Chapter 26

1473 Kata
"Tuan Benjamin, saya ingin berbicara dengan Anda di ruang kerja saya," ujar seorang perempuan berusia 34 tahun ke arah Ben. Ben mengangguk mengerti. "Popy, aku akan ke ruangan dokter Risa," ujar Ben ke arah istrinya. Popy mengangguk, dia mengisyaratkan agar Ben segera mengikuti dokter Risa. Dia mengikuti perempuan yang memakai jas putih khas dari kedokteran itu. °°° Sret Sret Ben meletakan hasil Rontgen dari Chana di atas meja dengan tangan bergetar. Pria 45 tahun itu memandang dengan gugup ke arah dokter Risa. "Ini ... maksud dokter putri saya ...." suara Ben bergetar, dia tak mampu melanjutkan lagi kalimatnya. "Hasil pemeriksaan lanjutan menemukan bahwa tulang jari dan tangan dari nona Chana kemungkinan mengalami gangguan gerak," dokter Risa, dokter yang menangani kondisi Chana itu memberikan kalimatnya. Merasa bahwa Ben bisa mencerna kalimatnya, dokter Risa melanjutkan lagi. "Karena ledakan granat, struktur tulang jari dan beberapa saraf putus." Lanjut dokter Risa. Pum! Bagai dihantam palu jantung Ben. Detak jantungnya tak rata. Ketika mendengar penjelasan dari dokter Risa. Untuk beberapa lama, Ben berhasil menenangkan emosinya. "Apakah hanya satu tangan?" tanya Ben. "Dua tangan." Jawab dokter Risa. °°° Tes Tes "Ssshhh ...." air mata itu turun tanpa permisi. Popy memandang ke arah bed rumah sakit yang ditiduri oleh Chana, putrinya. Sret Hap "Popy," Ben memeluk tubuh istrinya ketika Popy tak kuat menahan beban tubuhnya. Randra berjalan ke arah putrinya, "istirahat dulu." Ben mengangguk, dia membawa Popy ke kursi sofa dan mendudukkan istrinya. Randra tidak tahu harus mengatakan apa kepada putrinya, sebab ini juga diluar dugaan dia. "Ayah Ran akan mencari dokter tulang dan dokter saraf terbaik untuk Chana." Hanya kalimat itu yang mampu dia katakan untuk sang anak perempuannya. "Om Febri pasti bisa menangani kondisi Chana," lanjut Randra. Ben mengangguk mengerti, sedangkan Popy tertunduk sambil mengeluarkan air mata tanpa bersuara. Sret Seseorang di seberang pintu ruang rawat Chana mengepalkan kuat kepalan tangannya. Hap "Biarkan tante Poko istirahat dulu, kita akan datang besok lagi," Nibras mengingatkan sang anak. Aqlam menoleh kaku ke arah ayahnya. "Chana menderita." Nibras menundukan kepalanya tanda menyesal. Dia tidak tahu bahwa kejadian yang menimpa kondisi Chana menjadi lebih serius. °°° "Mas, itu orang tua Sehat belum pulang juga ke rumah mereka yang disini? Sudah tiga minggu kok mereka tidak datang menanyakan kabar anak mereka sih," Daimah bertanya ke arah suaminya. Sudah kesekian kalinya Daimah bertanya pertanyaan ini ke arah Alamsyah, namun respon dari suaminya itu hanya gelengan kepala saja. "Belum juga." Jawab Alamsyah. Daimah terlihat jengkel dengan sifat orang tua dari Sehat. "Itu orang tua apa bukan sih?" Alamsyah melihat ke arah istrinya. "Tidak ada nomor telepon yang aktif dari kedua orang tua Sehat, aku juga menyuruh anak buahku untuk mencari keluarga Sehat dari pihak ibu, namun ketika anak buahku menelepon tentang kondisi yang dialami oleh Sehat, tiba-tiba nomor ponsel dan telepon mereka mati, dan ketika dihubungi lagi, tidak tersambung." "Apa?" Daimah melotot kaget. "Keluarga bagaimana itu?" "Sstt, jangan keras-keras, anak-anak sedang belajar," ujar Alamsyah. "Ahmp!" Daimah menutup mulutnya. "Ck! Tidak ada khawatirnya," Daimah mencibir. Sudah tiga minggu sejak kasus yang menimpa Naufal dan yang lainnya, namun orang tua atau pihak keluarga dari Sehat Annisa tidak kunjung melapor atau datang menemui polisi dan menanyakan keadaan mengenai Sehat. Sehat selama tiga minggu ini berada di rumah