Chapter 8

1595 Kata
"Baik, ibu sudah membagi kelompok bagi kalian, satu kelompok terdiri dari lima orang, ibu harap kalian akan saling menerima satu sama lain, mengerti?" Widya, perempuan 31 tahun itu melihat ke arah anak-anak walinya. "Mengerti, Bu." Jawab serentak satu kelas. "Sekarang sudah waktunya pulang, tugas kelompok ini ibu berikan waktu dua hari, senin akan dikumpulkan, yang mendapat nilai bagus akan ibu berikan hadiah." Ujar Widya. "Yes!" anak-anak serentak melompat riang. "Ibu pimpin doanya sebelum pulang, mari berdoa menurut keyakinan masing-masing, berdoa dimulai." Ujar Widya memulai doa di dalam hati. Satu menit kemudian Widya melihat ke arah anak-anak didiknya. "Amin." Doa selesai. Anak-anak juga telah selesai berdoa menurut keyakinan mereka masing-masing. Setelah mereka berdoa untuk pulang, anak-anak terlihat keluar satu persatu secara rapi dan bergiliran, terlihat tiga bocah berusia sembilan tahun berjalan mendekat ke arah dua orang gadis yang berusia sama. Tak Tak Tak "Em...Marwa...aku..." ujar bocah itu gugup. "Em?!" Marwa menatap bocah di depannya dengan tatapan bingung. Sret Gadis di samping Marwa bersembunyi takut di belakang gadis ayu itu. Bocah yang melihat respon dari dua gadis itu tersenyum kikuk. "Aku...aku ingin minta maaf padamu untuk kejadian dua hari yang lalu...aku...aku salah..." ujar bocah itu. Sret sret Dia menoel kedua temannya. "Kami ingin minta maaf, itu salah kami..." kedua bocah itu menunduk menyesal. Marwa tersenyum ayu. "Tidak apa-apa, aku sudah lupakan itu, bunda bilang memaafkan orang lain itu baik." Ujar Marwa. Tiga bocah itu mengangguk serentak. "Nah, sekarang kita teman kan? Aku ingin berkenalan dengan kalian, kita kan satu kelompok." Ujar Marwa ayu. Bocah yang bernama Jonathan itu mengangguk kuat. "Ya, kita adalah teman." "Namaku Jonathan Valentino Marchetti." Jonathan melirik ke arah dua temannya. "Aku Christian Abraham," ujar bocah yang bernama Christian. "Aku Amar Rasyidin." Ujar bocah yang lain. "Aku Marwa Kembang Baqi, kamu pasti sudah kenal dia kan? Dia Sehat Annisa," Marwa mengangguk mengerti, lalu dia menoel gadis di belakangnya. Gadis di belakangnya terlihat takut dan tidak mau melihat ke arah Jonathan. "Tidak apa-apa Sehat, sekarang Jonathan telah menjadi teman kita," ujar Marwa ayu. Gadis yang dipanggil sehat itu awalnya ragu namun ketika melihat tatapan Marwa yang meyakinkan dirinya, dia mengangguk. Dia memberanikan diri melihat ke arah Jonathan. Jonathan yang melihat ekspresi takut dari wajah Sehat menjadi agak malu. Dia memberanikan diri untuk berbicara kepada Sehat. "Em...Sehat...aku minta maaf padamu, maaf karena aku selalu menindas kamu dari kelas satu, aku berjanji tidak akan menindas kamu lagi dimasa depan," ujar Jonathan ke arah Sehat. "Em..." Gadis yang bernama Sehat itu terlihat berpikir, dia sempat melirik ke arah Marwa. Marwa terlihat mengangguk, lalu Sehat mengangguk pelan ke arah Jonathan. "Baik..." Jonathan tersenyum, dia memberi kode ke arah dua temannya. "Aku minta maaf padamu, aku salah." Ujar Christian. "Aku juga salah, sebenarnya tidak baik menindas orang. Maaf." Ujar Amar. "Um." Sehat mengangguk. Dia melirik ke arah Marwa dan tersenyum tulus. Jonathan memandang ke arah Marwa. "Tentang belajar kelompoknya bagaimana? Itu...di rumah siapa?" tanya Jonathan. "Di rumahku saja ya?" ujar Marwa. "Bundaku sebenarnya keberatan jika anak gadis keluar rumah," sambung Marwa ke arah teman-temannya. Christian dan Amar tidak keberatan, mereka menganggukkan kepala mereka setuju ke arah Marwa. Namun lain halnya dengan Jonathan. Bocah itu terlihat lesu. "Aku sebenarnya diberi hukuman oleh papaku tidak boleh keluar kemanapun, karena...karena kejadian dua hari yang lalu..." ujar Jonathan sedih. Marwa terlihat berpikir, dia mengerti kalau Jonathan pasti mendapat hukuman dari ayahnya, karena masalah dua hari yang lalu melibatkan beberapa pihak penting. "Em...baik, kita belajar kelompok dirumah kamu saja, besok hari sabtu, katakan alamat rumahmu, aku dan Sehat akan kesana." Ujar Marwa memutuskan. "Baik, Marwa." Sahut Jonathan. "Panggil saja aku Awa." Ujar Marwa. "Baik, Awa." Jonathan mengangguk. "Kalian bisa memanggilku dengan sebutan 'Jon' itu nama terkenalku, tapi bisa juga memanggilku dengan sebutan 'Vano' seperti panggilan keluargaku padaku." "Baik, Vano saja." Marwa mengangguk. Buk buk buk Jonathan membusungkan dadanya dan menepuk-nepuk dadanya. "Aku, Jonathan Valentino Marchetti akan menjadi pengawal dan pelindung dari Marwa Kembang Baqi dan Sehat Annisa!" ujar Jonathan lantang. Sret sret Jonathan menoel Amar dengan telunjuk kiri, Amar dan Christian juga ikut membusungkan d**a mereka dan berpose seperti Jonathan. "Kami pengikut Bos Jon akan mengikuti kemanapun dan melindungi Awa dan Sehat!" ujar dua bocah itu. "Hahahaha," Marwa tertawa geli. "Nah, sekarang kita pulang, Sehat ayo pulang bersamaku saja, ayahku berjanji akan menjemputku." Ujar Marwa ke arah Sehat. Sehat terlihat berpikir dan mengangguk takut-takut. "Apakah tidak apa-apa?" "Tidak apa-apa, ayahku akan senang jika aku pulang denganmu, aku mendapatkan teman baru." Marwa tersenyum ke arah Sehat. Widya yang melihat situasi dari anak walinya itu tersenyum. Dia sengaja memberikan mereka satu kelompok dengan tujuan ini. Kejadian dua hari yang lalu membuat dia belajar banyak pengalaman. Ketika dia menyalahkan pihak wali kelas dari Naufal, dan setelah tahu letak permasalahannya, dia meminta maaf kepada Rasmi, wali kelas dari Naufal. Widya tahu, tidak baik menyinggung pihak dari Naufal dan Marwa. Bukan hal yang bagus juga menyinggung pihak dari Jonathan. °°° Marwa membukakan pintu mobil dan menyuruh Sehat untuk masuk terlebih dahulu. "Sehat, kamu masuk duluan," Sehat mengikuti, dia masuk ke dalam jok belakang mobil, lalu setelah itu Marwa masuk menyusul dan duduk di sebelah Sehat. Setelah Marwa menutup pintu mobil, dia melihat ke arah ayahnya. "Ayah, kita mengantarkan temanku, Sehat ke rumahnya dulu yah?" Marwa berbicara ke arah ayahnya ketika dia dan Sehat duduk di jok belakang. "Baik," sahut Alamsyah. Siang ini adalah waktu istirahat, namun Alamsyah