di bed keluarga di dalam ruang rawat istrinya.  Setelah menangis cukup lama di pelukan sang kakek, Naufal duduk menjaga sang nenek, bocah tujuh tahun itu tertidur jam 2 dini hari. Randra mengusap rambut cucu lelakinya. Dia terlihat sedang berpikir. Kedua cucunya menjadi sasaran dari orang yang sama. Ya, dia yakin itu. Sebab tidak ada cucunya yang lain yang menjadi sasaran seperti Chana dan Naufal.  Anak-anak dari ketiga putranya yang lain tak ada masalah apapun. Mereka aman-aman saja. Dari hasil pencarian dari Casandra Roza, bahwa sudah beberapa minggu orang-orang yang berusaha mencelakai kedua cucunya itu sudah mengintai mereka. Terbukti dari cctv yang ada di jalan-jalan dimana kedua cucunya bepergian, seperti ke sekolah, pergi ke restoran, pergi ke taman hiburan, dan lain sebagainya. Diantara menantunya, dari Miranda, Cassilda, dan Finisa, tidak ada masalah apapun dengan Basri di masa lalu maupun masa sekarang, hubungan antar besan baik-baik saja.  Masa lalu. Randra tersadar. Dia melihat wajah cucu lelakinya yang sedang tertidur. Masa lalu. "Ruiz," Pum Jantungnya seperti dihantam palu. Dia lupa satu hal itu. Ruiz. Meskipun anak menantunya tidak lagi ada hubungan dengan keluarga Ruiz, meskipun anak menantunya telah membuang nama Ruiz, namun darah Ruiz ada dalam menantunya itu. Dan darah Ruiz itu mengalir turun ke dalam aliran darah kedua cucunya, Chana dan Naufal. "Ruiz," Randra merogoh ponsel ke dam saki celananya. Dia terlihat menelepon seseorang. Panggilan internasional dia lakukan.  Beberapa detik kemudian telepon itu tersambung. "Halo," suara dari seberang terdengar ketika mengangkat panggilan. "Silvio," ujar Randra. Silvio, nama ini sudah lama tidak dia dengar di pendengarannya lagi.  "Randra," suara Silvio dari seberang terdengar. "Kau yakin semua darah Ruiz telah mati?" tidak ada sapaan kabar ke 'besannya', namun pertanyaan. Silvio terdiam beberapa detik, lalu dia menjawab. "Darah Ruiz terkahir tahun lalu telah mati di Milan, Italia."  "Jangan kau lupa bahwa kedua cucuku di sini mengalir darah Ruiz, siapa yang memendam dendam kepada Ruiz, kau tahu itu dengan jelas, sudah aku katakan sebelumnya, pertumpahan darah Ruiz tidak ada kaitannya dengan dua cucuku ini, jika berani mengusik cucuku lagi, aku, Randra Adilan Basri tidak pernah takut membunuh orang lagi untuk kedamaian keturunanku." Suara Randra terdengar dingin tak bersahabat. Di seberang, Silvio tahu bahwa Randra sedang marah dengan apa yang menimpa cucu mereka. Sebab, cucu dia adalah cucu Randra juga. "Aku cari sekarang siapa saja yang pernah berhubungan dengan darah Ruiz yang telah mati," ujar Silvio. "Aku harap kamu punya kabar baik," balas Randra. "Ya," sahut Silvio. Klik Panggilan diakhiri oleh Randra. "Um," Naufal membuka matanya. "Kakek Ran," suaranya hilang karena terlalu banyak menangis. Randra meraih tubuh Naufal ke dalam pangkuannya. "Cuci muka lalu sarapan, setelah itu baru mandi," ujar Randra. Naufal mengangguk, namun dia terlihat memeluk kakeknya sambil menutup mata. Randra tersenyum geli melihat tingkah dari cucu lelakinya. Dia teringat lagi ketika Naufal masih kecil, cucu lelakinya itu sering bepergian bersama mereka, tidur juga sering bersama dia dan istrinya. Randra mengingat masa-masa indah dengan keluarganya, namun sekarang masa-masa indah itu hancur berantakan karena orang lain. °°° Dimas, remaja 12 tahun itu keluar dari kelas.  "Mas, kamu mau langsung pulang?" tanya seorang teman laki-laki Dimas. "Belum, jam kelas les tambahan masih ada satu jam lagi," jawab Dimas. "Kita kirain kamu mau pulang, udah pake tas," ujar teman b. Teman a mengangguk. "Aku heran, ujian bulan Mei tua, dan ini bulan April pertengahan, seharusnya ada masa-masa tenang untuk kita, tapi sekolah ini tidak," ujar Dimas. "Ya, kamu benar, kita belajar terus," ujar teman b cemberut. "Eh, gimana kalau kita bolos aja?" saran teman a ke arah Dimas dan teman b. "Ngaco kamu, Far. Jangan bikin musibah deh, pa Deni itu orangnya galak, kalau tahu kita bolos, nanti kita di strap di tiang bendera," ujar Dimas. "Halah, sekali aja, Dim. Lagian kan kita udah mau lulus, kalau lulus aku akan ke Makassar ikut ayahku di sana, kita nggak bisa jalan-jalan bareng lagi," ujar teman Dimas yang bernama Faris. Teman b dan Dimas saling melirik, lalu mereka mengangguk serentak. "Benar juga kata Faris, Dim. Dia mau ke Makassar, kita kapan lagi bisa jalan-jalan dengan Faris, ayahnya udah pindah dinas di sana, setahu aku, jadi jaksa itu pindah-pindah kayak om kamu, itu jauh-jauh dari kita," ujar teman b ke arah Dimas. "Ok," Dimas mengangguk. "Keluarnya lewat pintu belakangnya aja, supaya jangan ketahuan, ada bodyguard papa aku di depan, aku sudah dua bulan lebih dikawal terus, nanti kalau ada mereka, kita nggak bisa jalan-jalan soalnya mereka patuh banget sama perintah papa," ujar Dimas. "Ok," Faris dan teman b mengangguk. "Eh, jangan bawa tas, nanti kalau bodyguard papa aku datang cek, bisa ketahuan kalau aku nggak ada," ujar Dimas. "Ok, nggak masalah atuh." Teman b meletakan tas sekolahnya di atas bangku. Faris dan Dimas ikut meletakan tas mereka. Mereka berjalan pura-pura santai ke belakang sekolah, lalu memanjat pagar. Dimas melihat belakang sekolah mereka. "Jangan lama-lama, sisa satu setengah jam lagi baru pulang les, jadi kita harus tepat waktu," "Ok," Faris dan teman b mengangguk. "Roki, kamu bawa uang nggak? Kita main di mal aja," tanya Faris. "Bawa, di saki celana seragam," Roki menepuk saku celana seragam warna merah. Tiga orang teman itu berjalan pergi ke tempat yang mereka sukai. °°° "Parah, aku kalah terus dari kamu," Faris terlihat kesal ke arah Dimas. Dimas tersenyum.   "Game tembak-tembakan seperti itu hanya masalah kecil untukku, aku bahkan setiap dua kali satu bulan pergi latihan menembak bersama bodyguard papa," "Ya, ya, ya, kamu tuan muda kaya raya dari Basri Group, jadi harus jago beladiri," ujar Faris. "Eh, tapi benar kan, kamu yang akan ambil alih harta warisan Basri?" tanya Roki dengan tatapan ingin tahu. Dimas menggeleng. "Tidak semuanya, Warisan dari Basri akan di bagi sama rata oleh kakek buyutku," jawab Dimas. "Oh, aku kira kamu akan dapat semuanya," Roki manggut-manggut. "Tapi kakek Iqbal sudah tua, dan sekarang kondisinya tidak bisa bangun lagi, minggu lalu kakek Iqbal bertambah parah karena kondisi kakak sepupu perempuanku dan nenekku Momok, jadi yang akan membagi harta warisan nanti kakek Ran," lanjut Dimas. "Darimana kamu tahu kalau kakek Ran kamu yang akan membagi warisan?" tanya Faris penasaran.  Mereka berjalan memasuki restoran pizza di dalam mal. "Aku tahu itu karena papaku adalah pemimpin Basri yang sekarang, papaku anak laki-laki pertama, ada dua saudara laki-laki dari papaku, om Bilal dan om Liham, mereka itu adik," jawab Dimas. "Ah, aku tahu, berarti anak pertama yang akan menjadi pewaris Basri yah?" Roki menyimpulkan. Mereka duduk di kursi, Faris mulai mengambil buku menu dan mulai memesan makanan mereka. "Belum tentu, papaku punya kakak perempuan, konsep pewaris di Basri sebenarnya anak laki-laki pertama, tapi ada juga yang anak kedua, aku pernah baca silsilah keluarga Basri dari dua ratus tahun yang lalu, kakek buyut dari kakek buyutku anak pertama yang membangun keluarga Basri yang sampai sekarang, tapi beliau tidak punya anak, jadi ada tiga keponakannya yang merupakan anak laki-laki Basri, dicari yang paling jujur, paling kuat, dan paling bisa dipercaya, akhirnya dapat anak ketiga, kakek itu yang paling bungsu, nah, dari kakek itulah keturunan Basri sampai padaku," jawab Dimas. "Oh, aku tahu, intinya berbudi luhur atuh," ujar Roki. "Nah, itu," Dimas mengangguk. "Pizza beef Mozarella saja, enak." Saran Roki. "Sudah aku pesan," ujar Faris. "Aku mau pipis, tadi di ruang game kita kebanyakan minum," ujar Dimas.  Dia berdiri dari kursi dan mencari toilet. Faris dan Roki mengangguk. Dimas berjalan ke toilet. Dia memilih masuk ke bilik saja daripada menggunakan yang biasa digunakan oleh pria. Dia juga ingin memperbaiki seragam sekolahnya, jika sang ibu melihatnya dengan penampilan berantakan begini, bisa-bisa dia akan dikurung di rumah selama satu bulan. Ketika dia menaikan resleting celananya, ada suara kesal dari bilik kamar mandi sebelah. "Basri has captured some of elonzo's men in Cartagena, I'm in Bandung, no one of lorenzo's men is in Jakarta anymore," (*Basri telah menangkap beberapa anak buah Elonzo di Cartagena, aku ada di Bandung, tidak ada anak buah Lorenzo yang ada di Jakarta lagi.) Beberapa detik kemudian terdengar suara lagi dari pria di sebelah bilik. "Don't get mad at me! Alice who failed to kill that Basri girl! Now that she's in Lima on a mission to kill Damien, there's an election coming up in two weeks," (*jangan marah padaku! Alice yang gagal membunuh gadis Basri itu! sekarang dia di Lima sedang melakukan misi membunuh Damien, akan ada pemilu dua minggu lagi.) "Call me later." (*Telepon aku nanti.) Terdengar suara pintu bilik toilet terbuka, pria itu telah berjalan keluar dari toilet pria. Tubuh Dimas kaku. Bocah baru beranjak remaja itu mengerti apa yang dikatakan oleh pria yang berbahasa Inggris di seberang bilik tadi. Dadanya terlihat turun naik tak karuan, detak jantungnya memompa kuat. Untuk sementara dia berusaha untuk menenangkan tubuhnya agar tidak panik.  Basri.  Itu adalah nama keluarganya. Dia adalah Basri. Pria tadi mengatakan gagal membunuh gadis Basri. Satu-satunya Gadis Basri adalah kakak sepupunya yang selamat dari ledakan granat dua bulan lalu. °°° Alan duduk di kursi kerjanya sambil melihat laporan dari anak buahnya yang berada di Cartagena, tempat dimana Elonzo, petunjuk hidup mereka yang telah satu minggu yang lalu. Bunyi ketukan di pintu ruang kerjanya. "Masuk," Masuk seorang wanita berusia 40an. "Tuan Basri, putra anda menelepon dari nomor salah satu menejer pizza di mal X, bahwa dia butuh berbicara dengan anda sekarang," Bu Ririn, sekretaris dari Alan memberikan telepon kantor. Alan meraih telepon kantor, dia melirik ke arah ponselnya yang dia charger jauh dua meter. Rupanya dia tidak menyadari bahwa ada yang menelepon. "Dimas, kamu sudah pulang dari sekolah?" "Dua minggu lagi akan ada pembunuhan calon presiden di Lima, nama pembunuhnya adalah Alice, orang yang sama yang mencelakai kakak Chana," Mata Alan melotot. "Kamu dimana?!" °°° Saya menulis cerita ini di platform D.R.E.A.M.E dan I.N.N.O.V.E.L milik S.T.A.R.Y PTE. LDT Jika anda menemukan cerita ini di platform lain, mohon jangan dibaca, itu bajakan.  Mohon dukungannya. IG Jimmywall Terima kasih atas kerja samanya.  Salam Jimmywall.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN