Namun, Kala tak mengatakan ketidak setujuannya langsung. Dia tak ingin membuat Vanilla malu di depannya. Kala kembali duduk di kursi sambil menutupi mulutnya yang ingin tertawa.
"Apa. Cepat kembali kepekerjaanmu," ucapnya karena Vanilla masih berdiri dihadapannya.
Vanilla menyipitkan mata.
"Bapak gak mau dengar jawaban saya?"
Kini malah Vanilla yang sangat ingin ditanyai Kala. Tapi Kala menggeleng.
"Saya sudah tahu jawabannya. Dari reaksi kamu dan penilaian kamu ke saya pasti kamu bakalan jawab bersedia," beber Kala santai.
Vanilla mendelik. 'Dih, kepedean!' runtuknya dalam hati.
"Sudahlah Vani. Silahkan kembali bekerja."
Kala tersenyum lembut dan itu membuat Vanilla terperangah. Dia sampai meragukan semua kata makian yang sering dia lontarkan buat cowok itu.
Yang "Pak Kala sakit jiwa!" Juga pernah,
"Apa dia artificial intelligence. Kok bisa, sih gak ada capeknya? Tapi kan akunya manusia, aku capek banget ... minggu ini lembur terus."
Bahkan sebelum masuk ke ruangan Kala. Vanilla berjanji ingin mengundurkan diri. Namun, dengan satu buah senyuman dari Kala semua sumpah serapahnya seakan tak ada artinya lagi.
Hanya tahu, mengikuti perintah atasannya itu.
"Yah, baik, Pak."
Vanilla sampai mendesah. Mupeng tingkat langit ke tujuh waktu disenyumin Kala.
"Berarti hari ini, bahan untuk rapat minggu depan bisa selesai kan?"
Kala berkata dari balik laptop. Dia jadi gak melihat reaksi Vanilla yang mau membom bangkunya saat itu juga.
"Pak, yang benar aja. Kemarin Bapak bilang, bisa diselesaikan hari rabu. Ini masih senin, Pak!"
Takutnya Kala lupa hari. Apa jangan-jangan weekend dia juga gak istirahat dan malah bekerja.
Kala terlihat berpikir, dia menyentuh pelipisnya dengan telunjuk.
"Kalau bisa lebih cepat. Kenapa gak?" putusnya.
Ayoklah ... baginya Vanilla hanya kurang motivasi hidup. Dia saja bisa, kok bekerja seharian penuh tanpa merasa lelah.
Yah ... ciri-ciri kutu buku yang berevolusi menjadi workaholic gitu deh.
Vanilla menggeleng cepat. Tidak, hari ini dia ada janjian makan malam sama kakaknya, Senja. Kalau situ mau lembur, lembur saja sendiri. Tapi jangan ajak orang!
"Gini deh, Pak. Saya selesaikan di hari selasa. Tapi hari ini ijinkan saya pulang on time!"
Vanilla menangkup kedua tangannya dan juga setengah membungkukkan badan.
Kala tertawa sampai memperlihatkan jejeran giginya. Dari sini, dia memang terlihat sangat ramah. Padahal, ada iblis pencinta kerja yang bersarang dalam jiwanya.
Kala kembali menghadap Vanilla. Dia mengapit tangkupan tangan Vanilla.
"Jangan gitu," perintahnya tulus.
Vanilla tersenyum. Yes, seenggaknya bosnya masih punya perasaan kan.
"Berarti saya boleh pulang cepet, Pak?!"
Vanilla amat bahagia. Janji habis ini, dia gak akan bikin keributan lagi. Vani akan jadi anak baik. Eh! Karyawan yang baik.
Bibir Kala cemberut. Dia juga memegangi jidat Vanilla. Membuat Vanilla melirik ke arah tangan besar penuh kelembutan itu.
"Kamu gak panas. Terus kenapa minta pulang cepat?" Kala merasa heran.
Astaga, Kala mendekat cuma untuk memeriksa suhu tubuh Vanilla. Lagi, kalau pun panas betulan apa, iyah. Diperbolehkan pulang sama Mister tega itu. Paling cuma disuruh minum obat. Vanilla baru bisa bebas kalau dirinya sudah dikafani. Inget tuh.
"Pak, tapi kan ... ."
Kala sudah berbalik dan memasukkan tangannya ke kantong celana.
"Dalam kontrak kerja yang kamu tanda tangani tertulis jika kamu bersedia lembur saat dibutuhkan."
Kala selalu bisa mengingat isi kontrak dengan baik tanpa membukanya, otaknya bagaikan seorang fotografer. Sekali melihat, dia langsung bisa hafal dan menganalisis dengan cermat.
Kala membuktikan kemampuannya. Meski beberapa tahun terakhir cuma bisa memonitor dari jauh. Tapi dia termasuk pengusaha muda yang sukses.
Kala bisa meningkatkan pemasaran ke pangsa benua Eropa. Bukan hanya itu, pertama kalinya orang yang menjabat direktur operasional bisa menuntut jajaran direksi tanpa merasa takut.
Justin--kepala manajemen, adalah orang yang bekerja menggantikan posisi Kala selama dia tidak di sini.
Ada juga beberapa manajer lain yang pastinya sudah bekerja sangat lama. Lebih lama dari usianya yang baru 22 tahun itu. Tetapi semua gak membuat mental Kala ciut.
Ketika salah, maka dia katakan salah tanpa menutupi. Dia seperti batu permata keluarga Tjandra. Bukan, tepatnya dia robot yang dikendalikan. Hanya tahu soal keuntungan tanpa mempertimbangkan yang lain.
Akhirnya Vanilla mencoba mencari alasan.
"Saya tahu, saya sudah menandatangi kontrak itu. Tapi yang gak saya tahu kalau ternyata saya harus lembur setiap hari. Saya juga punya kehidupan lain, Pak!"
Vanilla semakin meradang. Meski Kala tidak memberikan reaksi.
"Lantas, apa bedanya. Bukankah tiap hari kamu lembur. Memangnya kalau pulang cepat satu hari. Hidup kamu bisa jadi berbeda?"
Vanilla menarik nafas dalam-dalam tapi dia tahan sebelum jatuhnya ke belakang alias kentut.
"Banyak sekali perbedaannya, Pak. Hari ini tuh saya mau bertemu kakak saya. Kalau saya gak ketemu dia, yang ada dia marah sama saya. Kalau dia marah. Nanti ngadu ke nyokap saya. Kalau udah ngadu, saya dikutuk jadi batu. Mau, Pak!"
Vanilla sampai membeberkan perjalanan hidupnya yang cuma ada dalam otaknya itu.
Kala mencibik. Batu apa dulu, kalau batu giok yah. Boleh ... boleh saja.
Kala menaiki tangannya. Kebetulan dia juga punya kakak yang sangat dia sayangi. Kala jadi teringat Alin, karena itu hatinya melunak.
"Ya sudah, hari ini kamu bisa pulang cepat."
Berterima kasihlah pada Alinea yang sering menyirami batin Kala dengan kasih sayang.
Tidak ingin membuang kesempatan. Vanilla berlari ke ruangan dan langsung membereskan meja kerja. Urusan dokumen menumpuk, dia pura-pura gak lihat.
"Iiih, iih!"
Vanilla bergidik menatap beberapa berkas yang mesti dia selesaikan minggu ini tapi sialnya belum terpegang sama sekali.
"Kalian baik-baik di sini,ya. Aku mau ketemu Kak Senja dulu!"
Vanilla bicara dengan tumpukkan kerjaannya. Sukur-sukur, sih ... mereka bisa kerja sendiri. Tapi itu gak mungkin.
Vanilla meletakkan tasnya di bahu kiri. Sedang tangan kanannya memegang gelas kopi yang terbuat dari plastik. Ketika melewati ruangan Kala, dia sedikit tertegun sembari mengagumi pahatan wajah sang bos.
"Bahkan lagi serius kerja pun Pak Kala ganteng," Pujinya sendiri. Sedetik kemudian, dia melihat Kala memperhatikan bingkai foto dan tersenyum. Entah, tapi itu bikin Vanilla penasaran.
'Foto siapa, sih ... dia lagi lihatin Apa. Foto pacarnya?' batin Vanilla bermonolog.
Dia jadi menatap kopi gelas itu. Kayaknya Vanilla punya ide melihat foto siapa yang bisa membuat Kala menatap teduh.
Vanilla kembali ke pantry. Dia membuatkan Kala kopi hitam langsung dari mesin pembuat kopi. Untuk gulanya, dia hanya memberi sedikit. Karena Kala suka dengan rasa alami, itu lebih nikmat baginya.
Setelah kopi selesai. Vanilla mengetuk ruangan Kala.
"Masuk!" suruh Kala tanpa memperhatikan siapa yang masuk karena dia sedang sibuk.
"Maaf, Pak. Tapi sebelum pulang saya mau memberikan kopi ini buat Bapak. Buat teman lembur."
Vanilla berjingke dengan heels-nya. Dia mau lihat objek di dalam bingkai foto itu. Tingkahnya mengundang rasa penasaran Kala
"Kamu mau lihat?"
Kala malah menawarkan dengan senang hati. Bagi Kala, Alinea itu sangat cantik jadi patut dibanggakan. Kala sudah mengambil figura itu, dia mirip anak kecil yang sedang menyombongkan mainan barunya.
"Eegh ... gak usah, Pak."
Ahk, kenapa sudah sampai sini Vanilla malah gak siap buat melihat. Mungkin dirinya jiper. Gimana kalau itu foto pacar Pak Bosnya. Terus lebih cantik lagi, patah hati dong.
"Hm!" Kala bergumam kecewa lalu memasukkan foto Alinea ke dalam laci. Sudahlah ... ngapain juga kasih lihat. Gak penting juga, pikirnya.
"Ya udah deh, Pak. Saya betulan balik,ya."
Baru selangkah, Kala menahan Vanilla. Sepertinya tadi dia salah persepsi.
Kala ingat, Alinea saja tidak pernah marah padanya kalau dia ingkar janji. Semua karena hubungan kakak-adik terlalu erat.
Kalau begitu, seharusnya kakak Vanilla juga paham dong! Adiknya lembur demi kemajuan perusahaan. Perusahaan maju. Dia juga kan yang bangga.
"Setelah saya pikir ulang ... sepertinya kamu tetap lembur malam ini. Soal kakak kamu. Kamu kan bisa menelpon dia dan bilang pulang terlambat. Saya yakin, dia akan memahami adiknya," beber Kala.
Menyesal sudah membawakan kopi. Kalau akhirnya jadi gini.