Alamsyah, makan dan minum dijamin oleh Alamsyah. °°° "Sehat," Daimah memanggil Sehat. "Ya, tante?" sahut Sehat. Daimah tersenyum ke arah Sehat. "Sudah selesai belajar dengan Awa? Tugas sekolahnya sudah selesai?" tanya Daimah. Marwa dan Sehat mengangguk. "Sudah tante." Sehat menjawab. "Besok kan hari sabtu, sekolah kalian kan akhir pekan, kebetulan juga untuk beberapa minggu ini tidak ada ekstrakurikuler dulu dari sekolah, besok nanti kamu dengan Awa ikut bunda ke toko pakaian yah? Bunda mau belikan keperluan Awa dan juga pakaiannya Sehat." Ujar Daimah. Sehat terdiam untuk sementara. "Baju?" "Ya, baju. Baju untuk kamu, bunda lihat baju Awa sedikit kebesaran di badanmu, yah ... Awa agak gemuk dan Sehat agak kurus," ujar Daimah. Namun nyatanya tidak. Memang tubuh Sehat sangat kurus, bagaikan anak yang kekurangan gizi. Sehat melirik ke arah Marwa. Marwa tersenyum sambil mengangguk. "Besok kita pergi," ujar Marwa ke arah Sehat. Sehat menoleh ke arah Daimah dan menganggukkan kepalanya. "Baik ... em ... ibu Awa ...." ujar Sehat ragu-ragu. Daimah tersenyum. "Panggil saja bunda, sama seperti Awa." Wajah Sehat agak kaku, dia terlihat kikuk. Daimah tersenyum. "Sehat sama saja seperti Awa dan mas Mail, bunda sudah anggap seperti anak sendiri, jadi panggil bunda saja," "Hah?" Sehat terlihat kaget. Dia melirik ke arah Marwa. Marwa tersenyum mengangguk. "Apa ... tidak marah?" tanya Sehat. Marwa menggeleng. "Tentu saja tidak, untuk apa marah." °°° "Wahai tubuhku yang kecil ... apa yang sedang kau pikirkan?" Lia besar bertanya ke arah Lia kecil dengan suaranya yang tua. Lia kecil yang sedang menongka dagunya itu menoleh ke kiri, ke arah nenek buyutnya. "Nenek Lia," panggil Lia kecil. "Ya?" sahut Lia besar. "Lia kecil sedang memikirkan bagaimana kediaman lama dari nenek Lia dulu, apakah masih sama seperti tujuh puluh tahun yang lalu ketika nenek Lia meninggalkan kediaman Farikin, ataukan sudah berubah, mengingat sekarang sudah sangat lama," ujar Lia kecil. "Uh?" Lia besar mengerutkan keningnya bingung, dia menoleh ke arah suaminya yang sedang berada di samping kirinya. "Suamiku..." "Ya, aku di sini, sayang." Agri menyahut. "Dimana kediaman rumahku?" tanya Lia linglung. Agri tersenyum. "Kediaman rumahmu sekarang di sini, karena kamu telah menikah denganku selama tujuh puluh tahun, jadi sudah tujuh puluh tahun ini kamu tinggal disini, di kediaman Nabhan." Jawab Agri lembut. "Oh ...." Lia manggut-manggut. "Lalu sebelumnya aku tinggal dimana? Apakah aku punya rumah?" Lia bertanya lagi. Agri tersenyum lembut ke arah istrinya. Dia memaklumi ingatan istrinya yang memang sudah pudar dan tidak ingat lagi. "Tentu saja kamu punya rumah sayang, sebelum kau tinggal bersamaku disini, kau tinggal bersama keluargamu di kediaman Farikin." Jawab Agri lembut. "Oh...begitu rupanya..." Lia manggut-manggut. "Suamiku..." panggil Lia. "Aku di sini, Lia." Sahut Agri. "Apakah rumah lamaku itu jauh dari sini?" tanya Lia dengan tatapan penasaran. "Tentu saja tidak jauh, jaraknya hanya sekitar dua puluh menit sampai tiga puluh menit dari rumah ini." Jawab Agri lembut ke arah Lia. "Oh...begitu rupanya ...." Lia manggut-manggut. Lalu beberapa saat lagi Lia melihat ke arah suaminya. "Lalu ... bagaimana caranya agar aku bisa kesana?" tanya Lia bingung. "Apakah kau ingin berkunjung ke rumah lamamu?" tanya Agri lembut. "Apakah boleh aku berkunjung ke sana?" tanya Lia penuh harap ke arah Agri. Agri tersenyum lembut. "Tentu saja boleh, kenapa tidak? Kau kan juga punya rumah disana," jawab Agri lembut. Lia manggut-manggut. Lalu Lia memanggil suaminya lagi. "Suamiku ...." "Ya sayang, aku di sini." Sahut Agri sabar. "Kapan terakhir kali aku pergi ke rumah lamaku?" tanya Lia bingung. Agri mengingat-ingat lagi, sepertinya belum lama. Mengingat setiap hari-hari besar ada keluarga Farikin yang berkunjung untuk melihat keadaan Lia, seperti hari raya ataupun hari ulang tahun Lia. Namun jika itu terakhir kali Lia berkunjung ke kediaman lama Lia, itu sudah sangat lama, ketika Pasha, sang kakak tertua dari istrinya berpulang menghadap sang Ilahi, terhitung sudah dua puluh lima tahun yang lalu. Memang itu cukup lama. "Terakhir kali kau berkunjung ke rumah lamamu itu sekitar dua puluh lima tahun yang lalu, sayang." Jawab Agri. Lia manggut-manggut. "Suamiku ...." "Aku di sini," "Apakah dua puluh lima tahun itu lama?" tanya Lia bingung. Agri mengangguk. "Dua puluh lima tahun itu lama istriku Lia," jawab Agri lembut. "Oh ya ampun...aku sudah tidak ingat apa-apa lagi ... bagaimana ini?" ujar Lia sedih. "Tidak apa-apa sayang, yang penting jangan melupakanku," ujar Agri menenangkan hati sedih istrinya. Lia mengangguk. "Kau benar suamiku ... yang penting aku tidak melupakanmu ...." "Beruntungnya aku memilikimu suamiku ...." ujar Lia dengan suara bergetar. "Aku yang beruntung memilikimu Lia," Hap Agri memeluk sayang istrinya. Kedua pasangan yang telah menikah selama 70 tahun itu saling berpelukan sayang. "Uuhh ... manisnya ... Lia kecil tidak tahan hidup sendiri lagi," "Pfftt!" Beberapa bodyguard yang berjaga dan dua orang perawat yang sedang duduk tidak jauh dari Agri, Lia besar dan Lia kecil menahan tawa mereka. Setiap hari mereka akan disuguhkan dan menyaksikan interaksi penuh cinta dari tuan besar dan nyonya besar Nabhan, itu saja sudah membuat mereka baper. Namun disamping itu, hal yang paling membuat mereka sakit perut ketika sedang bekerja dan berjaga di kediaman Nabhan adalah tingkah dari nona kecil Farikin yang merupakan cicit perempuan dari tuan besar Nabhan itu yang selalu saja ngaur berkata dan bertingkah absurd. Apalagi dilengkapi kolaborasi antara pertunjukan cinta dari Agri dan Lia lalu dilanjutkan oleh Lia kecil yang super lucu. Ketika jam jaga mereka berakhir, baru saja kaki sebelah meninggalkan gerbang kediaman Nabhan, tawa mereka menyembur. "Kali ini pasti perutku akan sakit lagi karena tertawa hmmmpppp!" seorang perawat berbicara sambil menahan tawanya. "Hmpp! Jangan bicara, nanti aku tertawa terus!" seorang teman perawatnya melirik sambil menahan tawa. "Hehehe," mereka terkikik pelan. "Ah, kakek Agri, Lia kecil ingin bertanya sesuatu penting padamu, apakah boleh?" suara tanya imut dari gadis tiga tahun itu. Agri yang memeluk Lia menoleh ke arah Lia kecil dan menganggukkan kepalanya. "Tentu saja boleh Lia kecil," jawab Agri. "Apa yang ingin kamu tanyakan, hm?" Lia kecil memandang serius ke arah sang kakek buyut. "Lia kecil ingin menanyakan pada kakek Agri bahwa apa tips agar Lia kecil bisa hidup dan bertahan hingga awet dengan suami masa depan Lia kecil nanti?" "Hahahahappmmm!" "Hahahahahahaha!" Tak Tak Tak Farel berbelok lari dan masuk ke dalam rumah setelah dia mendengarkan pertanyaan Lia kecil. Dia tidak mampu menunjukan deretan gigi dan membuka mulutnya di taman yang sudah ada orang tuanya itu. "Busran! Kemari dan lihat tingkah cucumu itu!" Farel berteriak ke arah ponselnya ketika telepon ke Busran tersambung. °°° Saya menulis cerita ini di platform D.R.E.A.M.E dan I.N.N.O.V.E.L milik S.T.A.R.Y PTE. LDT Jika anda menemukan cerita ini di platform lain, mohon jangan dibaca, itu bajakan.  Mohon dukungannya. IG fithwally Terima kasih atas kerja samanya.  Salam Jimmywall.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN