"Di mana Vanessa?"
Rafael mendongak, lalu ia meletakkan tabletnya dan melihat Jayden baru saja kembali dari ruang rahasianya membawa sebuah dokumen.
"Di toilet," jawab Rafael.
Saat itu juga Jayden duduk di tempatnya semula dan memberikan dokumen itu kepada Rafael. Rafael mengerutkan keningnya, tapi ia segera membuka dokumen itu.
"Ini dokumen yang diduga berkaitan dengan Yakuza dan mafia besar lainnya."
Rafael mengerti. Ia pun membuka dokumen itu perlahan dan membacanya dengan hati-hati. "Ini masih dugaan," ujar Rafael, lalu mendongak ke arah Jayden. "Tidak ada bukti yang spesifik untuk ini."
Jayden mengangguk paham. "Aku sudah meminta seseorang untuk mencari lebih jauh. Saat ini ada orang yang mungkin bisa kita tanyakan tentang ini. Dia ada di Indonesia, dan dari yang kudengar dia tahu seluk-beluk Yakuza."
Rafael mengerutkan keningnya tak percaya. "Itu akan sulit. Jika dia membuka mulut, bahaya akan mengincarnya."
"Maka dari itu aku memintamu untuk membawa Vanessa ke Indonesia, sekalian mengajaknya pulang. Cari keberadaannya di sana."
"Kirimkan datanya ke emailku, aku juga akan mempersiapkan keberangkatan kami.."
Setelah itu mereka berdua kembali membahas beberapa mafia besar yang pernah terlibat dengan perusahaan, hingga akhirnya itu malah merugikan perusahaan.
Lalu beberapa menit kemudian, Vanessa tidak juga kembali. Itu menimbulkan kekhawatiran pada Rafael. Dengan cepat ia meminta izin pada Jayden untuk mencari Vanessa ke toilet yang ada di lantai ini. Ketika dirinya keluar, ia disambut baik oleh sekretaris Jayden dan tanpa menunggu lebih lama lagi, ia langsung berlari ke toilet.
Tanpa takut dan malu, Rafael membuka toilet perempuan yang mungkin digunakan Vanessa. Namun, kosong. Tidak ada tanda keberadaan Vanessa. Itu membuat Rafael semakin cemas. Kemudian ia menghubungi ponsel Vanessa, tapi tidak dijawab.
Rafael akhirnya berlari melalui tangga darurat yang mungkin bisa digunakan jika benar mereka mengikutinya sampai di sini. Tidak lupa, Rafael mengeluarkan pistolnya dari jas dan memeriksa tangga darurat dengan waspada.
Sampai akhirnya ia menemukan Vanessa sedang duduk di tangga darurat dengan tangan yang sedang memainkan game PUBG di ponselnya. Melihat itu membuat Rafael bernapas lega. Ia akhirnya memasukkan kembali pistolnya dan berjalan ke depan Vanessa.
"Apa kau tahu bahwa aku sangat cemas?" tanya Rafael.
"Tentu saja tidak, stupid."
Rafael menahan dirinya. Ini memang sikap Vanessa, jadi akan ia maklumi. Lagipula akan aneh jika Vanessa tidak membuat masalah satu hari pun.
"Jika kau ingin pergi, setidaknya beritahu aku."
"Itu melelahkan, Raf. Berikan aku waktu bebas."
"Aku sudah memberikanmu."
"Oh shit." Mendadak Vanessa mendongak dan memasang wajah kesalnya karena dibunuh oleh musuh.
"Kita pulang," perintah Rafael sambil mengambil paksa ponsel Vanessa dan membuat gadis itu berdiri untuk menggapai ponselnya.
"Rafael!"
Rafael mendongak. "Ikuti aku dan kau akan mendapatkan ponselmu ini." Lalu ia berjalan menuju pintu darurat, tapi Vanessa malah tidak mengikutinya dan memilih untuk berdiri saja di anak tangga.
Itu membuat Rafael geram. Ia langsung berjalan ke arah Vanessa dan membopongnya untuk keluar dari gedung ini. Vanessa terus memberontak dan memaki Rafael, tapi pria itu tidak peduli dan terus membopongnya sampai masuk ke dalam mobil.
Saat di dalam mobil pun Vanessa tidak berhenti memaki, tapi Rafael malah bersikap tenang seolah makian Vanessa bukanlah apa-apa untuknya. Sampai akhirnya mereka tiba di rumah dan Vanessa enggan untuk turun dari mobil.
Rafael mau tak mau memaksa lagi dengan cara membopong Vanessa menuju kamarnya. Lalu setelah itu menurunkan Vanessa dengan aman.
"Dasar manusia gila tidak tahu diri."
"Aku tersanjung," balas Rafael dengan memberikan senyum iblisnya. "Nanti malam akan ada makan malam bersama anggota keluarga kerajaan, jadi tidur sepuasmu jika ingin menikmati pesta."
"Kembalikan ponselku," pinta Vanessa ketika Rafael akan keluar dari kamarnya.
Rafael hampir melupakannya. Ia merogoh jasnya dan langsung memberikan ponsel Vanessa yang diambil dengan kasar oleh gadis itu.
"Siapkan pakaian yang akan kugunakan nanti malam. Siapkan yang terbaik, aku tidak ingin terlihat biasa-biasa saja saat bersama mereka."
"Kau sudah luar biasa, Ane...."
Perkataan Rafael itu membuat Vanessa memutar matanya jengah. "Jangan memujiku, aku tidak membutuhkannya."
"Itu faktanya," balas Rafael. "Mereka menjadi luar biasa karena mereka adalah anggota kerajaan yang diberi gelar. Jika mereka anak-anak biasa, kau lebih tinggi daripada mereka. Information, mereka hanya menggunakan latar belakang mereka."
"Jangan menghina mereka, Raf. Kau harus menghormati mereka dan jangan mengatakan apa pun atau hal yang aneh tentang mereka."
"Aku tidak peduli itu, Ane. Mereka tidak membayarku, tuanku hanya yang membayar, bukan yang lain. Aku tidak peduli dengan ucapan semua orang tentang ketidaksopananku or something like that, understand?" Setelah mengatakan itu, Rafael beranjak untuk keluar dari kamar Vanessa dan mengembuskan napas ketika ia berhasil keluar dari tempat yang seharusnya tidak ia datangi.
Shit! Vanessa selalu berhasil membuatnya ingin melakukan hal yang kotor dan gila.
Rafael berjalan ke sayap kamarnya dengan langkah pelan seraya mengeluarkan ponsel untuk menghubungi seseorang.
"Tolong carikan tiket ke Indonesia untuk akhir pekan ini. Iya, bisnis untuk dua orang, aku dan Vanessa. Siapkan juga beberapa pengawal untuk mengawali kami."
Setelah memberikan perintahnya, Rafael segera memasukkan kembali ponselnya dan masuk ke dalam kamar untuk merebahkan tubuhnya di ranjang besarnya. Napasnya berembus, seiring dengan kilatan matanya yang melihat cahaya kamar.
"Apa yang Vanessa miliki sampai Yakuza mengincarnya seperti ini?"
Pertanyaan itu tidak pernah lepas dari pikiran Rafael. Berulang kali ia memikirkannya, tapi itu terlalu sulit ketika ia baru mengetahui lebih jauh tentang Vanessa selama satu tahun ini. Ia membutuhkan banyak informasi yang akan membawanya ke dalam petunjuk Yakuza.
Rafael menghela napasnya, lalu ia menutup matanya dengan pergelangan tangan seraya berpikir.
Beberapa saat kemudian, Rafael tersentak. Ia dengan cepat berdiri dan berlari keluar dari kamarnya menuju kamar Vanessa.
"Apa yang kau lakukan?!" teriak Vanessa ketika Rafael masuk ke dalam kamarnya tanpa izin dan melihat Vanessa dalam balutan pakaian tank top dan celana pendeknya.
Rafael langsung berjalan ke arah Vanessa dan menyentuh pundak gadis itu dengan erat. "Apa yang terjadi saat kau dan keluargamu berlibur ke Jepang dulu?"
"Kenapa kau penasaran sekali?"
"Sudah berapa kali kau ke Jepang?"
"Astaga, Rafa, kenapa kau---"
"Jawab aku, Ane!" teriak Rafael yang membuat Vanessa langsung bungkam. "Beritahu aku semuanya, sedetailnya. Apa pun yang berkaitan dengan Jepang. Ini tentang hidupmu atau bahkan tentang keluargamu."
"Ap-apa maksudmu? Kenapa dengan hidupku dan keluargaku?"
Rafael melihat ada kecemasan di mata Vanessa. Ia langsung menyadarinya dan begitu bodoh karena melakukan hal ini. Dengan cepat Rafael melepaskan tangannya dari pundak Vanessa.
"Apa maksudmu?"
Rafael menghela napasnya. "Maaf aku berlebihan, aku hanya ingin tahu apa yang kau dan keluargamu alami atau sebagainya selama di Jepang."
"Apa itu sangat penting?" tanya Vanessa penasaran.
Rafael mengangguk. Sedikit informasi saja tentang apa yang mereka lakukan mungkin menjadi petunjuk yang tepat untuknya menemukan apa yang diinginkan Yakuza kepada Vanessa.
"Baiklah..."
Rafael menantinya.
"Seingatku aku ke Jepang sudah dua kali. Pertama kalinya saat aku kecil dan kedua kalinya saat kemarin. Aku tidak bisa mengingat apa yang terjadi saat aku kecil, tapi saat kemarin aku ke Jepang, aku merasa terus diawasi di manapun aku berada. Hanya itu."
Rafael mengerutkan keningnya. "Saat kau kecil? Usia berapa?"
Vanessa terlihat sedang mengingatnya. "Kalau tidak salah saat aku berusia 10 tahun. Itu yang Dad dan Mom bilang."
"Kau benar tidak mengingat apa pun saat itu?"
Vanessa mengangguk. "Aku tidak mengingat apa yang terjadi. Kak Jayden, Mom dan Dad bahkan tidak memberitahuku sesuatu. Aku bahkan tidak tahu kenangan apa yang kumiliki saat di Jepang dulu."
Rafael bingung.
"Ada apa?" tanya Vanessa ketika menyadari kebingungan di raut wajah Rafael. "Ada yang aneh?"
Rafael mengangguk. "Apa kau tidak pernah bertanya kepada keluargamu tentang liburan pertama kalian ke Jepang?"
Vanessa menggelengkan kepalanya. "Mom pernah bilang kalau liburan pertama kalinya ke Jepang saat itu adalah liburan yang tidak ingin Mom ingat."
"Kenapa?"
Vanessa mengedikkan bahunya. "Mana aku tahu jika setiap ingin bertanya, Mom selalu mengubah topik."
Ini aneh, batin Rafael. Pasti ada sesuatu yang terjadi dan selama ini hanya Rafael beserta Vanessa yang tidak tahu. Pasti ada sesuatu yang keluarga Vanessa coba sembunyikan.
Bisakah kau menghabisi seseorang?
Rafael terdiam. Ia ingat perkataan Justin pertama kalinya saat mereka bertemu di Yunani. Justin memintanya untuk menghabisi Yakuza, tapi setelah Rafael menolaknya, Justin mengubah haluannya.
Oh s**t! Justin O'brian pasti tahu apa yang terjadi!