6. Jadi Orang Ketiga

1544 Kata
"Baiklah. Kamu bisa mempergunakan waktu lebih lama untuk berada di sini," ujar Kala sambil berbalik tapi sedikit menoleh ke arah Melinda. "Terima kasih, atas kelonggaran waktunya, Pak." Melinda menundukkan wajah. Ketika yang sama air matanya jatuh. Dia jadi melap dengan tergesa. "Hah!" Lelaki itu menghembuskan nafas sambil mendongak. Kala tidak lagi mau bicara dengan Melinda. Dia meninggalkan begitu saja. Seakan-akan keangkuhan berada di pundaknya. Meski sebenarnya Kala tidak tega melihat Melinda. Kala memutuskan ke ruangan pribadi. Membuka jas karena gerah. Lanjut mendudukan diri di kursi dengan perasaan kacau seperti tadi. "Sebenarnya apa yang terjadi?" gumamnya tidak mengerti. Kala akhirnya mengangkat gagang telepon. Dia ingin memanggil seseorang. "Bima. Ke ruangan saya. Sekarang!" Tak lama Bima sudah ada di ruangannya lengkap dengan note dan pena. "Ada apa, Pak?" "Bima. Bagaimana pengaturan shift untuk buruh wanita?" Kala masih biasa saja. Dia bahkan bertanya sambil mengetik pekerjaannya. Tapi jawaban Bima membuatnya tak habis fikir. "Para buruh tidak dipisahkan berdasarkan gender. Pria dan wanita mendapati shift yang sama. Pagi, sore dan malam." Kala mendelik. Tunggu, siapa yang menggantinya. Sepengetahuannya ... Adikara Tjandra selalu mengutamakan buruh wanita. Sejak kapan itu berubah? "Maksudmu. Mereka bisa datang di atas jam 10 malam dan menginap di pabrik?" Bima terkejut mendengar suara lantang Kala. "Bukan menginap, Pak. Tapi berkerja. Lagipula ... gak setiap hari. Hanya disaat produksi sedang tinggi-tingginya. Kita membuka shift malam, Pak," terang Bima. Wajar jika Kala tidak tahu pengaturan waktu kerja pabrik. Karena dia juga baru gabung jadi salah satu direksi di sini. Kala terdiam. Kalau begitu artinya enam bulan ke depan kemungkinan produksi malam dijalankan. Kebetulan perusahaan Adikara Tjandra mendapatkan proyek besar dan diminta proses cepat. Artinya bisa saja tindakan kekerasan maupun pelecehan terjadi di tempatnya. Tidak, Kala tidak ingin sampai terjadi. Kemaslahatan buruh dari datang sampai pulang juga merupakan tanggung jawab dirinya. Kala merasa gak bisa berpangku tangan melihat ketidak adilan di depan matanya. Ironi, perusahaan yang semestinya jadi ladang mencari amal ibadah dan berkah-Nya. Berubah jadi ketakutan dalam d**a. Kala resah, andai kepimpinannya dipertanyakan. Dan bisakah dia mempertanggung jawab kan? "Kalau begitu. Saya ingin dirubah. Buruh wanita hanya bisa bekerja di shift pagi dan sore. Saat malam hanya ada buruh pria saja." Bima langsung melotot. Dia rasa, akan banyak yang tidak menyetujui usulan Kala. Pengaturan shift malam biasanya memiliki bayaran lebih. Dan banyak buruh yang mengharapkan bekerja dijam tersebut. Namun, Bima tidak bisa menolak titah Kala. "Satu lagi, ganti seragam dengan lebih tertutup. Lebih tebal tapi nyaman dipakai." Dia mengutarakan seolah semua bukan persoalan penting. Sayangnya benak Bima langsung mengkalkukasi berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk itu semua. "Tapi, Pak. Berarti kita harus menggelontorkan dana yang cukup besar untuk mengganti seragam. Dimulai dari design, bahan, sampai proses pengadaan. Semua harus dilalui disaat seperti ini. Apa lebih baik gak usah saja, Pak?" selidik Bima. Kala merasa itu bukan persoalan yang harus digalaukan. Soal design, dia bisa memanggil designer biasa dipakai. Masalah bahan dan proses pengadaan bisa dibuka tender untuk perusahaan pemasok. "Ayoklah, Bima. Kalau kamu cepat menyerah kelak kamu gak akan mendapatkan apapun dalam