Episode 13- Percikan

567 Kata
Lukman hanyalah polisi biasa. Itu yang menyelamatkannya dari brutalitas Sana. Ia dibawa masuk ke dalam mobil wakil dan duduk di samping Sana yang masih misuh. Di hadapan Sana duduk wakil yang sedang membalut perban ke tangan Sana yang berdarah. “Jalang satu itu kuat juga.” Sana melirik ke Lukman. “Apa yang kau lakukan ini buruk,” Ujar Lukman dengan nada menasehati. Sana menatap lurus. “Hah?!” lalu wajahnya mengelam sedih. “Apa istri tidak boleh mencari tahu kalau suaminya selingkuh?!” Lukman siap kalau ia harus digebuk, diplintir, atau bahkan ditenggelamkan di pelabuhan tapi reaksi ini tidak diduganya. Sana dikenal sebagai penjahat kejam tanpa perasaan. Yang ia lihat sekarang justru adalah wanita yang murni kehilangan. “Maaf,” balas Lukman sambil menggaruk pipinya. Ia tulus. Perasaan Sana juga seringkali dirasakannya. Indah tak dapat disangkal memiliki kenalan pria lebih banyak daripada dirinya mengenal perempuan. Apabila secara hipotesis 100 pria dikenal maka mungkin saja satu akan masuk dalam hati. “Aku juga cemas setiap kali bertugas.” “Akhirnya ada yang mengerti.” Lukman lagi-lagi tak menyangka kalau Sana akan ekspresif. Binar mata perempuan itu persis seperti anak-anak menemukan sahabat lama yang hanyut terbawa arus samudera bertahun-tahun lamanya. “Teman-teman dan keluargaku di sini selalu bilang tinggalkan saja dia. Dia hanya mau memanfaatkanmu. Tidak pantas untukmu lah. Macam begitu semua. Kau yang pertama bilang hal lain.” Si wakil menepuk kepalanya. Alamat masalah lain baginya. Lukman melirik pada si Wakil. Ia tahu kalau tindakannya tidak disukai. “Terima kasih, tapi jangan lupakan pula teman-teman dan keluarga yang mengingatkanmu,” ujar Lukman, tulus –sambil berusaha untuk menghindari masalah dengan si Wakil. “Kamu ini… polisi yang unik, ya.” Lukman tahu biasanya kalimat itu akan berujung pada hinaan. Polisi harus punya kemampuan mendominasi. Doktrin mereka menganggap setiap rakyat memiliki masalah atau bahkan adalah masalah. Hanya baru-baru ini paradigma digeser pada Pelayanan Masyarakat. Tapi ia yang berada di reskrim seperti ikan tanpa air. “Jujur gitu.” Lukman membelalakkan matanya. Sana menyeringai senang. “Lumpur-lumpur biasanya senang mengatakan ‘tahu diri kalian’, ‘jangan melawan’, atau ‘diam di tempat anda’. Kau tahu, bahasa-bahasa yang ingin mengatakan aku di atas kalian. Aku kuat. Jangan coba-coba melawan.” Lukman memandang dengan lembut, mengingat Indah “Mungkin karena aku punya istri.” “Nggak. Nggak, bukan itu. Banyak Lumpur yang punya istri tapi tetap songong. Melihatku persis seperti melihat penjahat. Jadi aku bertindak seperti mau mereka.” Lukman tidak menyangka kalau Sana akan ngobrol ringan dengannya. “Mereka bilang kau akan membunuhku. Jadi mereka menumbalkan aku,”ujar Lukman tiba-tiba. Sedikit rasa aman membuatnya lengah mengucapkan sesuatu yang harusnya intel dari kepolisian. Sana dan wakilnya saling pandang. “Sudah kuduga.” “Ada pihak yang sengaja mengincar Sana,” jelas wakil. “Mereka terbukti menculik kembali suami Sana,” tambahnya seraya mengencangkan balutan perban. “Yang mereka inginkan adalah agar Sana selalu terjebak.” Lukman menyimak. “Dan agar suamimu tidak pernah kembali ke pelukanmu?” Sana senang mendengar deduksi itu. “Betul sekali!” “Kalau aku bisa menangkapnya, akan kujadikan sansak agar mengaku!” mata Sana tampak membara. “Kalian akrab ya,” komentar Lukman lagi. Sana kembali tersipu dan menonjok lengan Lukman. Satu tinju itu menggetarkan tulang Lukman selayaknya menaiki mesin diet penggetar perut. Ia pingsan dengan mulut berbusa. Sana panik karena ia tidak sengaja menyakiti Lukman. Sementara si Wakil menyeringai. Ia menemukan sesuatu yang menarik.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN