SUAMI ATAU DOSEN?

1168 Kata
“Gue serius, guys, Dosen Ray senyumin gue. Tadi gue sengaja lewat dari depan ruangannya dan ternyata tuh dosen lagi duduk-duduk di bawah pohon besar yang ada di depan ruangannya. Awalnya dia mendongak gitu, gak tahu lagi liatin apa, terus gak sengaja tatapan kami ketemu dan dia senyum. Demi apa, hari ini gue bakalan belajar dengan giat dan serius. Dosen Ray harus tahu kalau senyuman dia itu udah memotivasi gue untuk belajar. Gue harus buat dia bangga sama IPK gue nanti.” Tidak berhenti di lorong, Dinda terus melanjutkan ceritanya sampai ke dalam kelas dan kali ini tidak lagi bercerita kepada Ana, melainkan kepada Balqis, Roy dan juga Agung. Sayangnya, ketiga orang itu tidak menggubris ke antusiasan Dinda. Mereka hanya mengulum senyum sesekali dan tetap sibuk dengan kegiatan masing-masing. Tampak jelas kalau mereka sedang malas mendengarkan curhatan, lebih tepatnya karangan Dinda yang menurut mereka tidak benar dan sangat kentara sebagai cerita yang dibuat-buat. Ayolah, siapa juga yang akan percaya kalau Dosen Ray tersenyum kepada Dinda. Kalaupun ada, itu pasti di alam mimpi gadis itu, pikir mereka. “Kalian gak asik. Bilang aja kalian iri sama gue!” Dinda menggebrak meja yang menyatu dengan kursi yang didudukinya kala tidak mendapat jawaban apapun dari ketiga temannya itu. “Kalau aja Ratna masuk hari ini, dia pasti jadi orang pertama yang antusias dengerin cerita gue,” lanjutnya, sedikit murung dan kesal. “Udahlah, Din. Kalaupun Ratna masuk, dia juga gak akan semudah itu percaya sama cerita lo barusan. Iya kan, An?” timpal Agung seraya menyikut lengan Ana, meminta pembelaan. “Menurut gue sih, iya.” Ana tersenyum, membuat Agung dan Roy tertawa kecil karena mereka berhasil membuat Dinda kesal. “Kalian nyebelin. Kita buktiin aja besok. Ratna pasti semangat dengerin gue.” Kepalang kesal, Dinda sampai ogah menatap teman-temannya dan hanya menatap lurus ke depan dengan bibir manyun sambil bersedekap. “Bibir lo biasa aja dong, Din. Gak usah maju-maju gitu, gak imut, gak cantik juga,” celetuk Roy, yang duduk tepat di samping Dinda. “Diam lo.” “Dih, baperan. Oke-oke, lo tetap cantik dan menawan kok. Bagi gue, lo cewek terimut dan tercantik di kelas ini,” rayu Roy sambil menatap Dinda dengan intens, tapi gadis itu tetap menatap lurus ke depan. “Jangan bicara sama gue. Gue muak dengar omongan lo yang ngelantur itu,” balas Dinda, sarkas. “Tadi lo juga ngelantur kok. Lo ngelantur kalau Dosen Ray senyum sama lo,” sahut Roy, cepat. “Itu seriusan, Roooy. Gue gak ngelantur.” “Iya deh iya, gue percaya.” Roy memutar bola matanya jengah. Agung dan Ana yang duduk di dekat kedua orang itu lagi-lagi menghembuskan napas panjang setelah sebelumnya saling lempar pandang dan tersenyum penuh makna. Keduanya sengaja tidak menimpali perdebatan Dinda dan Roy dengan tujuan yang hanya diketahui oleh mereka saja. Beberapa menit kemudian, kelas yang tadinya riuh seketika hening saat seorang pria bersetelan jas abu-abu memasuki ruangan. Seluruh pasang mata menatap pria itu dengan intens dan terpesona. Tentu saja, tatapan itu diberikan oleh para kaum hawa yang saat ini berdecak kagum. Meletakkan buku yang dibawa, dosen tersebut kemudian membiarkan pandangannya menatap para mahasiswa yang hadir hari ini dengan penuh ketegasan dan intimidasi, sebelum akhirnya suara pria itu terdengar dan memasuki pendengaran semua orang di ruangan tersebut. “Halo semuanya, saya Rayhan Brijaya. Mulai hari ini, saya menjadi dosen matakuliah Ekonomi Bisnis. Di kelas ini, saya harap kalian tidak datang terlambat dan tidak pulang lebih awal. Kalau harus izin sakit, silakan datang ke rumah sakit tersier minta izin cuti resmi,” Ray memaparkan pembukaan dengan cukup tegas. “Kalau ingin