hidup," tutur Kala serius. malah menyukai tantangan dan Kala juga pantang merevisi pikirannya. Terutama dibalik semua itu. Dia hanya ingin memanusiakan para pekerja. Menghargai seperti apa yang dia percaya, gaji besar mungkin bisa membeli seluruh waktu buruh. Tapi loyalitas hanya dihasilkan dari hati. Hati puas merasa diterima dengan baik yang akan melahirkan kesungguhan dalam bekerja. Itu yang mau Kala terapkan. Tapi, Bima lebih pesimis dari yang dia duga, "Pak. Itu artinya kita juga harus menyiapkan uang dalam jumlah besar. Sedang dana yang tersedia sedang dialokasikan untuk proses produksi." Bima memelas. Semoga Kala paham. Mengerjakan dua proyek besar sekaligus membuatnya merasa tak yakin. Akhirnya Kala meminta laporan produksi. "Kita lihat. Apa benar, Adikara tidak punya peti cash lain?" Kala menunggu Bima memberikan laporannya. Bima tidak menjalankannya. Dia cuma membeku. "Maaf, Pak. Laporannya masih ada di meja Pak Justin. Beberapa manajer sudah memberikannya dari minggu lalu. Tapi entah mengapa tidak juga keluar dari ruangan Pak Justin." Kala menghempaskan punggung ke kursi. Gimana bisa keluar dari ruangannya kalau pria itu tidak mengecek. Kala yakin, Justin tidak bekerja selayaknya. 'Kenapa harus ada cowok itu di posisi sepenting ini,' benak Kala frustasi. "Justin," Kala berdesis. Untuknya ... Kala merasa ingin memeroses sendiri. "Sudahlah Bima. Siapkan saja apa yang tadi saya minta. Hari ini kamu bisa memulai menghubungi designer dan memberikan saya skets seragam baru!" Kala tidak ingin diganggu gugat. Sedang reaksi Bima menelan ludahnya kasar. "Pak. Tapi saya juga lagi sibuk sekali," cicitnya takut-takut. Beruntung Kala bukan orang yang cepat marah. Lelaki itu malah tersenyum tipis. "Dan karena itu perusahaan menggajimu." Apabila Kala sudah bilang gitu artinya dia berusaha menahan emosi. Tak akan ada yang mampu membalas ucapannya lagi. Bima hanya mengangguk patah-patah. Kala berdiri. Mengantarkan rasa takut pada Bima. Bosnya itu menepuk bahu Bima tegas. "Bima. Adikara tidak semiskin itu sampai kamu mengkhawatirkan soal biaya." Kala benar, seharusnya pabrik tidak sepailit ini menghadapi biaya produksi sampai seolah-olah seluruh uang dikerahkan ke sana. Kecuali, ada orang yang mengambil keuntungan besar di belakangnya. Mata Kala serius menatap Bima. "Kita lahir dari wanita. Apa salahnya jika kita lebih menghargai mereka." Sungguh, Kala membuat Bima malu dengan dirinya sendiri. Dia tidak berfikir hingga kesana. Karena hal itu, Bima jadi makin rapat ke Kala. Kepalanya tertunduk dengan bibir terisak. "Kamu nangis?" Kala geli karena Bima terharu. Kuat dia mengulum senyum, tak ingin dianggap tidak punya empati. Kala menepuk punggung Bima. Sampai kening Bima jatuh di d**a sampingnya. "Hah!!" Sialnya saat yang sama Vanilla membuka pintu. Tunggu, Vanilla merasa dia datang disaat yang tidak tepat. Seharusnya dia gak melihat adegan ini. Tatapannya mencolos tidak percaya. Satu sisi ... Vanilla menyayangkan orientas Kala. Cepat Vanilla menutup pintu perlahan. Sialnya, Kala tidak menyadari ada Vanilla. Dia masih berusaha menjauhkan kening Bima dari kemejanya. Tidak! Kala tidak suka orang lain sedekat ini dengannya. "Minggir. Menyingkir dari tubuh saya!" Kala mendorong kepala Bima supaya jauh. Malah membuat Bima terjatuh. Drakk!! Tubuhnya tidak sengaja menubruk sofa. Hingga menimbulkan suara bising. Kala terjongkok. "Maafkan saya." Tangannya terjulur otomatis. Di luar Vanilla terus mendengarkan. Apa yang terjadi di dalam. Kenapa bising sekali. Buat apa Pak Kala minta maaf? Entah berapa banyak usaha untuk berpikir positif. Tetap saja, Vanilla tidak bisa menyingkirkan dugaan kalau Kala mau melakukan hal tidak-tidak ke Bima. Jantungnya jadi berdetak kencang. Tidak menduga semua terjadi. Terutama miris dengan dirinya sudah mencintai orang berbeda Tapi yang dia dengar ... Kala tidak punya pacar satu pun waktu dia di luar negeri. Bukankah itu aneh buat orang setampan dan se'hot dia? Sedang Kala ... menatap kemejanya. Ahk, ada bekas ingus Bima. Dan dia benci itu. Rasanya dia mau mandi saat ini juga untuk menyingkirkannya ingus Bima yang mungkin meresap sampai ke kulit. Kala membuka kemeja. Memperlihatkan otot abs perut berbentuk kotak-kotak. Seingatnya, dia meninggalkan beberapa setelan jas di kantor. Kala duduk di ujung meja kerja menghadap ke Bima dengan tatapan ketus. Dia berniat memanggil seseorang lagi. Kriiinggg!! Buru-buru Vanilla kembali ke ruangannya. Mengangkat telepon berdering dengan deru nafas hampir putus. "Iyah, Pak." Si penelpon adalah Kala. Orang yang bikin Vanilla mau marah dan gak habis percaya. Vanilla jadi menatap ruangan Kala. Sial! Sempat naksir sama cowok tampan itu. Ternyata, ahk sudahlah! "Tolong ambilkan setelan jas saya," titah Kala menutup telepon. Dia menunggu seraya menatap Bima masih jutek. 'Dia bikin aku pusing. Bisa-bisanya ingusan di badanku. Ahk, ini bisa hilang gak,ya?' Kala jadi over thingking. Sifatnya yang anti banget kotor malah merepotkannya. Sungguh, entah sejak kapan dirinya punya sugesti diri harus bersih dari kuman. Seingatnya waktu sekolah dia malah suka kotor-kotoran. Karena melamun, Kala jadi gak beranjak di tempatnya. 'Wow ... badan Pak Kala jadi banget. Otot leher, d**a hingga perut semua terlihat kencang. Dia gym di mana. Aku mau juga dong. Supaya pacar aku makin suka sama aku,' benak Bima mengamati tiap lekuk tubuh Kala tanpa berkedip. Ketika yang sama Vanilla masuk dengan setelan kemeja biru muda dan Jas hitam untuk Kala. Kok, dia merasa dé javu. Kenapa harus ada diposisi orang ketiga. Karena sungguh, di mata Vanilla. Kala seolah membanggakan tubuhnya ke Bima. Sementara Bima sedang mengagumi sambil duduk selurusan ke arah Kala. "Maaf, Pak." Akhirnya Vanilla bersuara. Kala mengangguk. Mengambil bajunya di tangan Vanilla. Bukan maksud menahan Bima tapi Kala memang masih butuh keduanya ada di sini. Sebentar dia membuka kemeja lama. Menampilkan otot punggungnya dan berlanjut pakai kemeja bersih juga tidak dikancingkan karena Kala sedang terburu-buru. Baik Vanilla dan Bima saling lirik. Mereka menelan saliva kasar. Kala gak cuma buat Bima iri tapi bikin Vanilla mupeng. "Gani. Kamu duduk juga di sana." Apapun panggilan Kala buat Vani sekarang, Vanilla gak mau menolak. Otaknya lagi sibuk berfikir. Sejak kapan Bima-Pak Kala 'dekat'. Sampai mana hubungan mereka. Mata Vanilla melirik ke Bima lagi. Kala pun ikut duduk di depan mereka. Dia membawa laptopnya. Karena marah, Kala jadi menyunggar rambut ke belakang. 'Duh. Padahal Pak Kala kelihatan maskulin banget. Tapi gak sangka ... .' otak Vanilla hanya berisi dugaan-dugaan semakin menjurus ke sana. "Tadi saya punya tugas penting untuk Pak Bima. Tapi dia bilang sedang sibuk menyiapkan perencanaan produksi. Jadi saya mau mengalihkan pekerjaan ini ke Kamu, Gani." Fokus Vanilla langsung kembali. Tunggu, Apa! Memangnya Kala pikir dia gak sibuk juga. "Pak. Gak bisa. Saya juga masih banyak pekerjaan dari Bapak." Jangan mentang-mentang punya hubungan dengan Bima. Kala jadi bersikap lunak kepadanya. Wah gak bisa tuh ... .
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN