1. Double Jackpot

1503 Kata
Ghidan Zamani sudah berikrar akan menutup hati dari segala hal yang berbau asmara sejak kepergian istrinya tiga tahun lalu. Cukuplah dirinya saja yang menjadi orang tua dari Kanina, putri semata wayang yang menjadi pelipur lara selama ini. Ghidan merasa tak membutuhkan pasangan lagi untuk menjadi pelengkap hidup, asal Anin- panggilan Kanina, selalu ada di sisinya. "Mas, ini udah hampir satu tahun sejak mertuamu menawarkan syarat itu buat kita lho." Suara sang ibu kembali menyadarkan Ghidan dari lamunan. "Sebenarnya ibu sudah capek juga kalau harus bohong tiap ditanya calonmu." "Ya udah, nggak perlu bohong kalau gitu, Bu. Bilang saja apa adanya. Kalau aku belum berniat mencari ibu baru buat Anin," seru Ghidan sekilas melirik putrinya yang baru saja terpejam di atas pangkuan sang nenek. "Ngawur kamu, kalau ibu bilang gitu, si Anin pasti langsung dibawa ke Makassar sama oma dan tantenya. Nggak boleh! pokoknya ibu nggak rela dipisahin sama Anin!" pekik perempuan paruh baya bernama Hastutik tersebut sambil menepuk pundak Ghidan. "Aku juga nggak rela, Bu. Anin anakku satu-satunya, cuma dia bagian dari mendiang Liana yang aku punya, bagaima—" "Kalau kamu nggak rela ya buruan cari istri, cuma itu syarat yang diminta Bu Asri kan? setelah Anin punya ibu pengganti yang sayang sama dia, baru deh Bu Asri dan Riyani bisa relain Anin kita asuh." Ghidan mendesah panjang. Asri adalah ibu dari mendiang istrinya, sedangkan Riyani adalah saudari kembar Liana. Tahun lalu, keluarga dari sang istri memaksa akan mengambil alih hak asuh Anin dari tangan Ghidan jika ia tetap saja bersikeras hidup seorang diri. Mereka beralasan Ghidan tak punya kemampuan yang mumpuni untuk mengasuh putrinya jika berumah tangga saja enggan ia jalani. Sedang dari pihak keluarga Liana merasa di atas angin karena ada Riyani yang notabene saudara kembar Liana, mampu mengasuh Anin dengan baik lantaran ia sudah berumah tangga. Apalagi keadaannya juga sangat mendukung lantaran tengah menanti buah hati yang tak kunjung hadir dalam rumah tangganya. Bu Asri juga tak yakin Hastutik mampu mengasuh cucunya dengan baik di usianya yang semakin senja. Memang Ghidan mempekerjakan seorang pengasuh dan asisten rumah tangga setiap hari untuk membantu menjaga serta merawat Anin. Namun keberadaan pengasuh tetap saja tak bisa disetarakan dengan posisi seorang ibu. "Sebenarnya, syarat Bu Asri itu niatannya baik juga lho, Mas. Biar kamu nggak sendirian, biar ada yang ngurusin. Hidup kamu pasti lebih lengkap dan berwarna kalau punya istri, Mas. Biar kamu nggak terus-terusan meratapi kepergian Liana." "Tapi syaratnya nggak masuk akal, Bu, terlalu mengada-ada itu. Posisi Liana nggak akan bisa digantikan siapapun." Ghidan tersenyum miring menatap sang ibu. "Iya, Ibu paham soal itu, tapi kamu juga nggak selamanya harus hidup sendirian kan?" "Aku nggak sendirian, aku punya Anin, aku juga punya Ibu sama Sakti." "Ibumu ini udah semakin tua, udah penyakitan juga. Cepat atau lambat pasti akan menghuni liang lahat. Adikmu si Sakti itu juga cepat atau lambat akan punya kehidupan sendiri setelah lulus kuliah dan menikah. Lalu, Anin, dia punya dunianya sendiri, Nak." Ghidan menggeleng pelan. Satu tangannya terulur untuk merapikan rambut Anin yang menutupi kening. "Bu, aku nggak mau kalau bahasannya semakin melebar kemana-mana." "Ya sama, ibu juga nggak mau kalau kamu ngeles aja tiap kali kita bahas masalah ini." "Kalau Bu Asri dan Riyani berkunjung, biar aku hadapi sendiri. Mereka pasti akan mengerti kalau ada di posisiku." "Eh, Mas, kalau Ibu kenalin sama Bu Bidan yang di pojok kompleks itu mau ya? dia masih single. Kapan hari waktu nganter Anin posyandu, Ibu sempat tanya-tanya. Orangnya cantik, Bang. Kalem dan keibuan sekal—" "Bu..." potong Ghidan mendesah lelah. "Ibu udah janji kan nggak akan jodoh-jodohin lagi kayak kemarin. Cukup Vina, Tyas, April, Vera, Ida dan entah siapa lagi itu namanya ... cukup mereka aja yang jadi korban perjodohan abal-abal Ibu." "Ibu cuma mau ngenalin kok," elak Hastutik mencebik sebal karena belum apa-apa rencananya sudah bubar jalan alias gagal total. "Ngenalin tapi ada maksud terselubung," cebik Ghidan enggan menanggapi. "Sini aku pindahin Anin ke kamarnya dulu. Udah nyenyak banget kayaknya," seru Ghidan perlahan memindahkan tubuh kecil sang putri dalam gendongannya. "Memangnya kamu mau bilang apa kalau Bu Asri berkunjung lagi?" Ghidan mengatupkan bibir karena belum menyiapkan jawaban apapun jika mertuanya datang berkunjung lagi. Hal yang sudah ditebak Hastutik dari sebelum-sebelumnya. "Ibu udah terlanjur bohong ke mereka," lanjut Hastutik mengekor berjalan di belakang Ghidan yang tengah menggendong cucunya. "Ibu bilang kalau kamu sudah punya calon istri, cuma belum keburu menikah aja karena ceweknya belum siap." Ghidan memejamkan mata sejenak ketika sampai di depan pintu kamar putrinya. Dengan gerakan santai Hastuti maju melewati Ghidan dan membuka pintu tersebut dengan sangat pelan agar tak menimbulkan suara yang mengganggu tidur nyenyak si kecil Anin. "Ibu kebanyakan nonton sinetron sampe fasih bener kalau bohong," decak Ghidan tak habis pikir. "Kalau Ibu bilang kamu masih betah ngejomblo sampe sekarang, pasti Bu Asri sama Riyani sudah tepuk tangan mau ambil alih hak asuh Anin. Bahkan kemarin aja beliau sampe ngerayu Anin biar mau diajak ke Makasar segala. Untungnya Anin pas nggak mau, karena lebih milih Ibu yang ngiming-ngiming es krim Mixuee." "Bu, nanti aku pikirkan jalan keluarnya ya, yang penting sekarang Anin sama kita. Kalaupun mau main ke rumah Riyani atau Bu Asri harus tetap kita dampingi." "Diih, kamu kayak punya waktu aja bilang gitu. Kamu lupa sama sibuknya kerjaanmu yang udah kayak pengawal pribadi presiden itu?" "Kan aku memang pengawal, Bu." Ghidan memindahkan tubuh Anin ke tengah tempat tidur lantas menarik selimut bergambar kuda poni untuknya. Ghidan masih ingat sekali itu adalah selimut yang ia beli minggu lalu saat libur dan menghabiskan waktu berdua dengan Anin. "Ya tapi kan bukan pengawal presiden, tapi sibuknya naudzubillah." "Ya itukan karena aku udah ganti ngawal Mas Irawan yang memang lebih sibuk daripada Arya adiknya." "Helaaah, sama aja. Jarang liburnya!" cibir Hastutik melambaikan satu tangannya. "Bu," Ghidan kadang lelah jika harus meladeni ibunya. "Kalau bukan karena kebaikan keluarga Pak Adi dan Bu Hana, kita nggak ada di titik ini, Bu," lanjutnya mencoba sabar. "Iya, iya paham, Ganteng. Sampai kapanpun Ibu nggak akan lupa kebaikan keluarga Pak Adi yang sudah mengangkat derajat kita kok." "Tapi tadi Ibu ngomel, protes terus. Padahal aku betah banget kerja sama Pak Irawan. Lain cerita kalau aku nggak betah kerja, boleh deh Ibu ngomel kayak tadi." Hastutik bangkit berdiri labtas merapikan lemari kecil tempat Anin menyimpan koleksi bonekanya. "Nggak bermaksud ngomel, ibu tuh cuma sekedar menyampaikan keluh kesah anakmu yang makin hari makin paham betapa sibuk ayahnya ini, Anin bahkan sampe bilang kangen diajak malam mingguan ayah, gara-gara Sakti pamit malam mingguan sama Nadine," sahut Hastutik mencebik saat menirukan sang cucu. Ghidan tersenyum kecil saat hatinya mengiyakan protes Anin yang disampaikan lewat neneknya. "Iya, nanti aku bakal ajak dia malam mingguan lagi kayak dulu. Kemarin kan aku sibuk ngontrol ke bengkel juga." Karena sejujurnya, Ghidan juga sangat merindukan waktu yang ia habiskan hanya berdua dengan sang putri. Kesibukannya mengawal Irawan juga membuka cabang bengkel yang menjadi usaha sampingan, memang menyita banyak waktu dan tenaga. Namun bagaimana lagi, Ghidan tak punya pilihan lain karena yang ia lakukan selama ini semata-mata untuk mempersiapkan masa depan yang cerah putrinya. "Terus kapan kamu nggak sibuknya?" Ghidan duduk di tepian ranjang putrinya. Bola matanya bergerak-gerak ke atas sambil mengingat jadwal sang atasan dalam bulan ini. "Mungkin akhir bulan ini, setelah perjalanan ke Bali," jawabnya kemudian. "Kamu mau ke Bali lagi?" Ghidan mengangguk lantas berdiri mendekati sang ibu. "Pak Irawan sama istrinya ada undangan gitu ke Bali. Seperti biasa, aku ngawal mereka karena Diah ambil cuti." "Lama di sana?" "Kurang lebih satu minggu." "Kam—" "Bu, aku lapar. Boleh ngobrolnya dilanjut di meja makan? masih ada makanan kan di dapur?" Hastutik menurunkan kedua pundaknya lantas tersenyum kecil. Karena pikirannya yang bercabang kemana-mana, ia sampai lupa menawarkan makan malam pafa putra sulungnya ini. Begitu sampai di meja makan, perempuan dengan gamis rumahan itu langsung menyiapkan makan malam untuk sang putra. “Ibu tadi belanja sayap ayam di toko yang baru buka itu, ibu masak rica-rica. Habisin ya, adikmu udah makan banyak kok tadi.” Ghidan mengangguk lantas menghabiskan apa yang sudah disiapkan oleh ibunya di tengah meja makan kecil mereka. “Mas,” panggil Hastutik lagi membuat Ghidan melirik sang ibu sambil melanjutkan suapannya. “Kalau di Bali nanti jangan kerja melulu ya, sambil liburan kek sekali-kali. Kali aja ada bule cantik yang kecantol. Biasanya bule suka sama cowok asia yang kulitnya coklat sawo matang kayak kamu gitu kan?” “Bu, mending kurangin nonton sinetron ya?” Ghidan terkekeh kecil. “Pengetahuan Ibu kadang agak lain belakangan ini.” “Dibilangin malah cekikikan aja kamu tuh,” dengkus Hastutik sebal. “Pokoknya doa Ibu tahun ini, kamu segera dapet jodoh, jadi Anin tetap bisa sama kita. Double Jackpot kan, Mas? Ibu dapet menantu, Anin dapat ibu baru.” “Bu…” gumam Ghidan menggeleng pelan. “Lihat saja nanti, doa seorang ibu itu nggak ada yang meleset, Mas.” Hastutik menangkupkan kedua telapak tangannya di depan d**a. “Kita lihat saja nanti, Bu.” Tanpa sepengetahuan Ghidan, semesta tengah mengaminkan doa sang ibu dan merancang kejutan yang tak pernah ia sangka-sangka ketika bertugas di Pulau Dewata nanti. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN