Bila ini adalah game fighting, maka panggung utama untuk perkelahian amatlah penting di mata developer. Panggung juga bercerita.
Raga berkelakar kalau mereka harus ke polda. Ia punya kabar gembira pada polisi-polisi pencari rapor untuk panjat pangkat. Baron setuju-setuju saja. Sebagai yang menginisiasi rencana untuk menghabisi Sana, ia tidak terlihat berwibawa–bahkan sekilas terlihat penurut.
Atau mungkin memang itulah strateginya. Nasihat terbaik adalah membiarkan lawan terus melakukan kesalahan. Entah si Baron ini menganggap Raga musuh atau memiliki kesalahan. Bisa jadi juga memang ia setuju akan rencana untuk menggelar segala ilusi di halaman polda.
Raga menoleh ke arah salah satu gedung tertinggi.
"Apa yang kau lakukan?"
"Tentu saja mencari penyelamatku."
"Kau pikir dia akan muncul dari tempat tinggi?"
"Dua kali begitu. Saat lelang manusia dan di pelabuhan."
Baron berpikir beda. Jarak dari gedung itu ke lokasi cukup jauh. Bukan tidak mungkin. Yang Raga pilih juga adalah manusia yang bisa selamat berkelahi dengan Sana.
"Kau tahu, aku baru berpikir cerah sekarang. Aku tidak tahu loh kalau si Indah itu selamat atau tidak," ujar Raga dengan senyum lebar sambil menggaruk kepalanya.
Plothole atau alpa?
Baron terkekeh. Ia juga sebenarnya punya rencana. Alasan mengapa ia memilih polda juga karena ia ingin menggunakannya sebagai lapis kedua rencana.
"Banyak yang ngumpet ya?" ujar Raga memandang sekelilingnya. Padahal yang lewat dan berlalu lalang adalah orang-orang berpakaian normal bahkan pedagang kaki lima.
"Terlalu jelas?" Tanya Baron ragu.
"Iya. Suruh jangan pakai kaliber tinggi atau full auto lah. Sekelas Derringer saja boleh. Makin berbeda makin bagus. Kalau bisa siapkan ketapel dan panah kayu."
"Tapi Sana bisa memblokir peluru."
"Dia pukul tanah rontok semua bedil besimu."
Baron tidak menyangka kalau Raga menginspeksi rencananya. "Seharusnya sebagai Geng Selatan yang gemar seni, kau juga memikirkan manajemen resiko dan seninya. Tidak hanya bergantung pada kemampuanmu saja."
Sekali lagi Raga melihat ke arah gedung-gedung yang tinggi di kejauhan. Jantungnya makin berdebar kencang setiap kali matanya berpindah ke gedung lain. Baron juga ikut tegang.
"Belum mendekat," komentar Raga.
"Sana maksudmu? Anak buahku mengatakan mereka sedang mendatangi tempat ini."
"Tahu dari mana mereka?" tanya Raga, mempertanyakan juga kemungkinan kebocoran rencana.
"Kami sudah menyebar kabar. Aku meminta Yuli untuk mengabarkan kalau Geng Selatan membawamu."
"Kalian sudah siap ya sebenarnya."
"Kami juga hanya butuh kepalamu kok," sesumbar Baron. "Rencana pertama juga sukses sebenarnya. Tapi Bom getaran kurang kuat saja. Mungkin harusnya kami coba asap beracun."
"Tapi kalian tidak suka asap beracun," balas Raga.
"Nanti yang dibilang membunuh Sana adalah Tabib Pusat dan kroni negara. Aku yang kerja, mereka yang ambil kredit. Enak saja," kekeh Baron separuh kesal.
"Kalau begitu, mana kursiku?" tanya Raga sekali lagi mencari kelengkapan di panggung. Ia melihat di halaman upacara hanya terlihat tiang bendera "Kalian juga menyiapkan tali yang ketat, kan?" tanyanya sambil membayangkan dirinya diikat.
Baron sekali lagi bertanya "Kau bisa mati beneran loh dengan rencana ini. Kalau terberondong peluru tak sengaja."
"Makanya aku minta sepuluh menit setelah kepalaku hilang kan. Kau hanya bisa lima menit selama kita di mobil tadi."
Baron mengeluarkan tali dari topi jeraminya.
"Tujuh menit saja. Aku tidak yakin badanmu juga siap dengan sepuluh menit," putus Baron seraya mengikat Raga di tiang bendera.
"Istrimu sebentar lagi tiba. Ia datang bersama dengan seorang pria."
Raga menyeringai. Bibit selingkuh rupanya.