"Ada yang menyadari ilusiku," ujar Baron pada rekannya, seorang perempuan yang mengenakan selimut dan kain putih berlapis. Sesekali, kain putih itu menampilkan latar di belakang perempuan. Sebut saja ia sebagai si Selimut Bunglon.
Kedua orang itu sekarang sedang duduk di sofa ruang kapolda. Kapolda tampak duduk di kursinya dengan tangan yang sedang meraba-raba udara. Bibirnya juga sesekali berdecak. Bisa dibilang ia seperti sedang selingkuh dengan udara.
"Si Raga itu?" tanya si perempuan. Wajahnya perlahan menghilang dan menyatu dengan latar seperti selimut putihnya.
"Bukan. Dia masih percaya kalau dia yang memegang kontrol. Dia bukanlah pemilik Eksentrisme tapi lagaknya besar. Dia justru mudah dikendalikan."
Baron mengambil sebuah jam loket dan menggoyangkannya seperi bandul di depan mata Kapolda sambil terus membisikkan "kau ada di surga dengan bidadari-bidadari yang mencintaimu. Tidak seperti istrimu yang galak."
Si Selimut Bunglon tertawa sinis melihat pemimpin tertinggi polisi dari kota seperti anak kecil yang terkekeh-kekeh melihat mainan. Hipnotis dan ilusi Baron sangat kuat. Harusnya tidak ada yang bisa lepas dari sirapnya.
"Siapa kalau begitu?" tanya Selimut Bunglon.
"Yang bekerja sama dengan makhluk lain."
Selimut Bunglon memandang ke arah tangannya. Ia bertindak selayaknya ada manusia lain yang beruntung (atau s**l) sepertinya.
"Mediator atau Eksekutor?"
"Aku tidak tahu. Dua pekerjaan itu biasanya melibatkan kerasukan dan dukun. Yang ini sepertinya berbeda."
Si perempuan berselimut putih menatap ke luar jendela. Cahaya matahari masih terik.
"Apa kau ingin aku memburunya?"
"Jangan. Aku tidak mau kehilanganmu."
"Jangan mencoba menggunakan ilusi kebutuhanmu padaku. Katakan saja kau ingin targetmu mati atau diculik ke sini?" suara si perempuan terdengar berat, seperti anjing menggeram.
"Kau bisa menculiknya?" tanya Baron sambil melihat ke luar jendela juga. Ia tidak suka dengan cahaya matahari juga.
"Aku bisa mencoba."
"Butuh bayangan berapa banyak?"
"Runtuhkan saja bangunan tempat dia berada sekarang."
"Riil atau Ilusi?" tanya Baron sekali lagi.
"Dia bisa lolos dari ilusimu. Riil saja."
Maka Baron lantas 'meminta' pada Kapolda untuk membawakan peledak sitaan. Polisi penjaga gudang hanya menggeleng-geleng kepala berusaha menjelaskan betapa berbahayanya perintah tersebut. Tapi dengan tekanan atasan ditambah hipnotis ringan, Baron bisa membawakan beberapa tas peledak.
Selimut Bunglon mengernyitkan alis memandangi banyaknya C4 yang dikeluarkan Baron.
"Memangnya kau pikir peledak begitu bisa meruntuhkan gedung? Kupikir kau akan menggunakan traktor atau pesawat terbang."
"Hanya butuh menghancurkan satu lantai saja kok. Kau hanya butuh pengalih perhatian kan?"
Selimut Bunglon terdiam sebentar "Masih khawatir karena ada yang bisa membongkar lokasimu?" tanya Baron mengisyaratkan pada Raga.
Selimut Bunglon kembali mengingat peristiwa dengan Raga malam sebelumnya.
"Kau ada rencana cadangan, semisal aku gagal?"
Baron menggeleng. "Kalau berbahaya, segera kembali saja."
Baron lantas rubuh berlutut. Pucat wajahnya diikuti dengan muntah darah. Kulit wajahnya tampak seperti dilintasi lintah besar yang bergerak menyusuri pipi, kening, hidung, dagu, dan terus berputar seperti masuk dalam trek balapan.
"Dia... berusaha merobek ilusiku!" keluh Baron tiba-tiba. Lintah besar itu akhirnya menumpuk di dagu. "Dari mana dia tahu kalau bendera dan cermin cembung adalah fondasi formasi ilusi?"
Selimut Bunglon panik. Ia mencoba menekan kedutan di wajah Baron, berharap itu hanya ilusi.
"Kau ingin aku turun?"
"Jangan... kau bisa memprovokasinya."
"Tapi..."
"Dia pasti akan ke sini," ujar Baron menengok ke arah pintu masuk.
Sambil terengah, Baron mencengkeram tangan Selimut Bunglon.
"Kumohon, tolong provokasi Sana agar dia bisa ke sini sekarang!"