"Aku memang bukan salah satu keluarga Tjandra. Tapi jika aku bisa menjatuhkan Kala. Bukan berarti aku tidak mampu dinobatkan sebagai presiden direktur pada pemilihan selanjutnya.
Aku cukup mempengaruhi Pak Kale, selaku presdir saat ini juga ayah dari Dikala. Aku bisa menunjukkan seolah-olah anak lelakinya itu tidak becus bekerja. Dengan begitu, kekuasaan bisa jatuh di tanganku."
Justin merancau sembari mengepalkan tangan, seolah kedudukan teratas dari klan Tjandra sudah ada di genggamannya.
Soal putri keluarga Tjandra. Ia pun tahu, Justin mengetahui dengan jelas siapa saja pemilik darah bangsawan itu. Namun, Alinea yang kakak Kala bukanlah permasalahan baginya.
Gadis lemah yang hanya suka melakukan kegiatan kemanusiaan pastinya juga tidak tertarik dengan harta melimpah. Hanya tinggal Kala, penghalang jalan.
Kala sebenarnya mirip dengan Alinea, dia tidak begitu silau akan harta. Kehidupan sempurna yang dimiliki sejak kecil membuat Kala tidak punya obsesi semakin memperkaya diri. Karena tahu, semakin kaya dirinya, maka semakin banyak orang yang ingin menjatuhkan. Mendekatinya hanya untuk keuntungan pribadi juga ia yang mesti membayar semuanya dengan harus terpisah dari keluarga demi pekerjaan.
Semua itu menyulitkan bagi Kala. Andai, dia dilahirkan menjadi orang biasa dan bisa punya waktu bercengkrama dengan keluarga lebih banyak. Maka, Kala akan memilih jalan itu. Memilih menjadi sederhana asal dia bahagia sepenuhnya.
Hanya Kala tahu, setiap manusia memiliki jalan hidup masing-masing. Kala cuma berusaha yang terbaik untuk hidupnya saat ini. Apabila menjadi direktur pelaksana adalah cara dia berbakti kepada kedua orangtuanya. Pastinya Kala tidak akan semudah itu menyerah.
Sedang Justin, pria 34 tahun yang sudah bekerja selama belasan tahun dan akhirnya bisa menduduki posisi head of management kini harus dibuat gigit jari setelah anak piyik seperti Kala yang tadinya sama sekali tidak masuk hitungan sekarang malah melenggang dan ditempatkan di posisi direktur.
Tempat yang menjadi harapannya. Justin mengenal Kala saat usianya masih 11 tahun. Ketika Kala masih sangat suka bermain bola. Saat itu, dia berpikir ... orang seperti Kala bukanlah permasalahan. Mungkin saat dewasa, cuma jadi atlet bola.
Justin lupa, dengan istilah darah lebih kental daripada air. Sepandai atau sehebat apapun dirinya, posisi direktur utama memang hanya disiapkan untuk orang yang punya ikatan darah. Alias keturunan murni keluarga pemilik pabrik sebesar ratusan hektar itu.
Seolah, apa yang dia kerjakan selama ini untuk menyenangkan para pemimpin hilang bertiup bersama angin menjadi debu yang tak berarti.
Tadinya, Justin mengira dialah satu-satunya kandidat penerus. Tetapi beberapa bulan ini keyakinannya harus terkhianati apalagi setiap kali melihat Kala di kantor. Dia benci anak itu.
"Seharusnya ku bunuh saja dia sejak dulu. Aku lengah, membiarkannya hidup hanya karena berpikir dia tidak berminat meneruskan perusahaan," gumam Justin.
Tindakan Kala yang mencurigai sistem penerimaan karyawan juga membuatnya muak. Justin merasa itu sama saja Kala mencurigainya.
Meski di depannya, Kala terlihat menghormati dia sebagai orang yang lebih tua, tapi sesungguhnya Kala sedang mengibarkan bendera permusuhan diantara mereka.
"Berani-beraninya dia mengusik upeti ku!"
Yah, hampir 50% mahar rekrutment karyawan baru jatuh ke tangannya.
Bukan hanya itu,dari setiap proyek, Justin selalu meraup keuntungan maksimal untuk dirinya. Justin merasa gak perlu takut, karena menilai keluarga Tjandra sudah sangat mempercayainya.
Hanya mata Kala yang tidak bisa dia tutup. Bagaimanapun Justin berusaha meyakinkan. Kala selalu menaruh curiga padanya. Seperti kemarin, Kala melakukan kunjungan tiba-tiba ke pabrik tanpa bilang kepadanya.
"Hah! Dia fikir, bisa tahu busuknya permainan puluhan tahun cuma dengan sekali lihat?"
"Aku pastikan kau gak akan pernah lagi bisa berpikir mencurigai aku. Oh, bukan. Untuk sementara aku akan menghentikan cara curang. Agar, kau tidak bisa menyelidikinya lebih lanjut. Kau gak tahu, gimana liciknya aku?"
Justin menyeringai.
***
Kala masih sangat serius bekerja. Jari jemarinya tidak berhenti mengetukkan huruf perhuruf di atas papan keyboard.
Pandangannya fokus kepada layar segiempat itu. Ia bahkan tidak beranjak sekedar mengambil cangkir kopinya. Sudah satu jam dia seperti ini, mungkin kopi itu juga sudah membeku karena terpaan air conditioner.
Sedang Vanilla juga sudah menyerah ... dia pasrah seandainya Kala berteriak sewaktu-waktu setelah meminum kopinya.
Lagipula, cheese burger darinya sudah habis. Apa Kala tetap akan mengambil makanan yang sudah masuk ke perut?
Vanilla menatap ruangan Kala sambil menyeruput milkshake-nya. Ini enak, dia sampai terlena dan lupa kerja.
"Itu beneran,ya Pak Kala belum juga minum kopinya. Sejak tadi sampai sekarang, ruangannya sangat tenang. Aku yakin dia bahkan lupa kalau ada minuman di mejanya. Dasar maniak kerja!"
Vanilla menggeleng, tidak heran. Mengapa Kala langsung mengusai pekerjaan meski dia tergolong baru menjelajahi rutinitas kantoran.
"Hufft, sudahlah kerja ... kerja ... kerja!"
Semangat Vanilla. Detik kemudian, Kala memanggilnya lantang.
"Sekretaris ... sekretaris!"
Kala hanya takut salah panggil, jadi dia memakai jabatan Vanilla untuk mengatensi.
"Apa. Jam 10 malam. Tapi aku masih jadi sekretaris. Okelah," gumam Vanilla sambil berdiri. Dia yakin, Kala ingin memarahinya karena kopi keasinan.
Dari jauh Vanilla tersenyum smirk. Gak peduli jika nantinya dianmendengar kata-kata menyebalkan yang Kala lontarkan karena kesal. Terpenting, misinya balas dendam terlaksana dengan baik.
"Masuk," titah Kala tenang. Reaksi marah sama sekali tidak terlihat di wajah tampannya. Dia malah tersenyum tipis ke arah Vanilla.
"Saya cuma mau bilang. Kamu boleh pulang."
"Hah," Vanilla terangga. Sumpah, dia belum mengerjakan laporan itu. Dari tadi dia malah sibuk nontonin insta story para selegram. Padahal, Kala bilangkan minta laporannya selesai hari ini juga.
"Gimana gimana, Pak?"
Vanilla menautkan helaian rambut di belakang telinga. Dia takut salah dengar.
Sembari melirik ke jam tangannya. Kala kembali bilang,
"Sudah jam 10 malam. Kamu pulang saja."
Lantas menyenderkan punggung di sandaran kursi.
Vanilla jadi menelan ludah. Dia bukannya sedang dipecatkan. Ucapan tadi bukan berarti dia sudah diusir dan gak boleh lagi masuk kerja esok hari.
Please jangan gitu Vanilla masih butuh pekerjaan ini. Di mana lagi bisa mendapatkan gaji yang tinggi ditambah melihat wajah tampan sang bos setiap hari.
"Tapi ... tapi laporannya belum selesai, Pak!"
Vanilla jadi jujur. Bukannya gak selesai tepatnya belum dikerjakan olehnya.
Kala menyipitkan mata, bibir seksinya sedikit cemberut dan sebenarnya itu sangat lucu. Seandainya keadaan tidak setegang ini, mungkin Vanilla akan tertawa.
"Ya sudah. Tidakpapa," ujar Kala.
Sama sekali gak bisa dipercaya. Vanilla sangat ingat, bahkan saat di luar negeri pun Kala bisa menyiksanya sedemikian rupa. Termasuk tidak bisa mentolerir tindakan menyia-nyiakan waktu.
"... atau kamu memang menyukai lembur?"
Lanjutnya lagi menatap Vanilla tanpa berkedip. Vanilla yang gagap menjawab penuh kesungguhan.
"Mana ada, saya justru mau pulang cepat sejak tadi."
Kala mendelik sebentar tapi dia juga mengerti. Sudahlah, sedikit melunak apa salahnya. Dia juga gak ingin disebut monster oleh karyawannya. Terutama Vanilla, orang yang dia rekrut sendiri.
Kala ingin membuktikan jika dia bisa menjadi atasan yang baik dan adil.
Setelahnya Vanilla pamit undur diri. Tetapi wanita itu membawa beberapa kerjaan untuk dibawa pulang dan dikerjakan di rumah. Sungguh, dia tidak percaya jika Kala bisa terus baik seperti ini. Palingan besok Kala sudah kembali berulah.
"Aku harus menyelesaikan ini. Ahk, ini juga!" Mungkin dia bakalan begadang semalam suntuk. Tapi semua gak masalah, asal dia bisa bertemu dan mengorbol dengan Kak Senja-nya.
Sedang Kala, dia mengamati tingkah Vanilla dari balik ruangannya.
Wanita itu terlihat sangat bahagia ketika mempersiapkan diri untuk pulang. Kala bahkan ikut tersenyum melihat kelakuan Vanilla.
Kala memandangi kopinya. Alasan yang membuatnya meminta Vanilla pulang saja. Sebelum memanggil Vanilla. Sebenarnya Kala sempat menyeruput kopi karena haus. Tapi waktu minum,
"Beeuh. Apa ini, kok kayak air laut. Asin," gumamnya. Sempat ingin marah tapi dia tahan. Tunggu, dia gak boleh emosional. Mungkin Vanilla sedang banyak masalah. Kala jadi memikirkan ucapan Vanilla.
"Saya mau ketemu Kakak saya!"
Kata-kata itu teriang. Jadi Kala memutuskan menghentikan lembur dan meminta Vanilla pulang saja.
"Nona Essence, sepertinya kamu butuh liburan," analisis Kala seorang diri.
***
"Aku pulang... ."
Vanilla berjalan tertatih sambil menyeret tas jingjingnya. Seharian memakai high heels membuat kakinya sangat perih. Tapi semua pasti terbayarkan setelah melihat Senja.
"Heh! Anak ini. Kamu dari mana saja?"
Namun, bukan sambutan baik yang didapat. Senja malah menunggunya di depan sambil bawa tutup panci seperti mau perang.
"Kamu sudah gak peduli sama Kakak,ya. Mau kabur kalau Kakak ke rumah kamu. Jawab, Dek?"
Dengan bantuan sodet dia memukul tutup panci. Menghasilkan suara nyaring yang memekakan telinga siapa pun. Mungkin rungu Vanilla sudah berdarah saking kerasnya.
"Kak, please, deh!"
Tidak tahu saja, untuk sampai di sini Vanilla butuh effort yang besar. Termasuk mempertaruhkan kariernya.
"Ayok bilang. Kamu pasti habis jalan sama pacar kamu kan. Siapa dia. Gimana orangnya. Apa dia sudah tahu tentang kamu?"
Senja semakin merancau, akhirnya Vanilla masuk seraya tersungkur di lantai.
"Aku gini karena bos kejam itu. Aku diminta lembur terus, Kak. Dia lebih milih melihat anak buahnya mati ketimbang menunda pekerjaan," adunya betul-betul memelas. Senja jadi mendekatinya.
"Eeh, masa? Tapi bos kamu ganteng gak?"
Eh! Dia malah tanya fisik dong.
Vanilla menerawang. Bibirnya tersenyum layaknya orang gila.
"... Hehhe, Hehehe... ganteng. Ganteng banget malah."