SISI LAIN DOSEN KUTUB

1313 Kata
“Nasi uduknya enak, kamu beli dimana?” Ana tidak lagi menunggu suapan demi suapan dari Ray, melainkan menyuap sendiri makanan khas Betawi yang sangat populer dan mudah ditemukan di setiap sudut kota Jakarta itu. “Minum dulu, An.” Ray menyodorkan segelas air yang baru saja ia ambil dari dispenser yang tersedia di ruangan itu. “Saya beli di tempat yang kamu bilang tadi. Kalau beli tempat lain takutnya kamu gak suka,” sahut pria itu, kemudian. “Makasih ya, kamu jadi repot gara-gara aku. Lain kali kamu gak harus gini juga.” “Gak masalah. Saya malah senang kalau kamu minta sesuatu ke saya.” Ray menatap wajah cantik istrinya. Ana yang mendengar pernyataan tersebut hanya membalas dengan sebuah anggukan kecil. Ray sadar kalau Ana masih merasa sungkan. Gadis itu bahkan tidak berani membalas tatapannya secara terang-terangan. Beberapa menit kemudian, meja yang ada di hadapan sepasang suami istri itu telah kosong. Bungkus-bungkus makanan telah mereka bersihkan dan dibuang pada tempatnya. Ray kembali mendekati sofa setelah memeriksa sesuatu di laptopnya. Kini, lengan kemeja pria itu juga tampak kembali rapi, tidak seperti tadi yang ditarik hingga siku. “Jam istirahat udah hampir selesai. Nanti kamu masuk di kelas siapa?” tanya Ray pada Ana yang sedang bersantai sambil memainkan ponsel. Ana langsung melihat jam yang tertera di layar ponselnya dan segera bangkit dari sofa seraya berujar, “Pak Syam, mata kuliah Kimia Fisik.” “Okay. Belajar yang serius. Jangan melamun seperti tadi.” Ray mengingatkan. “Tadi, aku gak melamun kok.” Ana dengan cepat membantah. “Jadi, apa?” “Ng-nggak, gak ada. Pokoknya aku gak ngelamun. Kamu aja yang salah paham.” Ana grogi. Jangan sampai Ray tahu kalau tadi ia sedang terpana melihat ketampanannya. “Baiklah, tapi kamu tetap harus mengerjakan tugas yang saya beri.” “Iya-iya. Gitu amat,” sahut Ana sewot, lalu beranjak dari sofa menuju pintu keluar. Dua langkah mencapai pintu, Ana tiba-tiba berhenti dan berbalik menatap Ray yang ternyata telah berdiri tepat di belakangnya. Sontak, hal tersebut membuat Ana kembali canggung karena jarak mereka yang terlalu dekat. “Kamu mau ngomong sesuatu?” Ray tersenyum kecil melihat Ana yang tampak gugup. “Makasih makanannya,” gumam gadis itu, nyaris tak terdengar. “Sama-sama.” Detik selanjutnya, Ray mengulurkan tangan memegang kedua sisi lengan Ana lalu mencondongkan tubuh dan mendaratkan kecupan pada kening istrinya itu. Ana menegang. Tubuhnya kaku merasakan sentuhan Ray yang hangat. Pria itu benar-benar ahli dalam membuat perasaannya tidak karuan. Sementara itu, Ray menutup lembut kedua matanya menikmati apa yang ia lakukan, sebelum akhirnya menjauh dari Ana dan tersenyum lembut. “Pergilah,” titahnya. Ana lagi-lagi menurut. Ia langsung pergi dari hadapan Ray dan meninggalkan ruangan itu dengan wajah memerah dan jantung yang berdebar kencang. Demi apapun, ia sangat malu dan merasa telah melakukan kesalahan besar. “Bodoh bodoh bodoh, kenapa tadi gue gak menghindar, sih?” tukasnya, antara kesal dan senang. Saat melintasi lorong menuju kelas, Ana berkali kali terlihat mengusap keningnya tempat dimana Ray meninggalkan kecupan. Ana tidak bisa membohongi dirinya kalau perlakuan Ray berhasil membuat perasaannya berbunga-bunga. Hanya saja, ia masih sangat canggung mendapat perlakuan seperti itu. Sekalipun Ray adalah suaminya, tapi mereka baru saling mengenal tidak lebih dari 1 minggu. Mereka juga menikah bukan karena cinta, dan yang paling membuat Ana heran, bisa-bisanya Ray semudah itu bersikap baik kepadanya. “Ana, tunggu!” Seseorang memanggil namanya, membuat sang empu langsung berhenti dan menoleh ke sumber suara. “Nicholas, lo kenapa?” tanya Ana kebingungan saat melihat raut kelelahan pria itu. Nicholas Anderson, pria keturunan Indonesia dan Belanda itu melemparkan senyum manis seraya menetralkan napasnya begitu berhadapan dengan Ana. “Lo dari mana aja? Dari pagi gak keliatan,” tanya Ana, kembali melanjutkan langkah menuju kelas. “Tadi gue ada urusan, jadi gak bisa masuk kelas. Ini juga gue sempet-sempetin biar bisa masuk di kelasnya Pak Syam,” jelas pria itu seraya mengimbangi langkah Ana yang terkesan terburu-buru. “Gimana tadi sama Dosen Ray? Asik gak belajarnya?” tanya pria itu setelah Ana hanya mengangguk kecil menyahuti pernyataannya. “Biasa aja. Tugasnya banyak. Gue sama Agung kena masalah sama tuh dosen.” “Loh, masalah? Tumben-tumbenan lo.” “Ya gitu deh. Gue gak konsen saat ngikutin kelasnya dia, terus disuruh buat jurnal sama makalah,” ungkap Ana, sedikit lesu mengingat tugasya yang semakin menumpuk. “Ada-ada aja tuh dosen.” Ana mengedikkan bahunya acuh, tidak lagi melanjutkan percakapan dengan Nicho hingga mereka sampai ke kelas dan mengikuti pembelajaran yang dibawakan oleh dosen berkepala botak itu *** Para mahasiswa berhamburan begitu dosen yang mengajar pada mata kuliah terakhir pergi meninggalkan kelas. Raut lesu yang sempat menyelimuti wajah para mahasiswa itu seketika sirna dan digantikan oleh senyum cerah setelah mereka berhasil menyelesaikan perkuliahan hari ini. “Ana, lo pulang naik apa? Dijemput, gak?” Dinda langsung melontarkan pertanyaan begitu ia selesai menyimpan buku-buku dan alat tulisnya ke dalam tas. “Nggak, Gue naik taksi,” sahut Ana yang juga telah melakukan hal yang sama dengan Dinda. “Pulang bareng gue aja, An.” Nicholas menimpali. Pria berkemeja abu-abu yang duduk tepat di samping Ana dan Agung itu menatap gadis itu dengan penuh harap. “Gak usah, Nich, makasih. Gue naik taksi aja.” Nicholas hanya bisa tersenyum kecut mendapat jawaban tersebut. Bagaimana tidak, perubahan Ana terasa begitu jelas baginya. Kamu bener-bener udah berubah, An, batinnya. Sementara Agung dan Roy menghibur Nicho, Ana menyibukkan diri dengan ponselnya yang baru saja menerima sebuah pesan dari Ray. Kamu pulang sendiri gak papa, kan? Aku masih ada sedikit kerjaan. Ana sedikit kecewa membaca pesan tersebut. Padahal, ia berencana mengajak Ray ke toko buku untuk membeli buku yang berkaitan dengan mata kuliah yang diajarkan oleh suaminya itu. Gapapa. Pesan terkirim. Ana kembali menyimpan ponselnya dan segera menenteng tas hendak meninggalkan kelas bersama para temannya. Kelima sejoli itu kemudian tampak berjalan beriringan menyusuri lorong fakultas sambil membicarakan beberapa hal yang sesekali diiringi oleh canda tawa. Mereka melewati puluhan anak tangga dan beberapa kelas yang kini tampak kosong karena penghuninya telah pergi ke tempat tujuan masing-masing. “Nich, gue pulang bareng lo aja deh, boleh, gak?” Di tengah perjalanan menuju parkiran, Ana menimbang kembali tawaran Nicho, membuat pria itu langsung tersenyum senang. “Boleh dong, An. Boleh banget,” sahut Nicho yang kini berjalan di samping kanan Ana. “Tapi, nanti gue mau singgah ke toko buku bentar, boleh gak?” “No problem. Kebetulan gue juga lagi mau nyari-nyari buku.” Senyum di wajah Nicho semakin mengembang. Demi apapun, ia tidak menyangka Ana akan berubah pikiran dan hendak ditemani ke toko buku. Membicarakan tentang toko buku, Nicho jadi teringat dengan beberapa kenangan mereka. Dulu, ia dan Ana sangat sering pergi ke toko buku yang berada tidak jauh dari sekolah mereka, mau itu untuk membeli buku atau sekedar menemani Ana melihat-lihat n****+ keluaran terbaru. “Guys, kita berdua duluan ya.” Sesampainya di parkiran, Roy dan Agung bersiap memasuki sebuah mobil yang terparkir di antara puluhan mobil lainnya, tidak terkecuali mobil Nicho. “Yoi, hati-hati, Bro,” sahut Nicho. “Yoi, Bro.” Kedua pria manis itu kemudian memasuki mobil mereka dan pergi meninggalkan area kampus. Begitupun dengan Dinda, gadis itu telah pergi beberapa saat yang lalu meninggalkan keempat temannya dengan menaiki sebuah taksi yang ia order secara online. Dinda sengaja tidak ikut dengan Ana dan Nicho karena tidak ingin mengganggu kebersamaan kedua temannya itu. Selain itu, ia juga telah memiliki janji temu dengan seseorang. Tidak buang-buang waktu, Ana dan Nicho juga langsung memasuki mobil dan segera meninggalkan kampus setelah memasang seltbealt di tubuh mereka. Tepat setelah mobil sport berwarna merah itu keluar dari area parkir, Ray menghentikan langkahnya saat melihat sosok Ana berada di dalam mobil yang barusan melintas tidak jauh dari tempatnya. Pria itu terdiam seraya memandangi mobil tersebut hingga benar-benar menghilang dari pandangannya. “Ray, ayo.” Suara tersebut menyadarkan Ray. Ia lalu mengangguk kecil dan kembali melanjutkan langkah bersama Rahel.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN