RAFAEL tersenyum melihat James yang sedang berdiri di ambang pintu dan berjalan ke arahnya dengan tatapan tidak suka, tapi masih memperlihatkan senyum masamnya.
"Jadi semua tatapanmu itu sesuai dengan dugaanku."
Rafael tidak peduli. "Lebih baik kau keluar, Vanessa sudah memintaku untuk tidak menerima siapapun masuk kemari."
"Lalu apa yang kau lakukan di sini?" tanya James kesal.
"Aku pengawalnya dan ini sudah menjadi tugasku untuk tetap berada di sini melindungi Vanessa.
"Kau melupakan sebuah fakta bahwa aku adalah tunangannya, Rafael Xeaniro," ujar James penuh tatap.
Rafael tersenyum tipis, ia memasukkan tangannya ke dalam saku celananya dan menatap James dengan penuh kuasa. "Jika begitu, jadilah tunangan yang baik dan tinggalkan kamar ini."
"Apa aku bisa menjamin kau tidak melakukan apa pun kepada Vanessa?"
"Apa aku terlihat sebajingan itu sampai melakukan hal yang tidak-tidak kepadanya?" Rafael mulai dengan tatapan intimidasinya. Ia berharap James segera keluar dari kamar Vanessa, karena melihat wajah pria di hadapannya ini benar-benar membuat dirinya gerah.
"Karena Paman mempercayakan Vanessa kepadamu, maka akan kulakukan hal yang sama," ucap James secepatnya.
Hal itu membuat Rafael merasa puas. Ia sangat beruntung dengan sikap dewasa James. Ia bahkan tidak perlu mengurusnya seperti anak kecil yang biasa mengganggu Vanessa.
Selepas James keluar dari kamar Vanessa, Rafael kembali duduk di sisi ranjang Vanessa. Ia merapikan rambut Vanessa yang menutupi wajahnya dan setelah memastikan gadis itu terlelap dengan sangat nyenyak, ia segera keluar dari kamar dan langsung berhadapan dengan James.
"Syukurlah kau cepat keluar juga."
Rafael menghela napasnya dan berusaha untuk ke kamarnya dengan maksud mengabaikan James.
"Kau mencintai Vanessa?"
Langkah kaki Rafael terhenti, lalu ia menoleh kepada James yang memberi tatapan penuh keingintahuan. "Apa pedulimu?"
"Tentu saja aku peduli ketika gadis itu sudah menyandang status sebagai tunangan Pangeran Inggris."
Rafael tersenyum miris. "Pangeran yang tidak akan bisa naik tahta?" Setelah mengatakan sesuatu yang sangat buruk, Rafael kembali melangkahkan kakinya dan mengabaikan James yang sudah menatap punggungnya dengan penuh amarah dan kekesalan.
Begitu masuk ke dalam kamarnya, Rafael segera membuka dua kancing kemeja atasnya kembali dan mengambil sebuah botol minuman beralkohol di lemari es kecilnya dan meminumnya dengan kasar di ranjang.
Begitu banyak hal yang ia lalui hari ini bersama Vanessa dan semuanya sangat membahayakan Vanessa. Ia tidak bisa sembarangan melakukan perkelahian atau apa pun itu karena dirinya merasa terancam harus meninggalkan Vanessa. Tubuhnya seperti reflek tidak dapat berpisah dari Vanessa dalam jarak yang sangat kecil sekalipun.
Rafael menghela napasnya kasar. Ia meletakkan botol minumannya di atas nakas dan merebahkan dirinya di kasur. Lalu, perlahan ia mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang.
"Yuhu, ada apa?"
Rafael memijat pelipisnya ketika suara itu terdengar. "Lauren ... tolong urus gadis itu."
"Kau ingin aku melakukannya?"
"Lakukan saja, jangan bertanya."
"Oke, apa yang harus kulakukan?"
"Goda dia," ucap Rafael.
"What?! Kau gila, mana bisa aku menggodanya. s**t, dia terlalu nakal untukku."
"Lakukan, Victor. Buat dia melupakan Pangeran Christian, dengan begitu dia tidak akan mengganggu Vanessa lagi."
"Oke, aku akan melakukannya asal kau menambah peralatan yang kuinginkan."
"Lakukan dengan benar." Lalu Rafael memutuskan panggilannya dan melempar ponselnya ke sisinya.
***
Waktu sudah menunjukkan pukul dua pagi. Vanessa terbangun dari tidur nyenyaknya dan merasa sangat haus karena tenggorokannya yang kering. Ia pun bangkit dan berjalan keluar dari kamarnya menuju dapur yang sangat gelap.
Dengan perlahan Vanessa mencari saklar lampu dan tatapannya terlihat terkejut ketika melihat Rafael yang sedang mabuk di meja bar dengan kemeja yang sama digunakannya. Vanessa mengerutkan keningnya dan berjalan ke arah Rafael.
"Kau sudah bangun? Ingin sesuatu?"
Vanessa melihat lekat-lekat penampilan Rafael. Pria di hadapannya ini sedang mabuk, tapi sepertinya kesadarannya masih ada. "Sepertinya pengawalku sedang ada masalah," ejeknya.
Rafael tersenyum tipis dan kembali menenggak minuman bewarna kuning yang tampak menggoda itu.
Vanessa terpaku melihat minuman itu. Ia belum diperbolehkan meminum alkohol oleh Jayden dan ayahnya. Usianya 18 tahun, tapi ia bahkan tidak bisa menyentuh minuman itu.
"Kau mau?"
Vanessa tersentak. Sepertinya Rafael dapat melihat tatapan matanya yang menginginkan minuman itu. "Kau tahu Daddy dan Kakakku melarangku."
Rafael tersenyum tipis, lalu pria itu malah menuangkan minuman itu ke gelas yang sama. Setelahnya pria itu meletakkannya dengan pelan di hadapan Vanessa.
"Mereka tidak ada di sini sekarang, lagipula kau harus mencobanya. Akan aneh jika kau berada di Barcelona, tapi tidak mencoba alkohol."
"Apa hubungannya Barcelona dengan alkohol?"
"Tidak ada hubungan yang spesifik, hanya saja kau harus mencobanya. Ini Barcelona, bukan Indonesia, negara yang disukai orangtuamu."
Vanessa menatap lamat minuman itu. Haruskah ia minum? Bagaimana dengan rasanya? Maniskah atau pahit? Lalu, apa dirinya akan mabuk jika hanya seteguk? Bagaimana jika ia tertarik dan selalu menginginkannya?
Haruskah ia melanggar perkataan kedua pria yang sangat ia kenali hanya karena alkohol?
"Kau terlalu banyak berpikir." Rafael segera mengambil gelasnya, tapi tepat saat itu juga Vanessa mengambilnya kembali dengan paksa dan meminumnya dalam sekali teguk. Rafael terlihat puas. "Good girl."
"Pahit..."
"Kau akan terbiasa," ucap Rafael, lalu kembali menuangkan minuman itu ke dalam gelas. "Ingin lagi?" tawarnya.
Vanessa diam lagi. Gadis itu kembali berpikir dan membuat Rafael tersenyum tipis. Rafael tidak menyangka bahwa dirinya adalah teman minum pertama Vanessa di pagi hari.
Hanya berdua.
Ini mengesankannya. Ia beranjak dari tempatnya dan pergi untuk mengambil gelas yang lain agar ia bisa meminumnya seraya menunggu gelas di hadapan Vanessa kosong kembali.
"Apa rasanya akan berbeda jika minum dari botol?" tanya Vanessa kemudian.
Rafael mengerutkan keningnya, tapi kemudian ia tersenyum tipis dan memindahkan botol minuman ke hadapan Vanessa. "Kau coba saja."
Vanessa membalas hal itu dengan kening yang berkerut, tapi tatapan yang penuh dengan keingintahuan. Ia dengan berani menyentuh botol itu dan terkesima dengan warnanya yang sangat indah.
Vanessa menghela napasnya. Setidaknya ia harus mencoba. Ia tidak bisa terus menjadi gadis manja yang tidak diperbolehkan mencoba alkohol. Meski sebelumnya rasa alkohol benar-benar tidak ia sukai, tapi entah mengapa hal itu membuatnya ketagihan.
Ia bingung.
Bagaimana bisa hal itu menjadi candu untuk semua orang..., dan dirinya?
"Kau tidak perl---"
Vanessa meminumnya langsung dari botol. Setelah beberapa detik lamanya ia meminum langsung dari botol, Rafael segera menghentikan tindakannya dan mengambil botol itu dengan paksa.
"Kenapa rasanya sama saja?!" teriak Vanessa.
Rafael tertawa renyah. "Kau ingin cara minum yang lain?"
Vanessa mengerutkan keningnya. "Memangnya ada cara lain lagi?"
Rafael mengangguk. "Jika kau ingin, aku akan memperlihatkannya dan dapat kujamin kau akan menyukainya."
"Kenapa kau bisa berasumsi dengan pasti bahwa aku akan menyukainya?"
"Karena aku sangat menyukainya."
"Bagaimana caranya?" tanya Vanessa penasaran.
Sedetik kemudian, Rafael perlahan mendekat ke arah Vanessa yang membuat gadis itu semakin mundur ke belakang. Kemudian, di detik selanjutnya, Rafael meminum alkohol itu langsung dari botol dan segera meletakkan bibirnya pada bibir Vanessa yang entah bagaimana caranya pria itu dapat dengan mudah membuka mulut Vanessa dan memasukkan alkohol tersebut dengan cara yang sama sekali tidak pernah Vanessa bayangkan.
Vanessa segera sadar dan ia mulai mendorong tubuh Rafael setelah tenggorokannya berhasil menelan alkohol yang berasal dari mulut Rafael.
Seketika... Ia merasa jijik.
"Kau..." Vanessa ingin memaki Rafael, tapi mendadak ia melihat dengan jelas bahwa pria di hadapannya ini sudah mabuk. Ia melihat ke arah botol yang dipegang Rafael dan menyadari bahwa botol itu sudah hampir habis.
Meskipun Vanessa membencinya, tapi setidaknya ia masih memiliki perasaan untuk tidak memaki Rafael ketika pria itu berada dalam pengaruh alkohol.
"Bagaimana rasanya, kau suka?"
Vanessa kembali mengerutkan keningnya. Wajah Rafael seperti orang mabuk, tapi nadanya sama sekali tidak berubah.
"Apa aku terlihat menyukainya? Dan kau..., " Vanessa menunjuk tepat di depan wajah Rafael. "Bagaimana bisa kau menciumku, apa kau lupa dengan status sosial yang sudah ditetapkan di rumah ini?"
Vanessa melihat raut wajah Rafael. Pria itu seolah tidak peduli dan terus menenggak minuman alkohol itu sampai habis. Tatapannya benar-benar menusuk Vanessa saat ini. Gadis itu hanya bisa memaki pelan dan berjalan ke wastafel untuk membasuh bibirnya yang ia asumsikan sangatlah kotor karena Rafael berani-beraninya menciumnya.
Mencium? Apa itu dianggap ciuman?
Vanessa buru-buru menggelengkan kepalanya, lalu ia mencoba untuk kembali ke kamarnya. Namun, Rafael mencekal pergelangan tangannya yang akhirnya membuat Vanessa menoleh tajam.
"Apa aku semenjijikan itu?" tanya Rafael.
Vanessa tersenyum tipis, lalu melepas cekalan tangan Rafael. "Jika kau berpikiran seperti itu, maka kau sangat sadar akan hal ini. Aku salah karena menganggapmu berada di bawah alkohol. Yeah, kau benar, itu sangat menjijikkan untukku karena harus meminum alkohol dari seorang pengawal."
"Lalu haruskah aku minta maaf?"
Vanessa menggelengkan kepalanya. "Aku lebih suka melihatmu menimbun kesalahan. Satu maaf dariku sangat berharga, jadi jangan berharap kau akan mendapatkannya dengan mudah." Vanessa merasa obrolan ini tidak akan berhenti, akhirnya ia mencoba untuk menjadikannya sebagai yang terakhir kali.
"Apa yang harus kulakukan agar kau memberiku maaf yang sangat berharga itu?"
Saat Vanessa berniat untuk pergi, Rafael malah menanyakannya kembali.
"Hanya jika kau membiarkanku melakukan apa pun dan tidak terlalu menggangguku, hanya itu cara yang akan membawamu kepada maafku."
"Kau tahu aku tidak akan melakukannya, Vanessa," ujar Rafael.
"Kau benar, oleh karena itu aku mengatakannya." Vanessa segera pergi. Ia meninggalkan Rafael tanpa membiarkan pria itu kembali menyerukan suaranya.
Disaat Rafael menatapnya dengan datar dan tenang, Vanessa hanya tersenyum puas. Ia akan melihat esok hari apakah pria itu akan tetap menjadi Rafael Xeaniro atau berubah hanya demi mendapatkan permohonan maaf dari Vanessa.
Tbc.