PENGANTIN BARU
Suara langkah kaki terdengar menuruni satu persatu anak tangga yang memutar hingga berakhir di meja makan setelah melewati beberapa ruangan. Rumah bernuansa putih itu tampak begitu elegan dengan gayanya yang klasik. Dihiasi oleh furniture berkualitas tinggi dan beberapa guci berukuran besar yang pastinya tidak ditemukan di sembarang toko. Arsitekturnya memancarkan kemewahan dengan langit-langit yang tinggi dan jendela yang dilapisi tirai abu-abu. Setiap sudut ruangan itu tampak sangat serasi dan indah.
Gadis itu berhenti di depan meja makan mewah yang didominasi oleh warna emas dan memiliki 6 kursi.
“Ana, makanlah. Ini masakan pertamaku khusus untukmu.”
Suara itu mengalihkan pandangan gadis berpakaian kasual tersebut.
Ana lantas menarik sebelah ujung bibirnya, merasa canggung dengan kehadiran Ray. Bagaimanapun, ini pagi pertama mereka setelah menjadi sepasang suami istri dan itu membuatnya merasa canggung.
“Makasih.” Satu kata terucap di bibir Ana sebelum ia menarik kursi dan duduk di sana.
“Makanlah. Ini akan membuatmu lebih baik.” Ray menyerahkan sop ayam yang beberapa menit lalu ia masak.
“Makasih.” Ana kembali tersenyum canggung, kemudian menyicipi sop tersebut.
“Bagaimana persiapan mu? Sudah aman? Ini hari pertama kamu kuliah, jadi jangan sampai ada yang terlewatkan.” Ray menatap wajah Ana dengan intens.
Istrinya itu terlihat sangat cantik dan rapi dengan pakaian serba biru mudanya.
“Sudah.”
“Gimana kalau kita berangkat bareng? Sepertinya tidak akan ada yang curiga. Teman-temanmu juga pasti belum ada di sana saat kita tiba.” Ray memberi saran.
“Hm, terserah kamu aja.” Ana lagi-lagi mengulum senyum canggung.
Ray lalu menuangkan air di gelas milik Ana yang tinggal sedikit setelah menghabiskan makanannya lebih dulu, kemudian mengulurkan tangan dan merapikan rambut istrinya dengan gerakan perlahan.
“Anak rambutmu ini sepertinya sedikit mengganggu, ya? Kalau kamu mau, aku bisa menemanimu ke salon nanti sore.”
Ana mematung. Perlakuan tiba-tiba Ray membuatnya terhipnotis dan sulit untuk berkata-kata. Pria itu, tidak bisakah ia diam dan duduk manis saja di tempatnya? Perlakuannya membuat jantung Ana menggila.
Memangnya apa yang salah dengan rambutku? batin Ana seraya mengusap pelipisnya, menutupi rasa grogi yang kini menggerogoti dirinya.
“Aku lebih suka melihat rambutmu yang seperti ini ketimbang diikat seperti pertama kali kita bertemu,” tukas Ray seraya mengingat pertemuan pertama mereka yang sangat berkesan.
Saking berkesannya, mereka sampai harus menikah dan menghadapi amarah serta kekecewaan dari orangtua mereka,
“Makan yang banyak. Jangan sampai kamu kelaparan saat mengikuti kelas.” Ray mengalihkan pembicaraan dan tidak lagi memperpanjang perihal pertemuan mereka kala melihat raut wajah Ana yang berubah sedih.
“Gak, makasih. Aku takut mengantuk kalau kekenyangan.” Ana buru-buru menggeser piringnya saat Ray hendak meletakkan sepotong ayam goreng.
Ia kemudian bangkit dari kursi dan berujar,
“Aku sudah selesai. Kamu bergegaslah. Kutunggu di depan. Jangan lama.” Ana lalu pergi tanpa berani membalas tatapan suaminya itu.
Demi apa, ia tidak pernah menyangka Ray yang terkenal cuek dan tak berperasaan bisa mengucapkan kata-kata manis seperti tadi. Pria itu seperti bukan Ray yang ia kenal di kampus. Kalau teman-temannya tahu, mereka pasti histeris atau bahkan menganggapnya membual.
Sebuah rumah yang ditempati oleh pengantin baru itu merupakan rumah warisan kedua orangtua Ray. Pria yang berprofesi sebagai dosen di salah satu kampus ternama di kota itu merupakan anak tunggal di keluarganya dan selalu menjadi kebanggaan kedua orangtuanya.
Begitupun dengan Ana. Gadis cantik dengan tinggi semampai yang sukses mengambil tahta tertinggi di hidup Ray itu merupakan anak semata wayang pasangan Agus dan Lela. Ana sendiri berasal dari keluarga terpandang yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai norma dan adat istiadat di daerah mereka. Hal itu juga lah yang membuat Ana dan Ray bisa menikah dan berakhir seperti sekarang.
“Bisa kita berangkat sekarang?”
Ana terkejut,s lamunannya seketika buyar. Ia refleks menoleh ke arah Ray yang entah sudah berapa lama duduk di sebelahnya.
“Si-silahkan.”
Setelah mendapat jawaban dari sang istri, Ray langsung tancap gas meninggalkan pekarangan rumah yang masih sekitar 21 jam mereka tempati.
Di dalam mobil, Ana berulang kali menghela napas berat. Ray lagi-lagi membuatnya terkejut saat perlakuan pria itu memasangkan sealbeltnya saat mereka hendak berangkat tadi.
Rasanya sudah lebih dari 3 kali aku mengucapkan terimakasih pagi ini. Huh, bisa-bisanya aku segerogi ini. Ternyata begini yang dirasakan oleh Dinda dan Ratna saat berada di dekat Ray. Padahal, dulu aku selalu mengejek mereka, gumam Ana dalam hati.
Setelah melewati ratusan gedung dan beberapa lampu merah, mobil hitam yang dikendarai oleh sepasang suami istri itu tampak melambat hingga akhirnya berhenti di bahu jalan.
“Kamu yakin mau turun di sini? Gimana kalau turun di parkiran aja? Sepertinya di dalam belum banyak orang,” imbuh Ray setelah mobil yang dikemudinya benar-benar berhenti.
“Gak perlu. Belum banyak orang bukan berarti tidak ada orang. Satu orang aja ngeliat aku keluar dari mobil kamu, satu kampus bisa heboh. Aku gak mau nanggung resiko,” ucap Ana, penuh penekanan.
Mengenai rahasia antara hubungannya dan Ray, Ana tidak akan main-main. Karena ia tahu, jika hubungan mereka tersebar, dirinya lah yang pasti akan dibenci oleh anak-anak kampus, sedangkan Ray? Dosen tampan itu tetap akan menjadi idola semua orang.
Ray yang mendapat jawaban seperti itu hanya bisa pasrah dan bergegas mengambil bekal yang telah ia siapkan dari jok belakang dan menyerahkannya kepada Ana.
“Apa ini?”
“Jangan makan sembarangan. Hubungi aku kalau kamu butuh sesuatu.” Mengabaikan pertanyaan Ana, Ray malah memberi wejangan yang lagi-lagi kembali membuat istrinya itu terkejut.
“Aku tahu apa yang terbaik untukku. Makasih untuk bekalnya. Aku pergi.” Seutas senyum simpul terukir di bibir ranum Ana dan itu cukup membuat Ray senang.
“Hati-hati. Sampai ketemu di kelas,” balas pria bertubuh atletis itu sembari tersenyum manis.
Ana turun dan buru-buru menjauh dari mobil Ray. Ia menatap sekitar dengan was-was, takut ada yang mengenal atau melihatnya keluar dari mobil dosen tampan sekaligus rebutan para mahasiswi itu. Yang benar saja, sejak kapan Ana mengakui ketampanan suaminya itu?
Tepat seperti dugaan Ana, ada beberapa mahasiswa yang sudah berada di kampus. Untung saja orang-orang itu tidak memperhatikannya dan ia bisa leluasa berjalan menuju kelasnya yang ada lantai tiga di fakultas matematika dan ilmu pengetahuan alam. Setelah menyimpan tas dan bekal pemberian Ray, Ana kembali keluar kelas dan melihat-lihat area lingkungan kampus.
Dari sudut balkon, Ana menatap pepohonan rindang yang mengelilingi setiap gedung di kampusnya itu. Berada di ketinggian membuatnya mudah untuk melihat gedung-gedung dan orang-orang yang berlalu lalang di bawah sana. Para mahasiswa tampak antusias menuju kelas mereka atau ke tempat nongkrong yang sudah menjadi seperti basecamp pribadi mereka.
Tidak disangka, aku akhirnya menempuh pendidikan di kampus ini dengan status sudah menjadi istri orang. Padahal sebelumnya, Mama dan Papa sangat ingin aku menempuh pendidikan hingga mendapat gelar magister baru memikirkan soal laki-laki dan pernikahan. Tapi sekarang, jangankan magister, sarjana saja belum. Wajar kalau mereka kecewa dan marah padaku. Mulai sekarang, aku harus berusaha untuk mengembalikan kepercayaan mereka. Bagaimanapun, aku harus membersihkan nama baikku yang rusak gara-gara Ray, batin Ana, berambisi.
“Dan satu-satunya orang yang pantas untuk disalahkan adalah kamu, Ray,” desisnya, dengan kedua tangan terkepal di samping paha.
“ANA … DEMI APA BARUSAN GUE KETEMU SAMA DOSEN RAY DAN DIA SENYUM SAMA GUE!”
Siapa yang tidak mengenal suara cempreng dan menggelegar yang nyaris memekakkan telinga itu? Melihat cara jalan dan stylenya dari kejauhan saja orang-orang sudah pasti tahu siapa orang itu.
“Santai dikit kali, Din. Dosen titisan kutub itu gak mungkin senyum sama lo,” sarkas Ana seraya memutar bola matanya jengah.
Mana mungkin Ray mau senyum kepada gadis lain selain dirinya. Tidak mungkin, pikir Ana, kelewat percaya diri.