memahami saya dalam pembelajaran, kalian bisa meluangkan waktu untuk memeriksa ensiklopedia online. Waktu di kelas sangat berharga, jadi saya tidak akan menjelaskan satu persatu. Baik, hari ini kita mulai pelajaran.” Tidak hanya rumor, pria bertubuh atletis itu benar-benar memancarkan aura yang cukup mendominasi dan tatapannya terkesan sangat datar dan dingin, membuat para mahasiswa di ruangan itu merasa was-was. Bahkan, tidak sedikit dari mereka berkali-kali menelan saliva kasar melihat kesan pertama dosen Ray di ruang kelas. Setelah membuka laptop, Ray menulis sesuatu di papan tulis dengan ukuran besar, tampak seperti judul mengenai materi yang akan dibahas. Tidak ada senyum. Tidak ada kelembutan. Pria itu tampak sangat tegas dan berwibawa serta terkesan sulit untuk didekati. Ray bahkan membiarkan matanya menatap setiap sudut ruangan itu dengan tajam, membuat Ana yang duduk di barisan ke empat dan tepat berada di tengah-tengah susunan bangku yang berjejer rapi menelan salivanya kasar dan sempat terperangah. Ia seperti melihat dua orang yang berbeda. “Dosen Ray memang luas biasa. Di umur 18 dia masuk universitas ternama di Amerika. Dia juga memenangkan banyak olimpiade kimia. Bahkan rumor-rumornya, anak salah satu menteri Amerika sampai jatuh cinta kepada Dosen Ray.” Mahasiswi bernama Tasya yang duduk tepat di depan Ana berbisik kepada Amel, teman di sebelahnya. “Serius lo, Tas?” “Serius lah. Kenapa? lo gak percaya?” Tasya mendelik kesal. “Kalau laki-laki itu Dosen Ray, udah pasti gue percaya,” sahut Amel, berbisik. “Gue kasih tahu sama lo, dalam tiga tahun terakhir, Dosen Ray berhasil dapatin gelar PhD. Luar biasa, kan? Selain tampan dan maco, dia juga sangat pintar.” Tasya yang kini tampak mengenakan kemeja hitam kembali bercerita dengan penuh antusias. “Dosen Ray memang luar biasa. Mulai sekarang dia adalah panutan gue. Gue harus jadi mahasiswi yang pintar agar Dosen Ray terkesan sama gue,” lanjutnya seraya memperhatikan Ray yang sedang menerangkan beberapa hal di depan sana. “Ngomong-ngomong, kenapa Dosen Ray gak tinggal di luar negeri aja? Kenapa dia lebih milih jadi dosen di kampus ini?” “Udah pasti karena dia alumni di kampus ini. Gimana sih, lo? Kalau Dosen Ray gak ngajar di sini, kita gak bakalan bisa ketemu sama dia hari ini.” “Lo benar. Dosen Ray emang paling keren.” Ana samar-samar mendengar percakapan kedua temannya itu. Berbagai tanda tanya muncul di kepalanya mengenai Ray. Ia yang merupakan istri dari seorang Rayhan Brijaya bisa-bisanya buta informasi tentang pria itu. Entah siapa sebenarnya Ray itu, Ana tidak tahu dan belum mencari tahu. “Ana, fokus.” Agung menyikut lengan Ana, menyadarkan gadis itu dari lamunannya. Ana tersenyum tipis, lalu kembali menatap ke depan dan sebisa mungkin untuk fokus memperhatikan dan mendengarkan penjelasan Ray. Alih-alih mendengarkan penjelasan Ray mengenai materi hari ini, gadis itu malah salah fokus dengan penampilan pria itu. Tangan Ana yang dari tadi sibuk memainkan pena sampai terhenti saking terpana nya ia melihat Ray yang kini memakai kaca mata. Tatapan Ana terkunci kepada sosok di depan sana. Ray seakan menghipnotisnya. Pria tinggi berkulit sawo matang itu tampak begitu tampan dan Ana sedikit menyesal baru menyadarinya sekarang. “Jangan ada yang melamun atau saya keluarkan sekarang juga!” Kesadaran Ana seketika kembali. Matanya mengerjap-ngerjap karena terkejut mendengar pernyataan Ray yang sangat tegas dan penuh ancaman. Tidak hanya itu, jantung Ana pun hampir lepas dari tempatnya karena tatapan Ray yang ternyata sedang tertuju kepadanya. Oh God, dosen titisan kutub itu sedang menatapnya dengan lekat. Ingat! dengan lekat! Siapapun, tolong Ana!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN