2. Runyam

1525 Kata
Pikiran Ghidan mendadak bercabang. Beberapa menit sebelum berangkat menuju Pulau Dewata, sang ibu memberi kabar kalau adik iparnya kembali berkunjung dengan dalih merindukan Anin. Namun bukan itu yang menjadi ganjalan di hatinya, karena beberapa saat lalu Hastutik mengatakan kepindahan Asri dan keluarga besarnya ke Makassar dimajukan menjadi bulan depan. "Ibu tenang aja, Riyani atau Bu Asri nggak akan bawa Anin kok," seru Ghidan berlagak menenangkan meskipun sejujurnya ia juga waswas. Ibu mertuanya sangat baik, namun upaya sang adik ipar yang terlalu 'ngotot' mengambil hak asuh Anin yang membuat Ghidan tak tenang. Riyani dan suaminya belum dikaruniai momongan meski sudah berumah tangga lama. Riyani beralasan akan mengasuh Anin sebagai 'pancingan' agar segera mendapatkan buah hati. Tapi tetap saja hal itu tak ia setujui karena paham betul perangai keras Riyani yang berkebalikan dengan mendiang istrinya. "Tadi Riyani bilang mereka udah siapin tiket untuk Anin. Bahkan katanya mereka udah siapin kamar mewah dan megah untuk Anin di sana. Pokoknya omongan dia nggak enak didenger, Mas. Heran, kok sifatnya bisa beda banget sama saudara kembarnya yang kalem." Ghidan mendesah panjang. Sudah sejak lama ia tahu perbedaan signifikan sang istri dengan kembarannya itu. Bahkan Ghidan berasumsi kalau itu hanya akal-akalan Riyani untuk mengambil hati Anin agar bersedia pindah ke Makassar. Tapi mendengar kecemasan sang ibu seperti ini tetap saja menularkan rasa cemas juga di hatinya. "Nanti aku akan hubungi Riyani ya," jawab Ghidan sungguh-sungguh. Sebagai seorang ipar rasanya tindakan Riyani sudah kelewat batas. Setelah mempengaruhi Bu Asri agar mendukungnya membawa Anin, sekarang Riyani malah terang-terangan mencoba mengambil hati putrinya. "Beneran lho ya?" suara Hastutik masih terdengar ragu. "Iya, begitu sampai di Bali, aku akan langsung hubungi Riyani. Sekarang udah mau berangkat ini, Bu." Ghidan mengamati jarum jam di pergelangan tangannya. "Anin mana? aku mau lihat dulu," lanjutnya mengalihkan pembicaraan. Layar ponsel Ghidan bergerak pelan menunjukkan sang ibu yang memanggil Anin agar segera mendekat. Senyum Ghidan mengembang sempurna saat wajah berseri putrinya nampak memenuhi gawainya. "Papa udah mau terbang ya?" tanya Anin menunjukkan boneka kecil yang ada di gendongannya. "Iya, Sayang. Anin yang pinter ya." "Anin pinter terus kok, Papa." Anin meringis lebar menunjukkan barisan gigi kecilnya yang rapi. "Papa yang pinter juga ya kerjanya, jangan lupa bawa oleh-oleh sekarung," sambungnya dengan raut wajah menggemaskan. "Iya, InsyaAllah minggu depan pas pulang, Papa bawain banyak oleh-oleh." Ghidan tak bisa berlama-lama bercengkerama dengan Anin karena pekerjaannya sudah menanti. Terlebih ketika ia melihat sang atasan beserta istri berjalan mendekat ke arahnya. "Anin, Ghi?" tanya sang atasan menepuk pundaknya. Ghidan langsung mundur satu langkah sambil mengangguk. "Iya, Boss. Biasa minta oleh-oleh sekarung beras setiap kali ditinggal ke luar kota." "Manisnya ... jadi nggak sabar juga jadi ayah kayak kamu, biar ada yang selalu nitip oleh-oleh," sambungnya singkat lalu berjalan melewati Ghidan. Irawan dan Fawnia memang tengah menunggu kelahiran sang buah hati. Saat ini istri Irawan itu tengah mengandung buah hati pertama mereka, tak heran kalau atasannya itu tak sabaran menanti kelahiran bayi mereka. Penerbangan singkat dari Surabaya menuju Bali terasa sangat lama karena Ghidan sibuk dengan isi kepalanya sendiri. Pria itu tak sabar untuk menghubungi Riyani dan meminta penjelasan terkait dengan apa yang disampaikan ibunya. Sayangnya, Ghidan baru bisa menghubungi Riyani malam hari setelah memastikan villa yang ditempati Irawan aman dan semua pintu tertutup rapat. "Yan, aku sudah mendengar semuanya dari ibu," ujar Ghidan tanpa basa-basi. "Sekali lagi tolong kerja samanya. Sekarang dan selamanya Anin akan ikut aku, jadi jangan pernah mencuci otaknya dengan semua rayuanmu. Tolong." "Mas, aku nggak bermaksud mencuci otaknya Anin ya, dia keponakanku satu-satunya, aku sayang sama dia." "Kalau beneran sayang, tolong jangan paksa Anin untuk ikut kamu." "Aku nggak maksa, aku hanya ngasih tahu fakfa pada keponakanku kalau kehidupannya akan lebih bahagia dan terjamin kalau ikut denganku. Jadi anakku." "Dia anakku, Yan," potong Ghidan tegas. "Tapi kamu tega biarin dia tumbuh besar tanpa seorang ibu. Aku dan Kukuh bisa jadi orang tua yang lengkap untuk Anin, Mas. Kami punya segalanya, Anin nggak akan hidup kekurangan," sahut Riyani tak mau kalah. "Anin nggak pernah hidup kekurangan." Ghidan memijat pelipisnya yang mendadak pening setiap kali iparnya memutarbalikkan fakta. "Dia kurang kasih sayang seorang ibu, Mas! dan aku bisa jadi ibunya. Kamu tau sendiri aku dan Lia hampir nggak ada bedanya." Ghidan memang mengakui kesamaan wajah antara Liana dan Riyani. Mereka kembar identik, mungkin hanya lesung pipi yang dimiliki Liana yang jadi pembeda. Tapi tetap saja kesamaan yang lain tak bisa dijadikan alasan untuk mengambil Anin darinya. "Stop, Yan. Selamanya, Anin tetap ikut denganku." "Lalu ibunya? sampai detik ini kamu bahkan belum menikah, kata ibu kamu sebentar lagi, sebentar lagi. Kapan? atau jangan-jangan, kamu udah nggak doyan sama perempuan sejak ditinggal Lia—" "Yan! kamu udah keterlaluan." Ghidan mengepalkan tangan hampir kehilangan sabar. "Aku sama mama cuma minta syarat itu, kasih sosok seorang ibu yang sayang sama Anin. Setelah itu aku nggak akan usik masalah hak asuh lagi." Suara Riyani terdengar kesal. Padahal seharusnya Ghidan berhak jauh lebih kesal padanya. Jemari Ghidan menekan keningnya semakin kuat. Suami Riyani seorang pengacara ternama, rasanya tak akan sulit bagi mereka untuk mengubah kondisi sampai hak asuh Anin berpindah pada Riyani. Kalau sudah begini ... sepertinya Ghidan tak punya jalan lain. "Aku akan membawanya ke depan kalian sepulang dari Bali," putus Ghidan tak bisa berpikir jernih. "Hmm?" Riyani berdeham tak paham. "Ibuku sudah pernah bilang kalau aku punya pasangan kan? sepulang tugas di Bali aku akan membawanya ke depan kalian. Kalau perlu kami akan melaksakan pernikahan di depan mata kalian." Di seberang sana terdengar Riyani berdecak kecil. “Aku akan membawanya serta Anin juga, biar kalian semua percaya kalau aku nggak mengada-ada," sambung Ghidan lagi. Ide ini terdengar gila. Tapi Ghidan sudah terlanjur melontarkan dengan mulutnya sendiri. Tak mungkin ia tarik lagi dan membuat Riyani semakin tertawa di atas angin. Mungkin teman-temannya sesama pengawal keluarga Dwisastro punya kenalan perempuan yang bisa diajak kerja sama menjalankan misi penuh drama ini. Atau mungkin ia harus menemukannya di biro jodoh online yang belakangan ini marak di dunia maya. Apapun caranya, Ghidan bersedia membayar berapapun asal bisa menemukan sosok perempuan tersebut. *** Ghidan kira, hanya kehidupan pribadinya saja yang mendadak runyam. Namun ternyata kedua atasannya mengalami hal yang sama. Hari kedua di Bali, Ghidan menjadi sasaran empuk akibat pertikaian antara Irawan dan Fawnia. Entah apa yang terjadi saat private party yang diadakan Marco, sahabat lama Irawan. Karena sebelum pesta usai, Fawnia muncul seorang diri tanpa didampingi sang suami dengan tergesa lantas menyuruhnya mengantar ke bandara. Ghidan tak sempat mencerna dan bertanya pada istri atasannya, karena ponselnya tiba-tiba dirampas dan dibawa oleh perempuan yang tengah hamil itu. Tak sampai di situ. Di tengah-tengah kebingungan yang dialami, lagi-lagi Ghidan menjadi korban salah sasaran. Kali ini ia harus rela mendapat tamparan dari Irawan lantaran dianggap lalai mencegah kepergian Fawnia. Bak dihadapkan buah simalakama, keputusan yang diambil Ghidan saat mengantar Fawnia tetap saja salah di mata Irawan. Entah masalah apa yang sedang menghampiri sepasang suami istri itu, Ghidan tak berhak bertanya lebih jauh. Karena kini tugas Ghidan hanya menjalankan perintah dari Irawan untuk tetap tinggal di Bali dan memberi pelajaran pada Annete, perempuan yang menjadi penyebab kesalahpahaman antara Irawan dan sang istri. "Kamu tetap di Bali, hancurkan Annette dan siapapun yang berani mengambil foto ini dengan kurang ajar." Irawan menunjukkan layar ponselnya pada Ghidan. Ghidan sempat menelan ludahnya susah payah saat melihat potret Irawan dan Annete dengan pose tak seharusnya. "Jangan kembali ke Surabaya sebelum Annette hancur dan menyesali perbuatannya!" sambung Irawan dengan nada serius. "Siap, Boss!" seru Ghidan menegapkan tubuhnya. Ghidan gegas menghubungi rekannya sesama asisten Irawan untuk mendapatkan profil lengkap dari Annete Priskila yang malam ini menjadi dalang kekacauan rumah tangga atasannya. "Iya, dia mantannya Pak Irawan yang model itu. Sepertinya sakit hati karena batal dikontrak salonnya Mbak Fawnia. Jadi sengaja jebak Mas Awan di pesta itu, Mbak Fawnia salah paham dan duarrr... berantem. Lalu gue kena getahnya." Ghidan menceritakan apa yang dialaminya pada Yudho- kepala ajudan keluarga Dwisastro. "Terima aja nasib jadi cungpret, Ghi. Setidaknya lo nggak langsung dipecat." Ghidan mengangguk sembari mengusap pipinya tepat di bagian Irawan mendaratkan tamparan. "By the way, thanks infonya, Yud, ini gue lagi cek cctv. Biar cepet kelar." “Good, gue udah kirim kontak anak-anak lain yang bisa bantu elo selama di sana, jangan sungkan hubungi mereka malam ini juga,” imbuh Yudho sebelum mengakhiri panggilan. Setelah kehilangan jejak Annete yang sudah meninggalkan tempat acara, Ghidan bergerak cepat setelah menelaah rekaman CCTV yang ada di tempat tersebut. Dari sana ia mendapatkan satu nama lain yang membantu Annete menjalankan misinya. Vivian Yuansa. Gadis pertama yang akan ia kejar keberadaannya untuk mendapatkan kartu as lain yang bisa ia gunakan untuk menyelesaikan tugasnya. “Gadis yang ini, sudah keluar atau belum?” tanya Ghidan pada petugas keamanan villa sambil menunjuk sosok Vivian di layar. “Ooh, yang ini barusan aja keluar pake mini cooper warna orange, Pak. Mungkin sekitar lima menit yang lalu.” “Lima menit?” ulang Ghidan langsung diangguki pria gempal di depannya. “Oke thanks, Bro,” balas Ghidan singkat lantas melesat pergi menggunakan motor besar hasil pinjaman salah satu rekannya di Canggu. Beberapa menit yang lalu ia memang melihat mobil berwarna orange mencolok yang keluar menuju utara. Kalau ia menggunakan kecepatan maksimal, pasti tak akan lama menemukan targetnya ini. ♥♥♥
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN