Setelah Rafael diberitakan siuman, Vanessa bergegas untuk pergi ke rumah sakit. Namun, tepat ketika ia menuruni anak tangga, seluruh pengawal yang memenuhi rumah langsung menghadangnya. Memberikan perintah bahwa Vanessa tidak bisa pergi. Menyadari bahwa ada kekangan tanpa batas, Vanessa menghubungi Jayden, memintanya untuk tidak keterlaluan.
Akan tetapi, kakaknya itu menolak permintaannya. Membuat Vanessa mengurung dirinya di kamar dan tidak melakukan apa pun. Setiap hari Vanessa hanya bisa diam di rumah, menanti kepulangan Rafael. Hingga akhirnya di hari keempat, Rafael dinyatakan pulang.
Vanessa langsung menemui Rafael di kamarnya, melihat bagaimana kondisinya. Pria itu tampak sehat dan segar. Seolah dirinya tidak pernah berjuang untuk hidup karena tembakan itu.
Vanessa tentu saja merasa lega. Ia menatap Rafael dengan dalam dan napasnya tidak berhenti berhembus untuk memberi tanda bahwa ia benar-benar lega Rafael sembuh secepat ini.
"Ane, temani Rafael. Aku akan ke kantor."
Vanessa langsung menganggukkan kepalanya kepada Jayden dan membiarkan kakaknya itu pergi meninggalkan dirinya bersama Rafael yang sedang meminum obatnya.
Dengan cepat Vanessa mengambil air yang ada di nakas dan memberikannya kepada Rafael. Ia datang disaat yang tepat.
"Aku pikir akan ada pemakaman di sini." Vanessa masih sempatnya bercanda yang membuat Rafael tersenyum manis seraya memukul kening Vanessa pelan.
"Bagaimana kabarmu?"
Vanessa mengembuskan napasnya. "Apa kau masih ingin tahu kondisiku setelah kau hampir saja kehilangan nyawa?"
"Itu sudah tugasku, Ane ...."
"Lain kali jangan seperti itu lagi," seru Vanessa. "Aku tidak ingin berutang nyawa kepadamu."
Disaat Vanessa mengatakannya dengan serius, respon yang Rafael berikan malah membuat Vanessa kesal. "Nyawamu lebih penting."
Vanessa bosan mendengarnya. Ia benci ketika nyawa seseorang lebih diabaikan ketimbang dirinya. Ia hanyalah manusia biasa, tidak sampai diberikan perlindungan seperti itu. Lagipula jika sudah ajalnya ya harus menerimanya dengan baik.
"Aku akan mati jika sudah saatnya, Rafa," ucap Vanessa.
"Nyawamu ada di tanganku, Ane," balas Rafael dengan senyumannya yang super manis.
Akan tetapi, Vanessa tidak menganggapnya sebagai lelucon dan mulai mengambil sesuatu dari saku celana pendeknya. Sebuah gelang. Itu didapatkannya dari neneknya. Kata neneknya, gelang itu akan melindunginya dari segala macam bahaya.
Vanessa berpikir untuk memberikannya kepada Rafael, karena jika pria ini terlindungi, maka otomatis ia juga akan terlindungi.
"Gunakan ini," ujar Vanessa seraya memasang gelang itu ke tangan Rafael. "Ini akan melindungimu dan dengan begitu aku juga akan terlindungi."
"Ane.... "
"Anggap saja ini jimat. Jika kau selamat, aku juga pasti akan selamat. Sekarang istirahatlah, aku tidak ingin mengganggumu dan membuat kesehatanmu semakin memburuk. Kau harus cepat sembuh karena kita akan ke Indonesia."
Saat Vanessa akan bangkit dari sisi ranjang Rafael, tangan lelaki itu malah menahannya dan dalam hitungan detik, bibir Rafael sudah berada di atas bibir Vanessa. Memberikannya kecupan setelah pertemuan pertama mereka.
Vanessa terkejut dengan mata terbuka, sedangkan Rafael menikmatinya dengan mata tertutup. Akan tetapi, keterkejutan itu tidak membuat Vanessa mendorong tubuh Rafael dan membiarkan lelaki itu menikmatinya sampai Rafael melepaskan bibirnya dan tersenyum kepada Vanessa.
Tangannya yang tadi menahan Vanessa, ia gunakan untuk mengusap puncak kepala Vanessa dan berkata, "Aku merindukanmu, Ane."
Saat itu juga Vanessa merasakan keanehan di dadanya yang mulai berdetak tak karuan. Tanpa membalas perkataan Rafael, ia langsung saja pergi dari kamar Rafael dan berlari ke kamarnya yang ada di sayap kanan.
Vanessa membuka pintunya dengan cepat dan menutupnya dengan keras. Lalu ia berdiri seraya memunggungi pintu dan menyentuh dadanya yang juga tidak berhenti berdetak.
"Aku kenapa, sih?" tanyanya pada diri sendiri. Vanessa juga berpikir kenapa ia bisa membiarkan Rafael menciumnya dan tidak mendorongnya? Vanessa benar-benar tidak mengerti. Ada yang aneh pada dirinya.
Itu terus memenuhi pikiran Vanessa, sampai saat mereka bertiga makan malam bersama. Rafael memaksa untuk ikut makan malam ketika ia baru saja pulang dan Jayden serta Vanessa tidak bisa membuatnya tetap di kamar. Ada saja alasan yang pria itu utarakan hingga membuat Vanessa dan Rafael kewalahan.
"Ada hal yang ingin kubicarakan dengan kalian."
Perkataan Jayden membuat Vanessa dan Rafael menghentikan aktivitas makannya dan menatap Jayden yang sangat serius.
"Ada masalah dengan perusahaan di sini dan aku harus terpaksa turun tangan untuk menyelesaikannya di Madrid. Sebenarnya aku tidak ingin meninggalkan kalian setelah apa yang terjadi, tapi ini harus kulakukan. Untuk keamanan, aku sudah memperketatkannya, jadi itu akan baik-baik saja selama kesembuhan Rafael."
"Kau bisa pergi, Vanessa akan baik-baik saja," seru Rafael yakin.
Vanessa pun menoleh ke arah Rafael dan ia tersenyum karena kalimat sederhana yang Rafael ucapkan.
"Kau juga butuh keamanan," ujar Jayden. "Jadi aku meminta bantuan Putri Leonor. Beberapa pengawal pribadinya akan berada di sini untuk menjaga kalian."
"Terserah kau saja," ujar Rafael sambil menolehkan kepalanya ke arah Vanessa yang membuat gadis itu salah tingkah dan langsung menundukkan kepalanya. Ini benar-benar memalukan ketika ia ketahuan memperhatikan seseorang.
Sedangkan Rafael, lelaki itu tampak senang diperhatikan oleh Vanessa. Itu terlihat dari senyumnya.
"Baiklah, aku harus ke kamar untuk mempersiapkan semuanya. Kalian lanjutkan makan malam kalian."
Jayden akhirnya bangkit dan meninggalkan mereka berdua di meja makan ini. Baik Vanessa dan Rafael, keduanya tidak juga bersuara. Hanya ada suara garpu yang bertabrakan dengan piring di ruangan ini.
Sampai akhirnya Vanessa menyelesaikan makan malamnya dan beralih mencicipi buah-buahan. Di samping itu Vanessa mulai lagi memandangi Rafael yang sekarang sibuk dengan tabletnya. Sebenarnya Vanessa bingung pekerjaan Rafael. Pria itu adalah pengawalnya, tapi ia selalu terlihat sibuk seperti ayah dan kakaknya. Vanessa jadi penasaran.
"Sebenarnya apa pekerjaanmu selain mengawaliku?"
Vanessa tidak tahu bahwa pertanyaan itu membuat aktivitas Rafael terhenti dan beralih menatapnya dengan wajah yang tak biasa. Seolah pertanyaannya memiliki jawaban yang sulit.
"Melindungimu," jawab Rafael bohong.
Karena menyadari bahwa Rafael berbohong, Vanessa jadi yakin bahwa ada sesuatu yang Rafael sembunyikan darinya "Apakah pekerjaanmu adalah sesuatu yang tidak seharusnya kuketahui?"
"Kau bisa mengatakannya seperti itu."
Lalu, Vanessa kembali mengingat perkataan Leon. Dari apa yang dikatakan Leon, Rafael orang yang berbahaya. Apakah itu berhubungan dengan pekerjaannya?
"Mengenai saat itu ... apa aku benar keturunan Snaker? Aku berusaha mencarinya di internet, tapi tidak ada yang bisa kudapatkan selain fakta bahwa itu adalah perusahaan dengan kekayaan melimpah."
Seolah pembicaraan ini adalah rahasia yang tidak bisa dibicarakan sembrangan, Rafael bangkit dari tempatnya dan menarik Vanessa keluar rumah menuju gudang yang sebelumnya mereka datangi.
"Ane, dengarkan aku, jangan pernah menyebut nama itu di dalam rumah dan tempat lainnya. Kau mengerti?"
Vanessa mengembuskan napasnya dan ia sadar jika ini sudah saatnya dirinya mengetahui sesuatu. "Apa aku benar keturunan Snaker?" tanyanya lagi.
Cukup lama Rafael menjawab pertanyaannya. Bahkan pria itu harus berjalan ke meja dan menuliskan sesuatu di kertas.
Di kertas itu tergambar daftar anggota keluarga Snaker yang di sana terdapat nama neneknya, ibunya dan bahkan dirinya.
"Izinkan aku melakukan sesuatu," ujar Rafael.
Vanessa menatapnya dan mengerutkan. "Apa yang akan kau lakukan?"
"Memastikan sesuatu," ujar Rafael. "Setelahnya akan kujawab pertanyaanmu."
Karena merasa penasaran dan tidak ingin menjadi satu-satunya orang yang bodoh di sini, Vanessa mengizinkannya.
"Berbaliklah," perintah Rafael.
Yang langsung diikuti oleh Vanessa. Ia membalikkan tubuhnya dan membiarkan tubuh bagian belakangnya diperhatikan oleh Rafael. Jujur, Vanessa gugup karena ini.
Saat itu juga Rafael mulai menyampirkan rambutnya yang terurai ke pundaknya dan mencoba untuk melihat tato yang berada di tengkuk Vanessa. Cukup lama Rafael memperhatikan tato itu, sampai akhirnya Vanessa diperbolehkan untuk membalikkan tubuhnya.
"Apa yang kau cari?"
"Kode Bank Swiss," ujar Rafael langsung.
Vanessa tentu saja menjadi bingung. "Untuk apa?"
"Kau seharusnya tahu untuk apa kode itu, tapi kode itu tidak sepenuhnya terlihat. Jadi aku tidak tahu kodenya apa."
"Jadi, bagaimana orang-orang itu bisa tahu tentang kodenya jika tidak terlihat?"
"Ada alat khusus, Ane. Yang memilikinya hanyalah pewaris Snaker seorang."
"Lalu Yakuza.... "
Vanessa menghentikan perkataannya ketika ia dengan terpaksa menyebut nama yakuza dan membuat Rafael mengerutkan keningnya.
"Kau tahu sesuatu tentang Yakuza?"
Vanessa akhirnya mengembuskan napasnya dan berkata, "Aku tahu mereka juga mengincarku, tapi Rafa, jika tujuan mereka mengincarku karena kode ini, bukankah itu artinya mereka bisa membacanya?"
Tepat. Rafael yang baru menyadari itu langsung saja diam dan membuat dirinya berpikiran lebih matang. Jika kode ini menjadi tujuan Yakuza, maka itu bisa dipastikan bahwa mereka bisa membaca kodenya. Karena akan percuma jika mereka membawa Vanessa, tapi tidak tahu cara membaca kodenya.
"Jika mereka tidak bisa membacanya, apakah ada hal lain yang mereka incar selain kode ini?"
Pertanyaan Vanessa mampu membuat pikiran Rafael kembali bekerja. Ia pun memejamkan matanya dan mulai menyusun partikel yang ada dengan hasil mendapatkan jawaban atas semua ini.
Snaker mengincar Vanessa dengan motif pewaris yang sah. Pengincaran ini, Rafael bisa menebak sudah terjadi sangat lama berdasarkan penjelasan Leon, tapi mereka lebih menampakkan diri saat ini.
Sedangkan untuk Yakuza, mereka pasti mengincar Vanessa sejak keluarga Vanessa berlibur ke Jepang. Berdasarkan cerita Vanessa, ada hal yang disembunyikan orangtuanya hingga menganggap bahwa liburan pertama ke Jepang saat usia Vanessa 10 tahun adalah liburan terburuk. Ini masih belum bisa memastikan bahwa Yakuza sudah mengejar Vanessa sejak itu. Ada dua kemungkinan, Yakuza mengejarnya saat liburan pertama atau saat liburan kedua.
Jika terjadi saat liburan pertama, maka motifnya bisa saja mirip dengan motif Snaker. Akan tetapi, itu berbeda jika pengincaran dilakukan saat liburan kedua. Motifnya bisa sama dan berbeda, tapi itu tidak ada hubungannya dengan liburan pertama.
Sialan! Rafael benar-benar bingung.
"Ane, apa kau mengingat liburan keduamu di Jepang?" Rafael langsung saja menanyakan hal itu dan melihat wajah Vanessa yang sedikit berpikir keras.
"Seingatku hanya liburan, tidak ada hal yang aneh selain ada beberapa hal yang mengawasiku."
"Apa kau pernah membiarkan orang melihat tatomu itu?"
Vanessa berpikir lagi dan ia menggelengkan kepalanya. "Rambutku selama di Jepang selalu terurai. Orangtuaku memintaku melakukannya dan aku juga selalu menggunakan syal. Lagipula saat itu sedang musim dingin."
Orangtua Vanessa memintanya terus menguraikan rambut. Rafael mulai yakin bahwa mereka tahu tentang Snaker. Ini sudah bisa dikatakan fakta.
"Apa kau sudah mendapatkan jawabannya?"
Rafael menggelengkan kepalanya. "Aku harus mencaritahu lebih dalam tentang Yakuza."
"Aku pikir motif mereka bukan kode ini," ujar Vanessa, sedikit ragu.
"Bagaimana bisa kau berpikir seperti itu?"
Vanessa menghela napasnya. "Jika itu benar motif mereka, seharusnya mereka sudah menculikku selama di Jepang. Apalagi Jepang adalah wilayah mereka, akan sulit untuk keamananku. Ditambah Daddy belum memperkerjakanmu."
Kepingan lainnya muncul. Rafael segera menyadari sesuatu. Jika motif Yakuza adalah kode ini, mereka bisa saja langsung menculik Vanessa seperti Snaker. Dan dari cerita Justin, Yakuza mencoba untuk bekerjasama dengan perusahaan Justin. Itu menandakan bahwa Yakuza bermain terang-terangan dengan Justin. Berbeda halnya dengan Snaker yang bermain secara diam-diam.
Yakuza memiliki motifnya sendiri.
"Yakuza...," ujar Rafael pelan. "Sebenarnya apa motif kalian?"
Vanessa yang ikut merasa pusing hanya bisa mengembuskan napasnya dan berjalan untuk duduk di mejanya dan mencoba untuk membuka pisang yang tidak sengaja terbawa saat Rafael menariknya.
"Aku pikir itu juga bukan tentang kematianku."
"Apa maksudmu?" Rafael menoleh ke arahnya dengan tatapan meminta penjelasan.
"Jika tujuannya adalah membunuhku, mereka bisa saja menghancurkan rumah ini atau lokasiku yang lainnya. Mereka juga tidak akan peduli denganmu dan yang lain karena tujuan mereka adalah membunuhku. Jadi, bisa dipastikan itu bukan tujuan mereka. Dan jika seandainya tujuan mereka adalah uang orangtuaku, mereka pasti bisa mengancam Daddy untuk memberikan mereka uang agar aku tidak terganggu. Itu masuk akal."
Vanessa benar. Kekayaan Justin tidak terhitung. Bahkan ia rela menyerahkan posisi perusahaannya kepada Rafael asal Vanessa selamat. Itu membuktikan bahwa Yakuza tidak menginginkan kematian Vanessa dan juga uang Justin. Yang diinginkan mereka adalah Vanessa, tapi Justin tidak tahu alasannya. Setidaknya Justin tidak berbohong tentang itu.
"Pisang ini sangat enak...."
Pikiran Rafael seketika buyar karena Vanessa yang masih bisa menikmati pisangnya ketika tahu bahwa dirinya sudah menjadi incaran sindikat mafia terkenal di dunia dan juga Snaker. Rafael benar-benar mengangumi keberaniannya.
"Kau tidak takut sama sekali?" Akhirnya Rafael memberanikan diri untuk menanyakan itu.
"Untuk apa? Bukankah kau akan selalu melindungiku?"
Jawaban yang Vanessa berikan itu membuat Rafael tersenyum. Artinya Vanessa benar-benar mempercayakan keselamatannya kepada Rafael dan itu membuatnya mengulum senyum supaya tidak diketahui Vanessa.
"Apa kau tidak takut jika seandainya aku tidak bisa menjagamu?"
Vanessa dengan cepat menggelengkan kepalanya. "Yang kutakutkan jika seandainya kau terluka karena melindungiku. Kau tidak tahu bagaimana frustrasinya aku saat kau berbaring lemah dengan penuh darah---"
Ucapannya terhenti ketika Vanessa menyadari bahwa ia sudah mengatakan hal yang seharusnya ia rahasiakan dari Rafael. Ia pun langsung menoleh ke arah pria itu yang sedang memberikan tatapan tak percayanya.
"Maksudku---"
Ketika Vanessa ingin menjelaskan ucapannya, Rafael sudah berjalan cepat ke arahnya dan mencium bibir Vanessa. Membuat gadis itu terkejut untuk keberapa kalinya. Bukan hanya itu, jantung Vanessa bahkan berhasil dibuat berdetak lagi karena ciuman dan tubuh Rafael yang berada dekat dengan tubuhnya.
Setelah cukup lama Rafael menciumnya, pria itu melepaskan bibirnya dan tersenyum ke arah Vanessa. "Aku akan menjaga dan melindungimu. Bahkan jika taruhannya adalah nyawaku."
"Ke-kenapa kau melakukannya dengan nyawamu? Yang kau butuhkan adalah uang---"
"Tidak, Ane, aku membutuhkanmu."
Debaran jantung Vanessa semakin tidak terkendali, tapi ia tetap bertanya, "Kenapa?"
"Karena aku mencintaimu."
Sudah cukup, debarannya menjadi tak karuan dan Vanessa berharap dirinya bisa menghilang dari kekangan Rafael ini.