Baron muntah darah. Selimut Bunglon sudah tidak bersamanya lagi. Di hadapannya justru duduk Raga yang terkekeh. Raga melipat kakinya lalu menyilangkan tangannya. Keduanya sedang berada di gudang kantor polda.
Raga harusnya sedang diikat oleh tali tambang; bukan borgol di kursi kayu. Tapi ia justru duduk dengan santai sementara di dekatnya tergeletak dua orang polisi berbadan kekar.
"Sudah kuduga."
Raga memajukan tubuhnya.
"Katanya kau ingin menggunakan ilusimu untuk memperlihatkan kematianku pada penyusup –si Tuyul Indah," ekspresi wajah Raga mengeras. Urat kepalanya seakan hendak meletup keluar kulit kepala. "Tapi yang kau berikan justru adalah lawak untuk memalsukan keinginan mereka semua."
"Dengar. Yang namanya konflik konspirasi itu baru seru bila keinginan masing-masing pihak tidak terganggu oleh pihak lain. Yang menonton tidak akan berargumen kalau si anu sedang dicuci otak, si anu sedang kena gendam, si itu begitu. Makanya aku minta kau kumpulkan saja mereka ke lapangan dan mereka menyaksikan aku mati. Itu sudah bagus!"
Raga menepuk keningnya.
"Oh, itu bukan konflik konspirasi tapi politik pecah belah. Ah, kenapa sekarang aku gampang tertukar pikiran begini. Atas bisa jadi bawah. Bawah bisa jadi kiri. Kapitalis sama seperti Marxis," kekehnya. Suara tawanya seakan menggetarkan gedung. Bahkan tubuh polisi yang rubuh pun bergetar. Tak lama setelahnya, dari mulut, hidung, mata, dan telinga mereka mengucur darah.
Baron menyalakkan matanya. "Itu... resonansi Sana?"
Raga berdiri dari kursinya. Ia berjalan menyusuri dinding.
"Apa itu aneh? Bila Ratu-ku adalah Sana wajar bila Raja di sampingnya akan memiliki akses pada segala modal miliknya."
Jemari tangan Raga bermain di dinding seperti bermain tuts piano. Riak gelombang muncul dari setiap sentuhannya. Setiap riak saling beradu kuat, saling menghancurkan dan saling bergabung membentuk riak yang lebih tebal dan kuat.
"Apa kau, sebagai tukang tiru... merasa rencanaku gagal?"
Raga terdiam dan menatap langit-langit yang mengurungnya.
"Tidak gagal. Tapi kurang maksimal. Kau hanya ingin Sana. Aku ingin semua. Indah, Lukman, Jas Merah, dan Geng Selatan," ujarnya dengan lirih.
Baron bergidik. Tidak lagi ia pura-pura. Dalam lirih suara Baron terdengar ambisi yang dalam.
"Apa ini karena kau adalah penghuni Taman?"
"Taman. Ya... taman. Tempat di mana manusia bisa memilih takdirnya. Terjun bebas sebagai Gepeng setelah mengambil apel eksentrisme informasi Gepeng Utara, atau mengambil modernitas kerja sampai mati di Buruh Timur, atau menjadi ular yang menyiangi penghuni dengan ketakutan dan kebencian pada dunia," Raga terdiam lalu menoleh pada Baron dengan senyum.
"Tapi aku bukan bagian dari mereka. Gepeng akan jatuh dalam kemiskinan dan penderitaan, Buruh Timur mati dalam loyalitas dan pil. Seharusnya kita sebagai manusia punya pilihan, bukan. Bahkan bagi yang hidup dan tinggal di Taman. Di pinggir kali yang kotor."
"...Benar. Eksentrisme adalah salah satunya."
"Tapi itu tidak mengubah fakta bahwa Eksentrisme hanya datang dari kegilaan dan hasrat kuat pada manusia. Mereka yang mendapat berkah atau kutukan itu akan hidup sebagai manusia yang melihat dunia berbeda. Kau, aku yakin tidak bisa melihat wajah orang. Sehingga rekanmu hanyalah manusia yang berkenalan dengan makhluk dari dunia seberang. Tapi eksentrisme Ilusi itu juga melindungimu dari pandangan orang."
Baron tersedak. Tak menyangka kalau segala ilusinya bisa ditelaah.
"Apa... kau juga memiliki Eksentrisme?" tanya Baron hati-hati.
Raga menyeringai.
"Atau bagaimana kalau begini saja... eksentrisme-mu kumakan?"
Baron mengedipkan mata berulang kali. Pastinya itu kelakar belaka.
"Harus kau pahami, Baron, kalau makhluk yang bisa memakan makhluk lain adalah raja diraja."
Dan tahulah Baron kalau Raga tidak bercanda.