memilih makan saja dirumah sekaligus menjemput putrinya, istrinya Daimah pun sudah berada dirumah menyiapkan makanan, meskipun dia juga seorang polwan. Rumah yang ditinggali oleh Alamsyah merupakan rumah peninggalan dari kakeknya, Mochtar. Sedangkan sang ayah yang merupakan menteri Polhukam itu tinggal di rumah dinas yang sudah disediakan oleh pemerintah. Alamsyah menyetir mobilnya menuju ke tempat dimana Sehat katakan, ketika Alamsyah melihat ke arah kaca spion di dalam mobilnya, dia terkejut dan mengerutkan keningnya. "Sehat, itu namamu kan?" "Iya om, nama saya Sehat." Jawab Sehat pelan. Alamsyah melirik ke arah leher dan kerah baju anak sembilan tahun itu, dia mengerutkan keningnya lagi. "Um...apa temanmu yang bernama Jonathan itu yang memukulmu? Leher dan disekitar kerah bajumu lebam." Tanya Alamsnyah. "Emmph." Sehat terlihat menunduk terdiam. "Uh...benar, apakah Vano yang memukulmu waktu itu?" Marwa bertanya ke arah Sehat. Sehat menggeleng dan diam lagi. "Lalu siapa?" tanya Marwa. "Bukan siapa-siapa, ini tidak sengaja jatuh..." ujar Sehat lirih, suaranya terdengar serak. "Benarkah? Tapi kamu jatuh bagaimana sampai bisa lemban seperti itu?" bingung Marwa. Sehat menunduk takut, dia diam saja. Alamsyah, naluri kepolisiannya mengatakan bahwa itu tidak sesederhana jatuh. Beberapa menit kemudian mereka sampai di tempat tinggal Sehat. Terlihat rumah mewah tiga lantai di depan mobil Alamsyah. "Awa...aku turun dulu...sampai ketemu besok di rumah Vano..." ujar Sehat pelan. Marwa mengangguk. "Baik." "Terima kasih om." Marwa turun dari mobil. Alamsyah mengangguk, dia menunggu sampai Sehat memasuki gerbang rumahnya, namun ketika Sehat hendak masuk ke gerbang rumah, terlihat seorang wanita muda keluar melototkan matanya ke arah gadis itu. Plak "Ahmph!" Sehat membungkam suaranya agar tidak terdengar. Perempuan itu menampar kepalanya. "Kemana saja baru pulang? Kamu keluyuran hah?!" perempuan itu tidak ramah. Sret "Masuk!" pinta perempuan itu kasar Sret Perempuan itu menarik kasar Sehat ke dalam gerbang rumah. Brak. Klik Bunyi kasar gerbang rumah ditutup dan di kunci. Alamsyah mengerutkan keningnya. "Um...itu...ibunya Sehat?" Marwa terlihat ragu ketika melihat wanita itu menarik kasar Sehat masuk ke gerbang rumah. Alamsyah terlihat berpikir. "Sudah aku duga, ada yang tidak beres." Batin Alamsyah. °°° "Wah...ada Marwa! Ayo mari nak masuk." Desita yang merupakan ibu dari Jonathan yang berteriak histeris beberapa hari yang lalu ke arah Naufal terlihat antusias ketika mengundang Marwa masuk ke dalam rumahnya. Marwa tersenyum ayu. "Terima kasih tante, kami datang ke sini untuk mengerjakan tugas kelompok yang diberikan oleh wali kelas kami." Ujar Marwa sopan kepada Desita. "Oh, Tante sudah tahu sayang, Vano sudah bilang, ah! Tante juga memasak makanan spesial hari ini untuk kalian, ayo masuk." Ujar Desita antusias. Dia telah belajar dari pengalaman sebelumnya. Sikapnya beberapa hari yang lalu hampir menghancurkan bisnis suaminya. Namun dia berusaha untuk memperbaiki kesalahannya, dia meminta bantuan dari wali kelas anaknya untuk satu kelompok dengan Marwa jika ada kesempatan. Ini adalah untuk memperbaiki hubungan Jonathan dan murid yang dia tindas ketika di sekolah. °°° "Akhirnya selesai juga tugas kelompok kita!" Jonathan berseru lega. Tugas kelompok mereka telah selesai. Gambar yang dibuat oleh mereka terlihat lumayan baik. Apalagi Christian yang menggambarnya, lalu Marwa yang memberi saran warna. Sedangkan Sehat dan yang lainnya membantu menyiapkan bahan-bahan. Gambar alat gerak yang merubah energi angin menjadi gerak sudah selesai. Yaitu berupa gambar dari kipas angin dan kincir angin. "Chris bagus yah gambarnya...seperti nyata..." ujar Marwa takjub. Christian tersipu malu. "Aku memang suka menggambar...yah...hanya nilai seni menggambar saja yang dapat seratus, nilai yang lainnya jelek." Ujar Christian. "Hahahaha!" Jonathan dan Amar tertawa. "Tidak apa-apa, semua orang punya kelebihan dan kekurangan mereka sendiri, contohnya saja Awa, Awa tidak pandai menggambar seperti yang Chris gambar." Ujar Marwa. "Benar juga yah katamu..." Jonathan manggut-manggut. "Lalu...apa kelebihanku?" Jonathan bertanya bingung pada dirinya sendiri. "Kelebihan bos yaitu tukang pukul." Celutuk Amar tanpa sadar. "Kau!" Jonathan melotot ke arah Amar. "Hahahaha..." Marwa dan Christian tertawa geli, sedangkan Sehat tersenyum. °°° Ketika Marwa dan yang lainnya makan siang di meja makan Marchetti, ada seorang remaja berusia 15 tahun turun bergabung. "Oh, Riko, kamu baru turun? Seharian ini kami main game aja," Desita mengomel ke arah putra sulungnya. Remaja yang bernama Riko itu terlihat cuek, dia mengambil kursi bagiannya dan langsung menyendokan makanannya. "Heum!" Desita mendengus ke arah anaknya. Varoni hanya menggelengkan kepalanya melihat tingkah putra sulungnya. Dia memandang ke arah Marwa yang sedang makan. "Berterima kasih pada nona Marwa Baqi, dia yang menemukan ponsel kamu dijalan ketika dia pulang," ujar Varoni. Sret Riko berhenti mengunyah makanannya, dia melirik sekilas ke arah sudut kiri, terlihat gadis cilik berusia sembilan tahun tersenyum ayu ke arahnya, lalu dia melanjutkan lagi makanannya. "Oh! Marwa yang nemuin ponselnya Riko? Aduh ya ampun! Tante nggak tahu loh," heboh Desita. Marwa tersenyum ayu. Riko memandangi wajah Marwa lagi. Seperti sedang menilai penampilan Marwa. "Cupu," satu kata yang keluar dari mulutnya. Sret Sleeet! Desita memandang tajam ke arah putra sulungnya bak silet. "Ricardo Valentino Marchetti!" urat leher Desita menebal, dia melotot ke arah anak sulungnya. Jonathan melihat ke arah kakak lelakinya. "Bro, jaga bicaramu, sekarang aku adalah pengawal dan pelindung dari Awa, aku harap kamu tidak bicara sembarangan lagi." Ujar Jonathan serius ke arah kakaknya. °°° Saya menulis cerita ini di platform D.R.E.A.M.E dan I.N.N.O.V.E.L milik S.T.A.R.Y PTE. LDT Jika anda menemukan cerita ini di platform lain, mohon jangan dibaca, itu bajakan.  Mohon dukungannya. IG Jimmywall Terima kasih atas kerja samanya.  Salam Jimmywall.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN