BUKAN SUAMI SEMPURNA

1664 Kata
"Nanti kuceritakan. Yuk Bang, naik dulu. Biar cepet, kan taxi-nya udah berenti." Mutia malah senang tarik ulur dan tersenyum penuh makna melihat kebingungan Raffi. "Kamu nih, bikin penasaran aja!" "Hihi. Yuk naik, Bang!" Mutia mendorong kursi roda Raffi mendekat ke arah pintu penumpang taksi. Sopir taksi juga sigap membantu melihat Raffi yang disabilitas. Dia membuka bagasi untuk kursi rodanya. "Bang Raffi, duduknya udah enak belum?" Mutia sangat telaten membantu Raffi yang tidak bisa berdiri sendiri masuk ke dalam taksi. Mutia tidak mengeluh juga dan selalu saja memberikan senyum dan tutur katanya selalu ramah. Benar-benar peduli. "Iya, nyaman kok. Makasih ya. Dan tadi itu kontrak apa, Mutia? Kamu belum jawab loh." "Nanti aku jawab setelah pulang dari rumah Pak RT. Sekarang makan dulu ini, Bang. Tadi aku beli roti di minimarket, kan tadi harusnya Bang Raffi makan malam, tapi kita udah keburu diusir, hihi." Mutia malah bercanda lagi. Mutia memang belum mau menjawab dan sudah mengeluarkan roti dari dalam tasnya. Dia menyerahkannya kepada Raffi yang sebenarnya ingin menolak tapi Mutia memaksa Raffi menghabiskannya. "Kamu juga belum makan, kan?" "Tadi di dapur sambil masak aku ngemil tempe goreng, Bang. Ada kayanya lima mah. Jadi kenyang." "Tapi aku gak mau makan rotinya kalau kamu gak makan." "Gini aja, aku makan satu potong roti sobek, Bang Raffi tiga." "Setengah-setengah?" "Nggak, Bang Raffi harus lebih banyak, supaya kenyang dan konsen nanti pas baca akad nikahnya!" canda Mutia yang berhasil memaksa Raffi menghabiskan rotinya. "Saya terima nikah dan kawinnya Mutiara Kasih binti Saefulloh dengan mas kawin uang tunai dua ratus lima puluh ribu rupiah dibayar tunai!” Mutia yang tidak ingin menyinggung perasaan Raffi memang langsung mengajak Raffi ke rumah Pak RT dan meminta untuk dinikahkan. Mereka berdua dibawa ke Musholla di dekat rumah Mutia dan di sana ustadz yang biasa mengimami di Musholla tersebut yang menikahkannya. Beberapa warga dan tetangga juga ikut datang memeriahkan dengan mengucapkan selamat dan ada juga yang membawa makanan atau amplop untuk Mutia dan Raffi. Kebetulan mereka sampai di sana ba'da Maghrib dan bertepatan dengan warga berkumpul pengajian malam Jum'at di Musholla. Jadi saja agak ramai dan berita tersebar lebih cepat di kampung sederhana itu. Warga kampung di sana sangatlah kompak. Mereka mengenal baik orang tua Mutia. Kebaikan keluarga Mutia yang memiliki jiwa sosial tinggi meski tidak memiliki banyak uang tapi ringan tangan, kini kebaikannya bisa dinikmati oleh Mutia dan Raffi. Dia sangat bersyukur sekali dengan sikap ramah tetangga-tetangganya. "Kamu beruntung ya dikelilingi oleh orang-orang yang menyayangimu, Mutia. Gak kayak tetangga komplekku, sebelah rumah namanya siapa juga aku gak kenal," ungkap Raffi yang membuat Mutia senyum-senyum. Dia tak menampik, karena Mutia sendiri kalau belanja sayur cuma bertemu pembantu-pembantunya saja. Dan sampai terakhir ke tukang sayur, Mutia pun masih disangka pembantu oleh para pembantu tetangga rumah keluarga Prakoso karena penampilannya, karena Mutia memang tak pernah diajak pergi dan karena Mutia anak pembantu. "Sekarang hidupku sudah semakin beruntung karena sudah memiliki suami yang baik dan menyayangiku." "Hehe, tapi maaf ya maharnya cuman ada segitu-segitunya karena uangku cuma sisa segitu. Ada laptop dan handphone tapi belum dijual." "Ssst, segitu juga cukup Bang Raffi. Udah nggak usah dibahas. Mahar yang tak memberatkan itulah yang terbaik." Mutia berbisik sambil kakinya memasang rem di kursi roda Raffi. Mereka tadi mengobrol di teras rumah Mutia. Mereka baru sampai di rumahnya setelah tadi beramah tamah dulu dengan warga sekitar di Musholla. Banyak yang menanyakan ke mana Mutia pergi dan keadaan Ibunya. Mutia sedikit mengarang cerita untuk membuat suasana tidak terlalu menyedihkan. Dia bukan seseorang yang suka mengumbar aib dan berita negatif. "Mutia, tapi terima kasih ya kamu menutupi semua kebusukan keluargaku di hadapan tetangga-tetanggamu tadi. Dan kamu berlebihan memujiku. Padahal aku sebenarnya bukan siapa-siapa, hanya orang cacat yang gak berguna." "Kata siapa bukan siapa-siapa? Bang Raffi kan suamiku." "Kamu nih, bercanda aja!" Raffi mengalihkan pandangannya pada Mutia yang sedang mencari kunci rumahnya. "Gapapa kan godain suami sendiri!" seru Mutia sambil membalas tatapan Raffi dan mengedipkan matanya. "Mutia, aku baru sadar kalau kamu iseng, ya?" "Hehe!" Mutia juga membuat karangan indah tentang siapa Raffi dan bagaimana mereka bertemu. Intinya dia tidak menceritakan semua hal buruk yang terjadi dan membuat tetangga-tetangganya tetap berpikir positif. "Kata Ibu kalau orang yang sudah menikah itu maka pasangannya adalah pakaiannya. Jadi, sudah sewajarnya kalau aku menjaga nama baik suamiku." Mutia itu memang memiliki hati yang sangat baik. Dia tulus dan bukan orang yang dikuasai penyakit hati. Makanya sikapnya inilah yang membuat Raffi kembali tersenyum dan hatinya semakin nyaman bersama istrinya. "Bang Raffi tunggu dulu di luar, ya. Rumahnya udah ditinggalin lebih dari tiga bulan, dalamnya pasti kotor banget. Aku mau bersihin dulu nanti Bang Raffi kalau masuk ke dalam jadi udah nyaman." "Aku bantuin." "Eh, jangan!" "Gapapa, aku kan cuman nggak bisa jalan tapi aku punya tangan dan aku bisa bantuin istriku. Masa iya aku tega Kamu ngerjain semuanya sendirian?" Berbunga hati Mutia mendengar jawaban Raffi. Saat menikah dengan Teguh, tak pernah dia dipanggil 'Istriku.' Menikah dengan Raffi membuat Mutia merasa dimanusikan lagi. "Enggak usah, Bang. Pokoknya Bang Raffi tunggu di sini aja nanti aku yang rapihin semuanya!" makanya dia mau memberikan yang terbaik untuk suaminya. "Kalau kamu nggak ngizinin aku buat ngebantu maka aku nggak akan pernah masuk ke dalam sana dan aku bakalan pergi dari sini!" Raffi tetap bersikeras karena dia tidak mau membiarkan istrinya kesulitan sendiri. Meskipun dalam keterbatasannya yang masih duduk di kursi roda, dia cukup cekatan dan serius membantu. “Mungkin Bang Raffi gak sempurna. Tapi bersamanya, melihat kesungguhan perhatiannya, kurasa aku tak butuh kesempurnaan sebagai kriteria pasangan hidupku. Semoga awal yang indah ini selamanya begini,” tak sengaja melihat Raffi yang sedang mengelap peluhnya setelah beberes membuat hati Mutia juga merasa hangat. Selama pernikahannya dengan Teguh tidak pernah pria itu membantu pekerjaan rumah seperti Raffi. Teguh hanya tahu menyentak Mutia dan marah-marah. "Mutia, semua sudah rapi. Kamu mendingan mandi dulu sana!" "Aku mau nyiapin makan malam dulu." "Tadi kita udah makan di Musholla. Kamu masih lapar?" Mutia menggelengkan kepalanya. "Buat Bang Raffi. Kan capek udah beberes." "Aku gak lapar. Sana, kamu mandi dulu." Diperintah, tapi Mutia malah diam dan tak melakukannya. Jelas membuat Raffi gemas. "Kamu nungguin apa lagi?" tanya Raffi dengan suaranya yang pelan sambil mengerutkan dahinya. "Hmm ... Men-mending aku bantuin Bang Raffi mandi dulu, baru aku mandi." Berdeguplah jantung Raffi mendengarnya. Dia sampai menatap Mutia yang sedang mengapit bibirnya, gugup. "Kamu gak usah khawatir, aku bisa mandi sendiri." "Ka-kamar mandinya sempit Bang. Pintunya ga muat untuk kursi roda dan kita belum punya tongkat. Lagian lantainya agak licin. Biar aku bantu Bang Raffi aja ya, aku khawatir Bang Raffi jatuh." Suasana canggung untuk sesaat. Padahal tadi, sebelum Mutia ke warung katanya mau beli telur, mie, minyak sama beras, mereka mengobrol ada canda tawa juga. "Mutia--" "Ayo Bang Raffi, aku bantuin. Lagian aku udah jadi istrinya Bang Raffi, jadi gak usah malu, hehe..." “Bisa-bisanya aku ketawa gitu padahal kan aku aja belum pernah pegang, liat dan nyentuh tubuh lelaki.” Mutia aslinya sangat cemas. Dia belum pernah mengalami adegan banyak sengatan listrik antara laki-laki dan perempuan. Kondisinya lebih nervous daripada Raffi yang juga gerogi, karena dia belum pernah sebelumnya menunjukkan bagian tubuhnya yang sakral pada wanita. Tapi Mutia yang tahu, Raffi itu orang yang tak enakan dan pada dasarnya tak mau merepotkan orang, sudah mengambil inisiatif mendekat dan membawa kursi roda Raffi ke depan pintu kamar mandi. "Mutia--" Raffi mencegah. "Maaf ya, Bang, aku belum mandi, jadi sedikit bau udah dekat-dekat, Bang Raffi." "Ya ampun, kamu masih aja becanda!" Raffi kembali terkekeh cair karena sikap Mutia ini. "Jujur aja, aku ga terganggu dengan bau yang kamu sebut-sebut itu. Aku yakin hidungku masih normal dan tubuhmu ini gak bau, kok. Aku heran gimana Ibu Pita dan Teguh bisa bilang begitu. Cium nih, aku keringetan sekarang, aromanya sama denganmu." Yah, memang aroma keringat seperti itu. Dan tak ada bau yang ekstrem dari tubuh Mutia. "Gak wangi kayak Andina Sedayu." "Ish, suruh dia jangan pakai parfume, terus masak, nyapu, nyuci, kerjain pekerjaan kamu semua, pasti keringetan dan aroma tubuhnya sama kayak kita berdua sekarang." "Hihi, udah yuk Bang, mandi dulu." "Mutia!" Raffi menahan Mutia yang sejujurnya merasa lega karena bisa bernapas sebentar. Mutia juga ngedredeghatinya sangat gugup. Ini pertama kalinya dia mau memandikan pria dewasa. "Apa, Bang?" "Aku baru mau mandi, kalau kamu udah jelasin kontrak apa tadi." "Ah, itu." Mutia tersenyum yang membuat wajah Asia-nya terlihat begitu manis. Posisi Mutia berlutut di depan Raffi karena tadi dia mau membantu membukakan sepatu Raffi dulu. "Bang Raffi masih inget nggak tulisan naskahku yang dulu pernah aku tunjukin sama Bang Raffi, kira-kira sebulan setelah aku nikah dan tinggal di rumah almarhum Ayah?” "Naskah bukumu yang udah kamu buat tapi nggak pernah kamu terbitin itu?" Mutia malu-malu tapi dia sudah mengangguk dengan wajah terlihat antusias. "Waktu itu kan Bang Raffi maksain aku buat ngirim naskahnya dan waktu itu aku juga nggak mau. Tapi Bang Raffi tetep kirim, kan? Terus tadi itu aku ditelepon sama editor katanya naskahku lolos kontrak dan mereka sudah kirim seperempat bayaran kontraknya juga. Besok aku diminta ke kantor mereka," ujar Mutia yang merasa sangat bahagia. Dia tidak menyangka tulisannya di saat iseng-iseng dulu bisa menghasilkan uang ketika dirinya memang sedang butuh uang. "Wah, syukur kalau begitu ya. Aku ikut senang dengarnya. Itu naskah yang bagus. Kamu memang berbakat, Mutia!" tulus Raffi memuji. "Hmm. Makasih ya, Bang! Kalau bukan Bang Raffi dulu yang maksa ngirimin naskah itu mungkin sampai saat ini naskahnya cuma aku simpan aja dan nggak akan pernah jadi uang." "Nggak usah makasih ke aku, itu kan semua karena kehebatanmu." "Kalau nggak ada Bang Raffi nggak mungkin aku bisa. Hehehe. Kan aku gak pede." "Kamu hebat Mutia, aku yakin kamu bisa jadi penulis besar!" Lagi-lagi dukungan yang membuat Mutia tersipu. "Ehm, tetep aja, semua karena Bang Raffi." Ya, karena Mutia berpikir Raffi yang sudah membuka jalan untuknya, menyemangatinya dan memuji tulisannya karena pada dasarnya Mutia tak pede. Tapi di sini, pria itu tak berpikir ke sana. "Maaf ya, sekarang aku jadi beban untukmu. Harusnya, kamu enggak--" "Ssst!" Mutia memberanikan diri menaruh jari telunjuknya di bibir Raffi. "Ayok Bang, mandi dulu!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN